Suami

813 65 6
                                    

Aku duduk di tempat tidur, sendiri di ruangan bernuansa putih ini. Dokter meninggalkan ruangan setelah mengajukkan beberapa pertanyaan. Sebuah tombol bel ada di samping kiri tempat tidur. Bolehkah aku memencet tombol itu hanya karena tidak ingin sendiri? rasanya tidak benar. para perawat mungkin sedang sibuk dengan para pasien lainnya.

Pintu ruanganku terbuka, seorang pria menghambur masuk. Dia mengenakan celana jeans dan kaos  ketat berwarna putih yang memperlihatkan bentuk tubuhnya yang atletis. Mungkin perutnya six-pack atau eight-pack, aku tidak tahu pasti. Rambutnya agak gondrong, tapi hanya sebatas telinga. Sebuah senyuman muncul di wajahnya yang rupawan. Rambut ikalnya yang berantakkan justru membuatnya lebih menarik.

Dia berjalan mendekat dan memelukku erat. Aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia ini. Aku merasakan arus seperti ada arus listrik lemah di bagian tubuhku yang tersentuh kulitnya. Bukan rasa sakit tetapi perasaan asing yang membuatku ingin selalu berada di pelukannya. Sepertinya dokter itu menyebutku sebagai Ny. Arctus. Apa mungkin pria ini suamiku? Atau jangan-jangan dia saudaraku? Tapi bisa juga dia selingkuhanku, dia kan ganteng. Ah, seandainya aku bisa ingat sesuatu tentang diriku.

Tiba-tiba saja pria itu melepaskan pelukannya. Dia menatapku dengan ekspesi kaget.

"Sayang, apa kau tidak ingat?" Tanya pria itu dengan raut wajah yang sedih.

Aku menggaruk bagian belakang leherku yang sebenarnya tidak gatal, "Maaf soal itu."

Ekspresi wajahnya terlihat makin sedih. Entah kenapa aku merasa bersalah karena membuatnya bersedih. Walaupun sebenarnya bukan salahku kalau aku kehilangan ingatanku. Iya kan?

Pria itu bergegas meninggalkan ruangan. Akhirnya aku sediri lagi, di tempat asing ini tanpa ingatan apapun.

Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan ruangan tempat aku terbangun. Mungkin udara segar bisa membantu. Atau mungkin aku bisa bertemu dengan orang lain dan mengobrol. Aku tidak ingin sendiri.

Aku melihat  pria itu lagi di lorong rumah sakit. Dia sedang berbicara  dengan dokter yang sebelumnya mmemeriksaku.

"Kapan ingatan istri saya akan kembali, Dok?" Tanya pria itu cemas.

"Saya tidak  bisa memastikan hal itu. Kita tidak bisa tahu pasti kapan atau apakah ingatan istri anda akan kembali sama sekali. Tapi saya sarankan untuk menjauhkan istri anda dari hal-hal yang membuatnya stress. Jangan  memaksanya untuk mengingat atau pun hal lain yang membuatnya berfikir keras."

Wow, ternyata dia memang suamiku. Betapa beruntungnya diriku memiliki  suami seperti dirinya, wajahnya tampan, tubuhnya atletis dan mungkin dia juga hebat di ranjang. Eh, kenapa aku jadi berfikir ke arah itu.

Pria itu menoleh ke arahku, seketika pandangan kami bertemu. Suamiku berjalan ke arahku tapi dokter pergi ke arah yang berlawanan.

"Sayang, kamu harusnya istirahat." Wih, pria ganteng ini menyebutku sayang.

Tiba-tiba dia terkekeh lalu menyeringai ke arahku. Sepertinya ada yang tidak beres dengan  orang ini.

"Sudahlah sayang, jangan berfikir terlalu keras." Ujarnya sambil menuntunku untuk kembali ke ruanganku.

Aku duduk di tempat tidurku tapi dia menghampiriku sambil berkata, "Rebahan aja, Yang."

Deg, jantungku seperti melompat mendengarnya mengatakan hal itu. Jangan-jangan dia mau mengajakku berhubungan di atas ranjang rumah sakit.  Kok fikiranku isinya mesum semua? Aku menyalahkan orang di depanku ini. Pokoknya itu salahnya karena tubuh dan wajahnya yang begitu menggoda.

Tiba-tiba pria itu tertawa lepas.

Sudah kuduga, ada yang tidak beres dengan orang ini. Tapi masak sih, si ganteng ini punya kelainan. 

Lalu raut mukanya berubah menjadi cemberut.

 Tuhan, kenapa yang jadi suamiku begini amat.

"Ini akan jadi aneh," Katanya bingung.

"Apanya yang aneh? Kamu kenal aku kan?" 

Aku tidak berani bertanya langsung karena masih ragu kalau pria setampan dia bisa menjadi suamiku. Ya, walaupun dia agak aneh sih.

"Uhm, namaku Vaughn dan aku suamimu." Dia bicara padaku tapi menatap ke arah lain.

"Jadi, siapa namaku?"

"Ulyssa, waktu belum menikah nama belakangmu Andromeda." Kali ini Vaughn menatap mataku.

"Namaku kok aneh banget sih?" Kataku tanpa berfikir panjang.

Vaughn memindahkan sebuah kursi ke samping tempat tidur lalu duduk. 

"Itu nama pemberian kedua orang tuamu, sayang"

Ya ampun, bagaimana mungkin aku bisa lupa  soal itu.

"Vaughn, kapan orang tuaku tiba di sini?"

Raut wajah suamiku berubah sedih.

Dia memelukku dan berkata, "Maaf sayang, seluruh keluargamu meninggal saat kau berumur 15 tahun."

Tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing lalu semuanya menjadi gelap.

00000000000000000000000000000000000000000000000000000000

Aku update lagi, mumpung inspirasiku lagi mengalir. Kalau masih bingung soal Vaughn, dia muncul di ceritaku yang judulnya 'Lupin'. Kalau sebelumnya aku nulis ceritanya berdasarkan sudut pandang orang ketiga, sekarang aku coba tulis dengan sudut pandang orang pertama.

kalau ada saran atau kritik untuk cerita ini komen atau kirim pesan.

please

V

O

T

E

komen

:)

Luna IdentityWhere stories live. Discover now