Vena berjalan cepat meninggalkan Gita. Hatinya terasa terbakar, tertusuk dan tercabik-cabik. Matanya panas. Dia ingin menangis. Dia masuk ke salah satu toilet wanita. Kebetulan disana tidak banyak orang. Vena langsung masuk dan mengunci pintunya. Disana dia menangis habis-habisan.
“Kenapa jadi gini sih? Gue yang ga pernah mau deket sama dia kenapa gue yang jadi imbasnya? Gue benci artis! Gue benci Verdy! Argh!!!” Vena marah dan memukul kaca di depannya. Beruntung kaca itu tidak pecah.
Tiba-tiba seorang cewek yang berada di salah satu kamar toilet keluar sambil membenarkan bajunya. Cewek itu yang ternyata adalah Zevanya langsung terkejut melihat Vena yang berantakan.
“Kamu.... kenapa?”
Vena langsung menoleh dan melihat Zevanya. Dia segera menghapus air matanya dan membenarkan baju seragamnya, “Aku ga pa-pa ko, Mba. Maaf, aku ga tau Mba ada di dalem.”
“Kamu.. Vena kan?”
“Iya.”
“Kamu yang kemaren jalan bareng Verdy kan?”
“Iya. Mba Zevanya mau labrak aku juga?”
“Labrak? Siapa yang mau labrak kamu?”
“Tadi Mba nanya tentang saya sama Verdy. Mba juga ga suka kan sama saya? Mba juga ngira saya pake pelet kan buat deket sama Verdy?”
Zevanya semakin bingung kemana arah pembicaraan Vena. Dia lalu tertawa, “Haha.. Kamu itu aneh. Aku kan cuma nanya. Emang aku keliatan kaya orang mau ngelabrak yah?”
“Ya abis, setiap orang yang nanya kaya gitu pasti ujung-ujungnya labrak saya terus ga percaya sama saya. Saya kira Mba Zevanya juga gitu.”
“Saya ga ada maksud apa-apa ko. Kamu kacau banget deh. Ikut aku yuk!”
“Eh mau kemana, Mba? Saya kan harus belajar.”
“Kamu yakin mau ke kelas dengan tampang kaya gini? Nanti dikira guru kamu abis tawuran lagi. Udah ikut aku aja!” paksa Zevanya lalu menarik tangan Vena.
Zevanya mengajak Vena ke sebuah mobil yang lumayan besar. Mobil ini seperti mobil untuk para traveler. Tv, kasur, home theather, kotak make up dan masih banyak lagi barang di mobil ini. Zevanya mendudukan Vena ke salah satu sofa kecil lalu Zevanya mengambil kotak make up-nya dan membersihkan wajah Vena.
“Mba ko ngelakuin ini sama saya? Ko Mba baik?” tanya Vena ketika Zevanya telah selesai membersihkan wajah Vena.
“Emang kalo orang baik itu harus ada alesannya? Aku baik sama kamu sebagi sesama manusia, kecuali kalau kamu ngerasa bukan manusia.” ucap Zevanya sambil tersenyum.
Vena terkekeh, “Mba bisa aja. Mba ga marah sama saya karena saya udah deket sama Verdy?”
“Kenapa harus marah? Verdy berhak dekat sama cewek manapun yang dia senangi.”
“Tapi kan Mba suka sama Verdy.”
Zevanya diam. Dia berpikir sedikit untuk menjawab pernyataan Vena. Pernyataan yang sangat mengena di hatinya, “Ko kamu tau aku suka sama Verdy?”
“Keliatan kali, Mba. Mba selalu memperhatikan aku sama Verdy kalo kita lagi kebetulan ketemu.”
“Aku ga berhak marah sama kamu, Ven. Aku emang suka bahkan jatuh cinta sama Verdy, tapi aku ga bisa maksa Verdy buat jatuh cinta sama aku juga. Pas dia deket sama kamu, aku emang cemburu. Tapi, mungkin kamu udah jadi pilihan Verdy. Sekuat apapun aku kasih sinyal ke Verdy tapi kalo emang hatinya Verdy ga nangkep sinyal dari aku, aku harus berbuat apa?”
“Tapi emang Mba Zevanya rela Verdy deket sama aku? Secara aku sama Verdy kan beda jauh. Kata kasarnya mah, ga selevel gitu.”
“Yang aku liat dan yang Verdy liat itu beda, Ven. Jangan samain semua mata yang memandang kamu. Misal ada dua orang yang menatap kamu, emang kau tau yang mana dari mereka yang peduli sama kamu? Ga kan? Begitulah aku sama Verdy. Di mata aku dan dimata semua cewek yang ngelabrak kamu mungkin berpikir kamu ga selevel sama Verdy. Tapi kalo kita liat dari mata Verdy? Semuanya kebalik. Mungkin bagi Verdy kamu spesial.”
Ucapan Zevanya membuat Vena berpikir. Dia teringat tentang Gita dan Zevanya. Gita, temen deketnya, sama sekali ga percaya pada Vena tapi Zevanya? Dia bisa berbicara sebijak ini. Baru kali ini Vena merasa kagum dengan seorang artis.
“Emang Mba tau apa yang Verdy liat di aku? Aku kan biasa aja.”
“Saat kita jatuh cinta. Mau orang itu miskin, kaya, cantik atau jelek, tapi kalo hati kita udah milih orang itu, semua akan berubah, Ven. Dia mata kita orang itu adalah orang yang paling sempurna.”
“Tapi emang Verdy jatuh cinta sama aku?”
“Kamu tanya Verdy aja sendiri. Yang aku liat sih begitu, soalnya selama kita syuting disini, dia selalu perhatiin kamu. Entah kamu lagi main basket, kamu makan di kantin, kamu ketawa, cemberut, semua diperhatiin sama Verdy.”
Baru Vena ingin lebih banyak sharing ke Zevanya, bel istirahat pertama berbunyi. Vena telah melewatkan dua mata pelajaran.
“Makasih yah, Mba Zevanya udah tenangin aku. Aku hutang budi sama, Mba.”
“Sama-sama, Ven. Oh ya! Jangan panggil aku Mba dong. Panggil aja Zevanya kan kita seumuran.”
“Iya, Mba, eh Zevanya hehe.”
“Yaudah balik ke kelas sana, aku lanjut syuting. Kapan-kapan kalo kamu mau sharing lagi, kamu datengin aja aku. Oke? Daah Vena.” ucap Zevanya sambil menutup pintu mobil.
Ternyata Zevanya sangat baik!
