Part 5 - Planning to Die

2.1K 44 1
                                    

May 9th, 2014

Mataku terbuka perlahan. Cahaya langsung menerpa mataku seketika, tanpa ampun begitu menyilaukan. Setelah kusadar aku telah berada di ruanganku sendiri, sekejap aku merasa amat bosan dan menentang. Like, come on.. I hate hospital, dude. Bau obat-obatan yang memang begitu membekas selalu membawaku kembali ke masa-masa di mana ibuku selalu membawaku saat bekerja di rumah sakit.

Pernah dulu sekali, ketika umurku masih sembilan tahun, aku mengajak Harry ke tempat kerja ibuku. Kami cukup menaiki satu jalur bus dan tepat berhenti beberapa puluh meter jaraknya dari rumah sakit. Kala itu aku masih belum dapat mengingat jelas ruang ibuku biasanya praktik, jadi aku hanya berjalan tanpa arah. Memimpin Harry yang sedari awal memperingatiku agar tidak sembrono masuk ke ruangan-ruangan yang ada. Namun jiwa kepemimpinanku dan keinginan untuk menunjukkan bahwa aku lebih hebat dari Harry, mengontrolku tanpa membuatku mau mencerna ulang kata-katanya. Anak kecil penuh rasa penasaran, jangan pernah hanya sekedar disarankan. Lalu satu ruangan yang kukenal tertangkap mataku. Kuperintahkan Harry untuk membukanya pertama, dan aku berencana untuk mendorongnya; ingin sekali rasanya mempermalukan sahabatku kala itu. Maka kudorong tubuhnya dengan keras. Naasnya, tali sepatuku tak sengaja kuinjak dan kami pun berguling-guling masuk ke dalam ruangan, cukup jauh dari pintu. Jantung kami seakan mau melompat keluar ketika mendengar pintu dengan sendirinya tertutup rapat; pintu ruangan itu memang tampaknya menggunakan sistem 'daripada tidak, lebih baik menutup sendiri' untuk antisipasi. Tetapi hal lain mencengkram kuat tubuh kami di dalam ruangan itu. Kami bagai membeku, terbelalak dan ternganga lebar. Atmosfer ruangan menyentuh permukaan kulit kami, mengatakan "selamat datang di dunia kami." dan sungguh membelit kaki kami agar tak bisa mengambil langkah seribu. Tetapi mataku hanya dapat mengitari setiap benda dalam ruangan itu, di mana-mana ranjang rumah sakit dengan tubuh yang pucat dan terkaku, tersusun berentetan. Kami bungkam. Tak bergidik sama sekali. "Kurasa... i-ini kamar mayat, Haz?" Kulontarkan kalimat itu, dan secepat angin ia menarik tubuhku keluar dari ruangan itu. "Bruk" ia menabrak pintu. Kami harus menariknya agar pintu dapat terbuka, namun Harry dengan wajah putihnya tidak berpikir sampai situ. Alhasil, setelah kejadian itu, ia keluar dari rumah sakit dengan plester putih melekat di hidungnya. Artinya, hidungnya patah ketika menabrak pintu. Seharian penuh tawaku meledak tak berhenti. Harry hanya dapat menatapku masam karena tidak bisa membalas kelakuanku.

Tawa kecil keluar dari mulutku, tetapi setitik air mata mengalir di wajahku. "Tuhan, rupanya Kau telah mengambil orang-orang yang begitu berarti untukku. Apa maksud tersembunyi dari ini semua?" Kubiarkan setitik cairan bening itu mengalir menuruni wajahku, berakhir membasahi selimut putih yang menutupi setengah badanku. Tawaku masih dapat terdengar. Hingga lambat laun surut termakan kebosanan. Di dalam ruang VIP, di atas kasur ini, tubuhku tergeletak sembari termangu-mangu. "Aku ingin dandelionku..."

"Erm, Emilia... Hai." Seseorang dari luar ruangan sedang berdiri, menyender di pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya tak asing, setelah beberapa hari ini. Tangannya mengisyaratkan apakah ia boleh masuk untuk berbicara denganku.

Kepalaku bergerak ke kanan dan ke kiri, menggeleng. "Ketuk pintu dulu, jika kamu manusia beradab." Seringai nakal terlukis di wajahku.

"Oh, maaf." Katanya. Ditutuplah kembali pintu itu, "tok... tok." Ia mengetuk pintunya dengan spasi waktu dua detik. Aku terkekeh.

"Come on in." Kulihat pintu itu terbuka, di belakangnya mengikuti seorang lelaki dengan cengegesannya yang begitu menggelikan. Tangan kirinya disembunyikan di balik punggung, seakan menyimpan sesuatu yang menumbuhkan rasa penasaranku. "Duduklah." Kataku, mempersilahkan dengan isyarat tangan.

Ia mendekatiku dengan wajahnya yang menunjukkan betapa gugup ia saat itu. Rambutnya ia acak-acak untuk membunuh gugup yang dirasakan; sesungguhnya membenarkan rambutnya, namun lebih terlihat berantakan setelahnya. "Apa aku mengganggu?" Tanyanya, mulai menunjukkan kesopanan pada dirinya.

Aku pun menggeleng. Tampaknya pun ia lega telah mengetahui itu. Barang di tangan kirinya mulai diperlihatkan wujudnya perlahan. Diriku serasa seperti terkoyak ketika melihat barang bawaannya, tetapi kemudian kutenangkan diriku sesegera mungkin. "Bagaimana keadaanmu?" Suaranya terdengar meringan.

Aku menghela nafas panjang. "Tidak yakin benar kalau kujawab aku baik, tetapi tidak juga sedang dalam keadaan buruk." Kurebahkan kepalaku, menempel ke dinding. Wajahku menengok sedikit untuk menatap mata coklat Zayn. "Terimakasih, untuk dandelion yang kamu bawakan."

"Yah, sama-sama. Oh iya, tadi, aku dengar kamu begitu menginginkan 'dandelionmu' ada di sini. Tetapi aku tidak mengerti, apa kamu begitu menyukai bunga ini?" Ia terheran, dengan wajahnya yang mulai berubah menyerupai curious puppy.

Kekehanku terdengar lagi. Namun wajahku tak menampakan rasa bahagia atau lucu sama sekali. Aku memalingkan wajah darinya dan melemparkan pandangan ke luar jendela.

"Ada yang salah?" Ia bertanya penuh ketidakenakan. Sikapku yang aneh telah membuatnya bertingkah serba salah. Kurasa ia merasa telah menyebabkan sesuatu pada diriku. Wait. He did.

"Zayn, menurutmu seberapa tinggi rumah sakit ini?" Tanyaku tanpa mau menatapnya lagi. Walau kilauan kecil di matanya itu amat menggugah dan memaksa. Tetapi tidak.

Kurasakan tangannya menyentuh kulitku, begitu hangat. Mengalir melalui darahku, mencapai seluruh pusat sarafku. Kurasakan suatu debaran yang tidak biasa.

"Berpikiran untuk melompat keluar?" Celetuknya, bermaksud untuk mengajakku bercanda. Aku yakin ia tidak bermaksud serius dengan kata-katanya itu.

"Haha. Yang benar saja. Tidak. Mati ternyata bukan satu-satunya jalan keluar. Aku sadar ketika mendengar kalimat penuh keputusasaan dari mulut Louis. Tidak." Aku kemudian turun dari ranjangku dan meraih bunga dandelion pemberian Zayn. Kugenggam setangkai dandelion itu dan menghirupnya dalam-dalam, mencoba mengilhaminya. Seluruh semangat itu pun masuk ke dalam tubuhku, setidaknya hidup itu memiliki keindahan tersendiri. "Dandelion ini, masih segar." Ucapku. Alisku saling bertautan. Zayn melihatnya dan mengangguk pelan.

"Kupetik di taman, dekat dengan rumah sakit ini, dekat dengan rumahku pula." Kurasa ia tau aku sedang bertanya-tanya.

"Cukup banyak dandelion untuk sebuah taman di London." Tukasku dengan langkah teriring ke jendela. Kubuku jendela itu dan kurasakan semilir angin yang berembus sendu. Kugenggam erat-erat setangkai dandelion kuning di tanganku. Kujorokkan tubuhku ke luar jendela begitu jauh hingga ada kemungkinan jatuh, namun aku tidak takut. Jatuh, sakit, dan akhirnya mati. Jangan dipersulit. Tetapi aku tidak bertujuan untuk mati. Ingat, aku mulai menghargai kembali hidupku yang rumit ini.

"Emilia!" Seru Zayn.

Yellow Sunrise [One Direction FanFic] - IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang