Bagian 14

483 30 0
                                    

   "Aku mencintaimu, Oliv."

    Anak laki-laki berperawakan tinggi itu terus mengejar-ngejarku. Dengan langkah panjang aku terus berlari. Berlari sekuat yang kubisa, sejauh yang kumampu. Hingga nafasku tersengal-sengal dan aku harus berhenti dari pelarian ini. Otot lurik betisku mulai letih. Aku terus berlari tanpa memikirkan nafasku yang tersengal dan sesekali menarik oksigen dengan rakusnya. Melupakan tubuhku yang sudah di ambang batas kehabisan energi.

    Tepat di sana. Di antara karang-karang pantai Nusa Dua yang tak terlalu tinggi namun tajam. Di bawah seberkas sinar matahari yang perlahan mulai pergi dari langit. Jika bisa, aku ingin menjamah sinar itu dan ikut pergi bersamanya. Meninggalkan semua ini.

    "Oliv!" suara berat itu terus meneriakkan namaku, memekakkan gendang telingaku. "Keluarlah dari sana, kumohon."

    Aku yang rela diam meringkuk di antara karang-karang tajam inipun mulai menyerah. Aku terdesak, tidak ada tempat untukku berlari lagi. Ia telah menemukan tempat persembunyianku berkali-kali.

    Ini harus berakhir. Aku telah berlari-larian lebih dari seminggu, aku harus menyelesaikan semua ini. Aku memberanikan diri untuk berdiri dan kakiku mulai menapaki ujung-ujung karang yang tajam.

   "Oliv," lagi-lagi ia menyebut namaku, dengan nada yang lebih lembut. Ia menjamah tanganku dan akupun segera menariknya sebelum ia menggenggam erat tanganku. "Katakan, kenapa kamu terus menghindariku?"

   Bibirku terkunci rapat. Aku tidak mengatakan apapun dan hanya mengerutkan dahi hingga alisku menyatu, memandang ombak yang menggulung jauh di sana. Menghindari tatapannya.

   "Lihat aku, Liv!" nadanya setengah frustasi.

   Kupandangi mata itu dengan tatapan dingin dan terpaksa.

   "Aku mencintaimu." Ia mencoba meraih tanganku.

   "Tidak!" aku menepis tangannya. "Kamu tidak mencintaiku! Dan jangan coba-coba mencintaiku, Tirta!"

   "Kenapa?!" ia bertanya dengan nada yang tak kalah frustasinya denganku. "Itu hakku!"

   "Aku benci cinta! Aku benci!" jeritku sambil menahan air mata yang beromba-lomba ingin terjun bebas dari kelenjar air mataku. Sebagai gantinya, aku menatap tajam matanya sambil menahan amarah. "Aku.. aku juga membencimu! Jangan pernah mencintaiku lagi! Jangan pernah!" kali ini aku menjerit dengan sangat keras dan dengan sisa-sisa tenagaku aku berlari meninggalkannya sendiri di sana.

   Tepat di sana juga, aku terakhir kali melihatnya.

   Selama enam hari ia tak masuk sekolah. Dan tak satupun dari mereka tahu dimana keberadaan Tirta. Hanya akulah sepertinya yang terakhir bertemu dengannya.

   Esoknya, semua orang gempar karena muncul berita sesosok mayat remaja berusia sekitar 15 tahun berinisial TD telah ditemukan di pantai itu. Tirta Darmawan. Di lokasi itu, tepat dimana aku terakhir kali melihatnya. Tak ada yang tahu apa yang terjadi, tak ada yang tahu sebenarnya. Termasuk aku. Tapi aku tidak pernah pusing memikirkan hal itu. Yang terpenting, Tirta sudah tidak ada lagi di hidupku. Ia lah yang memilih jalan hidupnya.

   Aku percaya bahwa cinta hanya membuatmu pergi dan mati.

   Hal yang sama terjadi pada Adit. Setelah ia mengatakan cinta padaku, seminggu kemudian ia meninggal karena ditemukan tujuh gram sianida dalam jus Applenya. Kematiannya terjadi secara tiba-tiba. Aku yakin, itu semua karena ia telah menyatakan cinta kepadaku. Bahkan kata-kata cintanya masih terngiang-ngiang di pikiranku.

   "Aku mencintaimu, Bella."

   "Apa?!"

   "Kamu mau nggak jadi pacar aku?"

LATENTWhere stories live. Discover now