Bab 1: Masa Lalu

2K 49 2
                                    

            Ada yang mengawasiku.

            Aku menatap ke sekeliling kafe kecil itu dengan seksama tetapi tidak kudapati sesuatu hal yang janggal. Kafe kecil itu terlihat seperti kafe biasa pada umumnya. Kafe yang dipenuhi dengan suara dan tawa para pelanggan, musik jazz yang mengalun dengan lembut, dan teriakan –teriakan para pelayan yang kewalahan saat melayani pelanggan. Suasana kafe itu terasa ceria dan begitu menyenangkan. Sangat ramai. Terlalu ramai.

            Jadi, mungkinkah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang mengawasiku? Sejak menginjakkan kaki di kafe ini, aku bisa merasakan sejumlah pasang mata sedang mengamatiku dengan seksama. Well, bukannya aku merasa bahwa diriku mampu menjadi pusat perhatian. Aku hanyalah seorang gadis sederhana berusia 21 tahun. Tidak ada yang menarik dari diriku. Aku lebih cocok sebagai tipe kutu buku yang tidak disadari keberadaannya.

            Aku sudah terbiasa dengan itu. Rasanya aneh saat orang –orang di kafe ini memerhatikanku dengan sedemikian rupa…. Firasat buruk itu terus melandaku. Aku kembali menundukkan kepalaku dan berpura –pura membaca buku yang kupegang dengan kikuk. Tidak mungkin ada yang memerhatikanku. Aku berdiri di sudut kafe yang tidak terlalu diperhatikan orang –orang.

            “Gianna Callista Addyson?”

            Sebuah suara yang menyebutkan namaku dengan ragu –ragu itu sontak membuatku mendongakkan kepalaku lagi. Dihadapanku berdiri seorang wanita anggun yang terlihat begitu cantik. Dia bertubuh tinggi semampai dan agak kurus. Pakaiannya pun terlihat sangat mewah dan elegan. Seolah –olah dia adalah seorang keturunan bangsawan. Rambutnya yang berwarna pirangitu di sanggul dengan sangat tertata. Hanya satu kata yang bisa menggambarkan dirinya. Menakjubkan.

            Hanya saja, ketika pandangan mata kami bertemu, seluruh rasa kagumku menghilang dan digantikan rasa takut yang tidak wajar. Warna matanya berwarna merah. Di sudut kafe yang tidak terlalu di terangi cahaya lampu, matanya terlihat begitu mengerikan.

            Warnanya merah darah.

            Bulu kudukku meremang. Aku mengerjapkan mataku, mencoba mengusir bayangan –bayangan mengerikan yang mulai merasuki otakku. Tenangkan dirimu, Gianna! Wanita itu pasti mengenakan lensa kontak. Tidak mungkin warna matanya seperti itu.

            Wanita itu tersenyum ramah kepadaku. Namun di mataku senyumnya tampak sangat mengerikan. “Miss Addyson?”

            “Oh, please, panggil saja Gianna,” jawabku dengan sedikit tergagap.

            Senyum wanita itu semakin lebar dan menampakkan giginya yang putih dan berderet rapi. Senyumnya semakin mengerikan saja. Dia terlihat… kejam.

            “Baiklah, Gianna.” Dia mengulurkan tangan kanannya ke arahku. Senyum masih tetap bertengger di wajahnya yang cantik tapi terlihat seram itu. Aku menyambutnya dengan bingung. “Aku Alcina, pemilik kafe ini. Kudengar kau ingin bekerja paruh waktu disini.”

            Aku terbelalak terkejut mendengar penuturannya. Wanita yang mengaku bernama Alcina ini adalah pemilik kafe ini? Aku menjadi tidak enak hati karena pada dasarnya aku sudah berpikir yang tidak –tidak mengenai calon atasanku.

            “Eh, maaf… Kupikir Cedrid adalah pemilik kafe ini,” kataku dengan ragu –ragu. Cedrid adalah teman kuliahku. Dia sendiri yang menawariku bekerja disini. Cedrid memang luar biasa. Dengan usianya yang masih terbilang muda –Cedrid lebih muda dua tahun dariku- dia sudah mampu mengelola sebuah kafe sendiri.

            “Cedrid adalah adik lelakiku. Kami membangun kafe ini bersama –sama. Tidak mungkin kan anak ingusan itu mampu mengolah kafe ini sendirian?”

The GuardianWhere stories live. Discover now