05 // Dimaafkan

119 22 3
                                    

Saat ini Anda membaca FRIENDS WITH DRAMA VERSI 2.

PLEASE, VOTE BEFORE READ.

=====

=Ariesta POV=

Sudah dua hari dia mendiamkan Librio begitu juga dengan Cancero. Dia masih kesal, terutama Librio, yang memanfaatkannya hanya untuk menggapai tujuannya yaitu mengambil posisi Kapten sekaligus Ketua Basket.

Ariesta masih mau berangkat dan pulang bersama, juga belajar menyetir, tapi sikapnya yang cuek dan dingin tak pernah dia singkirkan. Dia benar-benar kelewat kecewa.

Saat ini dia sedang berkutat dengan laptopnya di ruang keluarga malam hari. Membuat power point untuk presentasi besok. Sebenarnya ini tugas berkelompok, dan yang ditugaskan membuat bahan presentasi yaitu Ariesta dan Librio, tapi Ariesta terlalu gengsi untuk mengajaknya bekerja kelompok.

Ariesta membuat bahan presentasi sambil mendengarkan lagu dari ponselnya menggunakan earphone. Begitu lagu berhenti, terdengar nada dering panggilan masuk, dan langsung tersambung tanpa perlu menekan tombol hijau di layar.

“Halo?” ucap Ariesta masih sibuk dengan laptopnya.

“Iya halo,” jawab di seberang sana. Ariesta terdiam ketika mendengar suara cowok. “Hai, Ar, lagi apa?”

Lagi apa? Gue hapal banget nih pertanyaan, pikirnya, dia melihat layar ponsel dan mood-nya berubah buruk melihat nama Leon yang tertera di sana. “Lo ngapain sih nelpon gue? ‘Kan udah gue bilang jangan pernah nelpon gue lagi?!” Dia menahan emosinya.

“Lo nggak bilang kalo gue jangan nelpon lo lagi. Yang gue denger gue nggak boleh ketemu lu lagi, nggak usah minta maaf lagi, nggak usah sok-sok merasa bersalah, dan nggak usah kenal lo lagi.”

“Lo itu bodoh apa tolol sih?!” pekiknya kesal. “Harusnya lo bisa nalar dong, dengan gue bilang kayak gitu gue nggak mau lagi berurusan sama lo.”

“Gue bukannya mau berurusan lagi sama lo, tapi gue mau kita mulai lagi dari awal.”

“Eh, lo nggak tau diri banget sih. Setelah lo nyakitin hati gue, dengan mudahnya lo ngomong mau mulai lagi dari awal. Ini tuh hati bukan barbie, yang bisa lo mainin sesuka hati”

Ariesta menekan tombol merah di layar ponsel dengan kasar. “Kenapa sih cowok macem lo harus diciptakan buat nyakitin cewek. Emang siapa yang ngebikin lo jadi cowok kalo bukan dari cewek,” gumamnya sambil mengetik papan keyboard laptop.

Ponselnya kembali berdering dan kembali tersambung.

“Halo?!” suaranya meninggi karena masih kesal.

“Kasar amat sih sama Ayah,” Ariesta mendekap mulutnya mengetahui sang penelepon itu ayahnya sendiri.

“Maaf, Yah, tadi aku emosi banget, aku kira yang nelpon si Leon,” mohon Ariesta.

“Pantesan ditelpon tadi sibuk. Pasti kamu abis putus,” kata Ayahnya, Bima.

Ariesta tidak merasa heran jika ayahnya lebih dulu tahu sebelum diceritakan, ayahnya itu memiliki indra keenam.

Dadanya kembali nyeri ketika teringat kejadian itu. “Iya, Yah, aku sakit hati banget ngeliat Leon berduaan sama sahabat aku sendiri. Udah gitu dia boongin aku, katanya ada seminar ampe tanggal tujuh tapi buktinya akhir bulan udah di sini sama pacar baru lagi.”

“Iya, iya, Ayah tau, tau semuanya sampe kamu marahan sama Cancero dan Librio.”

“Terus Ayah nelepon buat ngomongin masalah aku, Kak Can, sama Librio?”

“Iya,” jawabnya singkat.

Never Forgotten [Telah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang