Drama Satu

240K 4.3K 54
                                    

Perjodohan. Atau tepatnya perjanjian bisnis. Masuk akal tidak sih? Ini sama saja seperti menjualku menurutku. Bagaimana tidak, aku harus menikah dengan seseorang yang bahkan namanya asing untukku karena sebuah perjanjian untuk membantu perusahaan Ayah-ku yang hampir bangkrut. Ini gila dan sangat tidak masuk akal. Seperti drama pasaran yang suka aku tonton. Kaya tema cerita paling top di banyak karya tulisan yang aku baca.

Dan, sekarang aku tokoh utama dan bagian dari drama juga jalan cerita ini. Hidupku. Silahkan tertawakan aku, bahkan aku pun ingin tertawa sampai isi perutku naik dan keluar. Aku sudah gila.

Aku mengusap wajahku kasar, aku tidak memiliki pilihan untuk menolah, aku hanya memiliki takdir untuk menerima. Diktator. Aku sering menyebut Ayah seperti itu, dia seseorang yang memegang kendali penuh. Lihat kan, bahkan pernikahanku yang seharusnya menjadi hakku sendiri dia yang tentukan. Hebat.

"Saskia," suara lembut bunda menyambangi telingaku. Membuatku menoleh pada pintu kamarku yang sudah terbuka dengan bunda yang berdiri di ambang pintu.

Aku bangkit duduk dari posisiku yang telungkup di atas kasur tadi, berusaha tersenyum seperti biasa pada bunda, "Masuk aja bunda, sini." aku menepuk-nepuk sisi ranjangku yang kosong.

Bunda membalas senyumku dan berjalan masuk. Saat melihat bunda, aku selalu berpikir, bukankah wanita seperti bunda terlalu sempurna untuk menjadi ibu dari seorang anak sepertiku? Aku bukan anak yang baik. Sungguh. Aku masih memiliki banyak kekurangan sebagai anak.

"Saskia, hobi ngelamunmu itu di kurangin, jangan sering-sering ngelamun." aku mengerjapkan mataku beberapa kali sebelum menengok kearah bunda yang sudah duduk di sampingku saat mendengar suaranya.

Aku hanya tersenyum tipis, entah kenapa hari ini aku sangat malas berbicara. Pernikahan yang akan di adakan kurang dari satu minggu lagi selalu mengejek di dalam kepalaku. Tuhan....

"Kamu pasti terbebani sama ini semua ya, nak?"

Iya. Aku hampir frustasi menuju gila termakan stress. Pengen banget aku bersuara seperti itu, tapi yang keluar dari mulutku adalah, "Nggak, bunda. Aku gak apa-apa." di sini si pembohong yang payah mulai bekerja.

Bunda melihatku, mata coklat gelapnya menatapku dengan sorot redup, bukan sorot lembut penuh kasih sayang seperti biasa. Aku rela menukar apapun, melakukan apapun agar mata indah itu kembali seperti biasa, memancarkan kehidupan.

"Maafin bunda, bunda merasa gagal menjadi seorang ibu karena tidak bisa membuat kamu lepas dari perjanjian ini. Bunda minta maaf."

Deg.

Satu hantaman telak menghantam dadaku, meninggalkan denyut nyeri di sana dan membuat sesak pernapasanku.

Di lihat darimana pun, bunda tidak memiliki kegagalan sedikitpun sebagai seorang ibu. Jika bunda menyebut dirinya gagal saat dia sudah terlihat begitu baik dalam menjalankan perannya sebagai seorang ibu, lalu aku di sebut sebagai apa? Gagal terlalu ringan untuk di tempelkan di depan kata sebagai anak pada predikatku.

Tanganku terulur menyentuh tangan bunda, "Bunda, ini bukan salah bunda. Bunda tidak pernah gagal sebagai seorang bunda selama 23 tahun hidup Saskia. Ini semua mungkin udah sekenario yang Allah tuliskan dalam buku takdir milik Saskia. Jadi, insya Allah, Saskia akan belajar ikhlas menerima ini. Toh dengan begini Saskia gak perlu repot-repot cari calon suami, kan?" aku mencoba tertawa rendah. Kalimat terakhir yang kuucapkan adalah hal positif dari ini semua.

Seketika wajah bunda terlihat lega, ia memelukku, mengusap punggungku lembut. "Anak bunda...." ucapnya bergetar. Ya, aku memang anak bunda. Ini semua untuk bunda. Bukan untuk ayah atau perusahannya.

***

Aku menatap ayah-ku yang tengah duduk di kursi direkturnya datar, mengabaikan tatapan menilainya padaku.

"Jadi kamu terima ini?"

"Aku gak punya pilihan untuk menolak." jawabku sedikit sinis. Beliau bertanya seolah ia telah memberiku hak untuk memilih. Yang benar saja.

"Kamu memang harus menerima," ayah mengulang arti yang tersirat dalam perkataanku tadi. "Karena ini nantinya untuk kamu juga." aku hampir tertawa saat mendengar kelanjutan dari perkataan ayah. Untukku? Yang benar adalah ia tidak ingin jatuh miskin!

Aku tersenyum sinis, "Untukku? Tepatnya untuk ayah yang menjadikanku tumbal untuk ini. Aku benar, kan?" aku berkata tajam. Setelah ini aku harus memohon ampun sebanyak-banyaknya pada Allah.

Ayah terlihat tersinggung dengan perkataanku, wajahnya merah padam, bibirnya menekan menjadi garis. Aku telah memacu bom untuk meledak rupanya.

"Saskia! Berani-beraninya kamu berkata begitu! Tidak bisa kah kamu melihat sedikit niat baik ayah dari semua ini?! Ayah melakukan ini untuk kamu. Ayah tidak ingin kamu susah nantinya!" ayah bekata penuh emosi.

Aku pantang untuk merasa gentar. Aku tidak heran dengan ayah yang seperti ini, aku dan ayah memang tidak pernah berhubungan dengan baik. Aku bukan satu dari sekian banyak anak yang beruntuk memiliki sosok ayah yang sempurna. Ayah jauh dari ayah yang sempurna untukku, bahkan kata baik saja telalu sulit di gapainya.

"Saskia cuma bilang apa yang Saskia pikirin, dan itu kenyataan. Ayah memang begitu, dan akan selalu begitu. Memikirkan kepentingan ayah sendiri tanpa melihat siapa yang ayah seret untuk terjun ke dalam jurang sebagai pengganti ayah." aku berkata tenang. Tetap duduk di tempatku dengan biasa. Dosaku saat ini mungkin sudah semakin menumpuk.

"Saskia!" ayah berdiri dari duduknya, bangkit dari kursinya yang nyaman, menatapku dengan tatapan yang mampu melelehkan besi yang keras. Tapi sayangnya aku bukan besi. Aku tetap tenang, bahkan melawan tatapannya.

"Kamu--"

"Maaf," aku menoleh, melihat kearah suara berat yang memotong perkataan ayah. Dan aku menemukannya, seorang pria berpakaian kantoran tengah berdiri di sampingku, wajahnya datar, mata coklat terangnya memandang dingin. Kedua alisnya saling bertaut. Dia pria yang... Hampir sempurna sebagai makhluk yang di ciptakan Tuhan.

"Damar," ayah menyebut namanya, berdeham dan berusaha mengatur ekspresinya. "Maaf membuatmu harus menyaksikan hal yang kurang menyenangkan." lanjut ayah, beliau kembali duduk di kursinya.

Damar? Pria ini... Pria yang di jodohkan denganku. Seketika rasa kesal merambati hatiku saat kembali mengingat hal itu, aku bangkit berdiri, menghadap Damar yang masih berdiri bergeming. Dia menatapku, mengerutkan dahinya tipis.

"Saskia, duduk kembali di tempatmu." ayah memerintah penuh penekanan dalam perkataannya, menyiratkan ucapan agar aku tidak berbuat macam-macam dalam kata-katanya. Aku mengabaikannya dan masih tetap menatap pria di hadapanku, aku menyeringai.

"Damar," ucapku dingin. "Selamat siang dan salam kenal. Mungkin setelah beberapa hari ke depan kamu akan terikat dan terjebak bersamak dalam perjanjian ini. Jadi, sampai jumpa dan semoga kamu sudah berusaha menerima." lanjutku sarkastik. Aku berbalik dan mengambil tasku, melirik sebentar dari ekor mataku pada ayah yang sudah siap untuk berteriak padaku.

Aku segera menegakkan badan, mulai melangkah untuk meninggalkan ruangan ini, tadi aku sempat melihat Damar yang tersenyum mengejek saat aku menabrak bahunya dengan sengaja.

Aku tidak memiliki kuasa penuh atas hatiku, aku hanya bisa jatuh cinta. Sedangkan yang menentukan dan membolak-balikan hatiku adalah Tuhan. Dan aku akan mulai berdoa mulai saat ini agar tidak ada sedikitpun rasa cinta yang merayapi hatiku dengan halus untuk Damar. Dia bukan seseorang yang bisa aku cintai untuk waktu panjang, karena perjanjian ini akan berakhir dalam waktu yang sangat cepat.

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang