Chapter Ten : Dilema

142 4 0
                                    

Pulang sekolah, Vena langsung mengurung diri di kamarnya. Dia masih sangat kaget dengan pernyataan Verdy di sekolah tadi. Dia ga nyangka dia akan mendapat pernyataan seperti itu dari orang yang dia benci. Apa yang harus di lakukan? Apa yang harus dia katakan?

            Oh tidak! Tidak. Tidak. Vena ga mungkin suka juga dengan Verdy. Bukan ga mungkin tapi dia memang tidak boleh suka dengan Verdy. Kalau Vena sampai suka dengan orang itu, dia akan menghancurkan semua benteng yang telah dia bangun untuk menutupi dirinya yang sebenarnya

            Vena lalu melihat buku-buku yang ada di meja belajarnya. Mungkin dengan membaca buku, Vena bisa melupakan pernyataan ga jelas dari Verdy.

            Satu lembar, dua lembar, tiga lembar, Vena tidak bisa konsentrasi dengan bacaannya. Apa-apaan ini? Kenapa kata-kata Verdy selalu terngiang di telinganya. Bodoh! pikir Vena. Belum pernah dia merasa sebingung ini kepada dirinya sendiri.

            Vena lalu membaringkan tubuhnya diatas kasur. Melihat langit-langit kamarnya yang berwarna ungu muda. Menerawang ke satu bulan terakhir yang sudah dilewatinya bersama Verdy.

            Vena segera menggelengkan kepalanya. Kenapa Verdy lagi? Kenapa harus Verdy? Akh! Sial. Cowok itu berhasil membuat Vena ga tenang.

            “Vena! Kamu di kamar? Turun dulu kita makan malam!” teriak Ayahnya dari lantai bawah.

            Vena segera keluar dari kamarnya. Sebenarnya dia belum terlalu lapar tapi karena sendirian di kamar membuat Vena memikirkan yang tidak-tidak tentang Verdy, sebaiknya dia kebawah menghampiri Ayahnya.

            “Ayah masak banyak sekali. Ada acara apa?” tanya Vena yang melihat berbagai macam makanan yang terhidang di meja makan.

            “Tidak ada. Ayah hanya ingin memberitahu sesuatu yang menyangkut kamu.”

            “Menyangkut aku? Emang aku kenapa?”

            “Udalah kamu duduk dulu. Sambil makan kita omongin.”

            Vena menurut dan segera duduk. Mengambil nasi dan beberapa lauk lezat di hadapannya lalu makan dengan pelan, “Ayah ingin bicara apa?”

            “Sekolah kamu kedatangan artis yah?”

            “Iya. Kenapa?”

            “Kamu dekat sama salah seorang artis itu, Verdy Alamsyah?”

            “Tidak.”

            “Kamu mencoba menjauhinya?”

            “Bagaimana Ayah tahu?”

            “Verdy sendiri yang cerita ke Ayah.”

            “Ha?” Vena semakin bingung dengan pembicaraan ini.

            “Tadi Verdy kerumah dan berbincang dengan Ayah.”

            “Artis itu ke rumah? Bicara apa dia sama Ayah?”

            “Dia minta ke Ayah untuk bilang ke kamu supaya tidak membencinya.”

            “Apa dia bilang alasan kenapa aku membencinya?”

            “Karena dia seorang artis?”

            Vena diam dan tidak melanjutkan makannya. Hatinya berdebar. Pikirannya penuh oleh bayangan Verdy. Cowok itu sungguh-sungguh. Dia tidak bohong. Buktinya dia sampai datang ke rumah dan berbicara langsung pada Ayah Vena. Tidakkah itu mengagumkan?

An ArtistWhere stories live. Discover now