Bab 3 : Sebuah Misteri

1.1K 41 6
                                    

            “Ceritakan tentang dirimu.”

            “Apa?” tanyaku spontan. Kalau aku tidak bisa mengendalikan diri dengan baik, mungkin aku sudah melotot padanya dengan mulut ternganga lebar. Sebaliknya, yang kulakukan hanyalah mengangkat alis dan menjaga ekspresiku tetap datar. Bukan hanya dia disini yang bisa bersikap tenang.

            Namun sungguh, pertanyaannya mengejutkanku. Maksudku, hei, kami bahkan baru bertegur sapa –kalau sesi tanya jawab yang sangat singkat dan tidak jelas maknanya itu bisa dihitung– sekitar… satu menit? Atau dua? Yang jelas sangat singkat. Pertanyaannya selalu acak, tak terduga, dan tanpa tedeng aling –aling.

            “Kenapa?” Alan meniruku dengan mengangkat alisnya.

            “Well, itu bukan pertanyaan yang wajar karena kita masih… asing satu sama lain?” jawabku ragu hingga malah terdengar seperti pertanyaan.

            Sialan, dia setengah tersenyum dan tatapannya terlihat geli. Alan mencondongkan sedikit tubuhnya dan menaruh kedua sikunya di atas meja sebagai tumpuan. Tatapannya tajam dan menusuk. Alan hanya diam untuk beberapa saat lamanya.

            “Anggap saja aku ingin lebih… mengenalmu?”

            “Bisakah kau berhenti melakukannya?” kataku tak tahan lagi.

            “Melakukan apa?”

            “Meniruku. Entah ucapanku, gerakanku, ekspresiku, atau nada suaraku,” ucapku penuh penekanan. Otakku sudah mulai merangkai berbagai argumentasi jika dia hendak membantahnya.

            Alan hanya mengangkat bahu dan menjawab dengan ringan, “Itu menyenangkan.”

            Kurasa aku benar –benar kehilangan argumen mendengar jawabannya. Mulutku terbuka hendak membalas perkataannya tetapi akhirnya tidak ada yang bisa kukatakan. Entah karena sudah lama aku tidak berinteraksi dengan manusia atau lelaki ini memang luar biasa aneh sehingga berkomunikasi terasa sangat sulit bagiku saat ini?

            Samar –samar aku merasakan ada seseorang yang mengawasi kami. Aku menegakkan punggungku dan menajamkan pendengaranku. Perhatianku sepenuhnya teralihkan. Aku mendengar suara langkah kaki yang sangat halus. Seperti gesekan dedaunan kering yang jatuh ke atas tanah. Suara gemerisik kain yang bergesekan dengan lantai kayu. Sudah jelas. Seseorang itu pastilah berjenis kelamin perempuandan mengenakan gaun panjang. Aku menengok ke samping kanan kami secara tidak kentara dan menemukan objek yang kucari –cari.

Seorang wanita dengan rambut cokelat gelap dan mengenakan gaun hitam panjang sedang berjalan ke arah kami. Wanita itu sebenarnya masih muda, aku yakin, hingga masih pantas disebut gadis. Hanya saja ekspresinya yang keras menutupi kerapuhannya. Aku melirik Alan dan melihatnya juga sedang memerhatikan gadis itu.

Gadis itu melihat Alan dan tersenyum seolah mengenalinya. Dia melambaikan tangannya yang terlihat kurus kering. Aku membeku mendengar suaranya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan suaranya yang meskipun agak terlalu melengking tinggi tetapi terdengar cukup menyenangkan. Ucapannya yang mengagetkanku.

“Halo, Regan. Apa kabar?”

“Alice,” ucapnya kaku sembari melirik ke arahku. “Sedang apa kau di sini?”

“Aku? Hanya kebetulan melihatmu masuk ke kafe dan… merayu seorang gadis?” Alice tersenyum lebar menampakkan giginya yang putih dan rapi. Alice melirikku dan senyumnya mulai memudar. Aku tidak mengerti mengapa. Dia menatapku dengan matanya yang terbelalak lebar. Wajahnya cukup lucu saat itu tetapi aku memilih untuk tidak tertawa.

The GuardianWhere stories live. Discover now