03. Siapa Kang-lam Koay-Hiap?

4.2K 66 2
                                    

"MENGAPA tidak berani, suhu?" jawab Lie Bun gagah hingga gurunya tertawa senang.

"A Bun, anakku! Kau belum berkemas. Barang-barang yang harus kau bawa sebagai bekal belum disediakan," kata ibunya.

"Tidak usah, Lie-hujin. Tak perlu membawa apa-apa. Kami akan berangkat begini saja," kata Kang-lam Koay-hiap.

"Begitu saja? Apakah anakku tidak membawa pakaian, tidak membawa selimut, tidak membawa uang?" nyonya itu bertanya heran dan khawatir.

Pengemis itu menggeleng kepala perlahan dan pasti.

"Hayo! Muridku kita berangkat."

Lie Bun lalu bangun dan lari ke ibunya. Ia peluk kaki ibunya dan berkata. "Selamat tinggal, ibu. Anak pasti akan kembali dengan selamat." Lalu ia berlutut di depan ayahnya dan berkata singkat. "Ayah, selamat tinggal." Lalu ia menghampiri pengemis tua itu.

"Marilah suhu. Teecu sudah siap!" katanya dengan suara tetap.

Diam-diam Kang-lam Koay-hiap kagum dan bangga akan ketetapan hati muridnya. Iapun lalu lambaikan tangan kepada Lie-wangwe dan berkata.

"Sampai jumpa pula!"

Setelah berkata demikian, Kang-lam Koay-hiap pegang lengan Lie Bun dan sekali bergerak saja tubuhnya melesat ke atas genteng dan sekejap kemudian murid dan guru itu sudah lenyap tak tampak bayangannya.

Pada saat itu barulah nyonya Lie menangis tersedu-sedu dan menaggil-manggil nama Lie Bun. Suaminya menghibur dan berkata dengan halus.

"Sudahlah, Lie Bun bukan pergi untuk selamanya. Ia pergi untuk mengejar ilmu. Kelak ia pasti kembali sebagai orang pandai."

"Tapi....... tapi ia pergi begitu saja! Tanpa bekal secarik pakaian atau sepotong perakpun. Ia akan hidup terlantar dan terlunta........."

Lie Kiat mendekati ibunya. "Sudahlah jangan menangis, ibu. Bukankah aku masih ada di sini? Si topeng setan tentu kelak akan kembali pula."

"Jangan sebut dia topeng setan, kau setan bengal!" Lie Ti membentak dan Lie Kiat meleletkan lidahnya dan bersembunyi di belakang tubuh ibunya.

Sampai berbulan-bulan nyonya Lie masih merasa sedih dan tiap kali teringat akan putera bungsunya, air mata mengalir di sepanjang pipinya. Kepada Lie Kiat ia cinta dan sayang karena putera sulungnya itu cakap dan ganteng. Tapi sayangnya kepada Lie Bun tercampur rasa iba karena puteranya ini telah menderita sakit dan mendapat cacat pada mukanya. Maka, tiap kali teringat hatinya menjadi terharu sekali.

****

Marilah kita ikuti perjalanan Kang-lam Koay-hiap dengan muridnya yang baru berusia sebelas tahun itu. Ketika meninggalkan gedung keluarga Lie, Kang-lam Koay-hiap gunakan ilmunya loncat ke atas genteng dan berlari-lari dengan cepat sekali hingga muridnya hanya merasa tubuhnya seakan-akan dibawa terbang oleh seekor burung besar.

Lie Bun merasa takut dan cemas, tapi kekerasan hatinya membuat ia tutup mulut dan meramkan mata.

Setelah keluar dari kota, Kang-lam Koay-hiap loncat turun dari atas genteng dan suruh muridnya berjalan di sampingnya. Malam telah hampir berganti pagi dan hawa luar biasa dinginnya, tapi anak kecil yang berhati besar itu terus saja jalan tanpa banyak rewel sambil bersedakap menahan dingin.

Jangankan bagi seorang anak kecil seperti Lie Bun yang biasanya pada waktu demikian masih enak-enak meringkuk dan mendengkur di dalam kamarnya yang hangat di atas kasur yang empuk, sedangkan bagi orang buta yang sudah biasa pada hawa dinginpun pada saat itu tentu takkan kuat menahan dingin yang menyusup tulang itu. Kang-lam Koay-hiap mengerti akan hal ini, tapi ia pura-pura tidak tahu, hanya berjalan lambat-lambat sambil tunduk. Padahal diam-diam ia memperhatikan muridnya.

Pendekar Bermuka Buruk - ASKPHWhere stories live. Discover now