Chapter 31

8.7K 628 24
                                    

[31] I Can't


Matahari yang terik tidak mematahkan semangat Anggita untuk terus melatih kekuatan dirinya. Dirinya terus saja berlari mengelilingi lapangan dengan membawa beban berat di punggung, kaki, dan tangannya. Di belakangnya, Reza memperhatikan gadis itu dengan senyuman geli.

"Lo nggak mau istirahat dulu?" tanyanya ketika Anggita berjalan dengan pelan di hadapannya. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menjatuhkan diri di atas rerumputan dengan tangan yang perlahan-lahan menyeka keringat di dahinya.

"Iya, ini kan istirahat."

Reza memberikan sebotol air mineral yang langsung ditandaskan oleh Anggita saat itu juga. Gadis itu terlihat lelah namun tetap keras kepala untuk melatih dirinya agar lebih kuat. Tapi itu semua membuat Reza salut akan Anggita—membuat dirinya tidak mengerti bagaimana mendeskripsikan seorang Anggita jika teman-temannya bertanya bagaimana menjalankan misi bersama dengan gadis itu.

"Gue belum ngasih tau lo tentang ini," ucap Reza tiba-tiba. Anggita mendongak, menatap pemuda itu dengan pandangan bertanya.

Reza kemudian berjalan mengambil tasnya yang berada tidak jauh dari tempat mereka duduk. Ia kembali dan duduk tepat di hadapan Anggita yang masih setia memandang dirinya dengan pandangan bingung.

Reza mengeluarkan amplop juga beberapa lembar kertas dan memberikannya kepada Anggita. Menerima dengan pandangan bingung, Anggita membuka amplop tersebut dan mulai membaca berkas-berkas yang berada di dalamnya.

Dahi gadis itu mengerut ketika mengetahui beberapa kenyataan. Matanya yang semua biasa ketika membaca, menyipit seketika saat mendapati satu opsi yang membuat dirinya bingung, aneh, dan juga bertanya-tanya apakah opsi itu benar atau tidak.

"Netta punya riwayat kejiwaan?" pertanyaan itu seperti ngambang untuk Anggita, namun dirinya pun tidak menyangkal jika opsi itu membuatnya kaget.

Reza mengangguk pelan. "Iya, dia punya riwayat kejiwaan." Ia menjawab dengan pelan, begitu hati-hati dengan perkataannya.

Terdiam, Anggita kembali membaca berkas yang masih berada dalam genggamannya. Namun lagi-lagi ada satu opsi yang membuat dirinya kembali terkejut. "Nyaris over dosis karena narkoba? Ini beneran?" tanyanya tidak percaya dengan apa yang dibacanya.

Reza tersenyum kecil. "Lo jangan kaget, dia emang banyak banget catatan hitam di dunianya. Makanya Mr. Black minta sama gue untuk jagain Netta sebaik mungkin—beliau juga minta sama gue jangan sampe ada orang yang nyentuh Netta atau nyoba untuk nyakitin dia."

"Oke," Anggita menggumam pelan.

Anggita menutup berkas tersebut dan kembali memasukannya ke dalam amplop. Wajahnya terlihat datar namun ada banyak pertanyaan yang tertunjuk di bola matanya. Reza yang melihat itu hanya terdiam, menunggu gadis yang berada di hadapannya kembali memberikan bertanyaan yang menyangkut di pikirannya.

"Sekarang... kita mau ngapain?" tanya Anggita, canggung.

Reza menggedikan bahunya, "Gue mau ngajak lo ke suatu tempat yang bakalan jadi tempat tinggal kita saat final mission nanti."

"Oke," gumamnya. "Tapi—"

Getaran pada ponselnya membuat Anggita mengurungkan niatnya untuk kembali melanjutkan perkataannya. Gadis itu merogoh saku celananya dan mengerutkan keningnya ketika mendapati satu pesan dari nomor tak dikenal.

From: +628122989xxxx

Bisa temuin gue di Café Garden? –H

Tidak perlu memikirkan banyak nama ketika mendapati inisial dari seseorang yang mengirimnya pesan, Anggita sudah mengetahui siapa orang itu. Reza yang melihat perubahan ekspresi dari gadis yang berada di hadapannya pun mengangkat sebelah alisnya—menatap gadis itu dengan pandangan bertanya.

"Kenapa?"

Anggita mendongak, menunjukan pesan yang diterimanya.

"Kalo emang lo penasaran sama apa yang pengen dia omongin, temuin aja. Gue bisa nungguin lo," ucap Reza yang langsung dibalas gelengan cepat dari Anggita.

"Nggak mau,"

"Kenapa?"

Anggita mendesah pelan, ia menundukan kepalanya dan menarik nafas sejenak untuk menenangkan dirinya yang tiba-tiba diterjang oleh suatu perasaan aneh. Pikirannya bertanya-tanya; kenapa di saat dirinya sudah memulai dan memutuskan untuk melangkah maju, hal itu kembali lagi padanya?

"Kenapa aku harus ketemu dia? Aku udah nggak mau ngurusin hal yang—"

"Anggita, listen." Reza memotong cepat. "Gue tau lo pasti udah banyak ngerasain yang namanya sakit dari Hazel, tapi—satu yang harus lo tau; kalo lo bersikap kayak gini, sama aja kayak lo lari dari kenyataan. Gue tau lo ini cewek yang kuat, lo nggak akan pernah nyerah hanya karena ngerasa sakit berkali-kali dan alasan lo sakit itu karena perasaan yang disebut cinta."

Reza mengulurkan tangannya, menggenggam erat tangan Anggita dan meremasnya pelan—mencoba memberikan gadis itu sebuah dukungan tak terlihat. "Temuin dia dan denger apa yang bakalan dia bilang. Gue nggak mau lo nyesel nantinya saat ada kesempatan tapi lo lebih mementingkan ego diri lo; sehingga lo nggak bisa dengerin satu penjelasan kecil yang mungkin akan bermanfaat buat hubungan lo sama Hazel ke depannya."

Anggita menatap mata Reza dengan begitu intens, mencari-cari sesuatu untuk meyakini dirinya jika apa yang dikatakan oleh pemuda di hadapannya ini memang harus dilakukan oleh dirinya. Namun lagi-lagi hatinya berteriak dengan lantang, semua yang telah terjadi antara dirinya dengan Hazel tidak akan pernah bisa membaik karena Anggita tidak lagi ingin tersakiti.

Anggita menutup matanya, genggamannya pada tangan Reza pun mengerat. Matanya terasa panas ketika sekelibatan memori tentang Hazel yang menolak dirinya berulang kali kembali terputar dengan jelas. Bagaimana pemuda itu mengatakan hal-hal yang menurutnya kasar namun ia masih tetap menerimanya dengan begitu sabar.

"Aku nggak bisa," akhirnya kata-kata itu terlontar dari bibirnya. Matanya terbuka, menatap yakin pada Reza yang hanya bisa terdiam mendengar jawaban dari Anggita.

"Oke, nggak apa-apa." Reza mengusap puncak kepala gadis itu lembut. "Sekarang, ganti baju lo terus kita cabut ke tempat yang mau gue tunjukin sama lo."

Anggita mengangguk, menuruti perkataan pemuda itu. Ia bangkit dari duduknya—melepaskan genggamannya dari Reza dan meninggalkan pemuda itu untuk berganti pakaiannya.

Setelah membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya, Anggita kembali ke lapangan dimana Reza masih setia menunggu dirinya di sana. Tapi langkahnya terhenti ketika dering ponselnya terdengar. Merogoh saku celananya, Anggita mengerutkan keningnya. Ini nomor... tanpa berpikir panjang, gadis itu segera menggeser ikon merah pada layar ponselnya sehingga sambungan pun terputus. Ia segera men­-swich off ­­ponselnya dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Udah?"

Anggita mengangguk pelan. "Ayo berangkat," ucapnya sembari melangkah terlebih dahulu meninggalkan Reza yang menggerutu di belakangnya.

"Kebiasaan 'kan, Anggita!" kesalnya sembari berlari kecil mengikuti langkah Anggita yang lebar-lebar.

Berbeda dengan Reza yang masih menggerutu, Anggita justru memberikan senyuman tipisnya. Setidaknya moodnya membaik ketika menggoda pemuda yang sering sekali menggoda dirinya.

TBC!

++300 VOTES!

CHANGED [New Version]Where stories live. Discover now