The Letter

198 7 8
                                    

Terpaku di hadapan selembar kertas putih bersih sambil menikmati sinar matahari yang menembus jendela kamar, gurat-guratnya jatuh miring menimpa lantai kamarku, kamarku sendiri bukan kamar Zayn.

            Aku tidak tahu apa yang harus kutulis. Otakku mengeruh, kosong seperti habis dikuras tapi hatiku mendesak supaya aku menggoreskan setidaknya satu kata saja. Aku ingin menulis sesuatu, aku ingin mengungkapkan segala hal yang menumpuk-numpuk di hatiku tapi rasanya begitu sulit untuk mendeskripsikannya. Rasanya sudah begitu banyak hal yang kusembunyikan hingga aku sendiri sulit untuk menjabarkannya dalam pilihan kata, semua tercampur aduk dan kehilangan jati diri rasa dasarnya. Aku tidak tahu.

            Sekelebat bayangan dari balik jendela mengusikku yang sedang berusaha mengurai setiap perasaan dalam dada. Refleks kuangkat wajahku untuk melirik ke arah tirai yang terkibaskan oleh angin.

            Seekor burung bertengger di atas kusen jendela, burung kecil sebesar kepalan tanganku, dia mematuk-matuk kusen jendela, aku penasaran dengan apa yang dia makan karena mataku tidak menangkap ada hewan disana. Burung itu berbulu coklat dengan corak kuning cerah yang mempesona di atas kepalanya, warna yang indah. Lalu angin yang cukup kencang datang membawa udara kering dan mengusik burung itu, dia terbang menuju pohon pakis di halaman depan rumah.

            Waktu berjalan begitu lambat kurasa, tapi ketika aku bosan berpikir sambil mengetuk-ngetukkan ujung pena di atas kertas akhirnya kuputuskan untuk menengok jam yang menempel di dinding, pukul sebelas lebih sepuluh menit. Aku sudah duduk lebih dari satu setengah jam dan tidak menghasilkan apapun. Aku belum pernah merasa sepayah ini sebelumnya.

            Laci yang kutarik menimbulkan bunyi krek, setumpuk kertas berada disana. Sejenak aku terdiam, tak yakin untuk meraihnya tapi aku tidak punya cara lain. Maka akhirnya kuputuskan untuk meraih kertas-kertas yang jumlahnya baru kusadari ada tujuh lembar, kuberanikan diri meski aku sudah lelah untuk menangis seperti saat pertama aku membaca surat-surat dalam kertas itu seminggu yang lalu. Aku merasa marah, sedih, tidak berguna , kecewa dan berdosa. Aku bertanya-tanya untuk apa aku harus mengalami semua ini? untuk apa?

            Seperti yang sudah kuduga sebelumnya aku menangis lagi, untuk kedua kalinya karena kalimat yang sama. Kalimat yang awalnya justru membuatku merasa marah dan membenci dunia.

            Aku tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisimu, Nak. Tapi aku paham betul kenapa kau bersikap seperti ini kepadaku. Aku sendiri mengurung diriku supaya mampu memahami segala hal yang pernah terjadi. Semua begitu sulit tapi kau berada disini. Kau disini, kau ada, di hadapanku. Sulit dipercaya tapi percayalah, ketika sekilas aku melihatmu, aku merasa sedang bercermin dengan diriku sendiri.

            Sensasi perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya kembali bergejolak di dalam dadaku, dan meskipun aku sudah tahu bahwa aku akan semakin merasa tidak baik, aku tetap saja membuka lembar demi lembar surat-surat di hadapanku. Setaip bagian dalam suratnya memiliki makna tersendiri, aku tahu semuanya spesial tapi aku selalu mendapat sentuhan lebih pada tiap-tiap paragraph tertentu.

            Aku bahagia akhirnya kau pulang Niall. Kau keluar dari rumah sakit. Aku senang sekali saat babamu menghubungiku dan mengatakan itu kepadaku. Rasanya seperti kau baru saja meneguk anggur termahal dari Brazil. Hari itu, aku duduk di sofa di ruang tamu,menatap pintu, mengingat kata pulang. Aku membayangkan bagaimana jika kau pulang kesini. Membuka pintu itu. Demi setiap waktu yang telah kulewatkan tanpa mengetahuimu, aku bersumpah kepada diriku sendiri untuk menyambut kehadiranmu dengan pelukan terbaik yang kumiliki.

            Aku membayangkan pelukan baba setiap hari setiap kali aku dalam perjalanan pulang. Tapi alih-alih pelukan yang kudapat, aku justru mendapat luka baru setiap harinya. Dan anehnya aku tetap pulang,.

BEWhere stories live. Discover now