Bab 2 : Kehidupan Baru

1.4K 46 2
                                    

            Kubuka mataku dengan perlahan –lahan. Keadaan terasa begitu gelap. Aku hampir tidak bisa melihat apapun di sekitarku. Tatapanku menerawang pada langit –langit ruangan yang warnanya tak kalah gelapnya dengan keadaan ruangan ini. Aku mengerjapkan mataku. Sekali. Dua kali. Mencoba menyesuaikan mataku dengan kegelapan ruangan ini sekaligus mengusir rasa pening di kepalaku. Tidur yang terlalu lama menyebabkan diriku kesulitan untuk mengumpulkan kesadaranku kembali.

            “Ugh,” erangku sambil memijit –mijit kepalaku. Mengingat mimpi yang menemani tidurku tadi semakin membuat kepalaku sakit. Mimpi tentang sebuah ingatan yang sebenarnya sudah tidak ingin kuingat –ingat lagi. Ingatan yang ingin kupendam dan kulupakan untuk selamanya. Ya, ingatan tentang Alcina yang berusaha untuk membunuhku.

            Aku berguling di atas tempat tidurku dan kembali memejamkan mata. Kutarik nafas dengan berat dan kuhembuskan perlahan –lahan. Dadaku terasa sesak. Sesak mengingat ingatan itu kembali menari –nari di otakku. Sesak saat menyadari apa yang kutakutkan selama ini memang benar –benar ada.

            Aku percaya bahwa makhluk supernatural itu ada.

            Aku tidak ingat pasti kapan aku memercayai hal tersebut. Kepercayaan itu telah menjadi obsesiku. Kepercayaan yang memenuhi hampir setengah hidupku ini. Kepercayaan yang kuyakini sebagai penyebab kedua orangtuaku meninggal….

            Pintu kamarku diketuk dengan keras. Seseorang yang mengetuk pintu itu terdengar tidak sabar. Aku menyibakkan selimutku, bermaksud membuka pintu untuk siapapun yang mengganggu lamunanku itu.

            “Sabarlah sedikit,” teriakku kesal karena si pelaku mulai menggedor –gedor pintu dengan keras. Begitu mendengar teriakanku, si pelaku menghentikan aksinya. Namun seseorang itu memilih untuk langsung masuk ke dalam kamarku.

            “Kau mau tidur sampai jam berapa? Tidakkah kau sadar bahwa tidurmu sudah kelewatan!?” teriak seorang wanita dengan nada tinggi. Wanita itu berkacak pinggang dan memelototiku dengan ganas. Aku hanya menatapnya datar.

            Seseorang yang menjadi mimpi terburukku ini sedang memarahiku. Hebat sekali!

            “Kau berisik sekali, Alcina.”

            Alcina menyipitkan matanya. Warna matanya yang semula berwarna cokelat gelap berubah menjadi merah. Oh, tidak.

            “Jangan baca pikiranku!” protesku sia –sia karena matanya kini sudah berwarna merah menyala. Warna matanya selalu berubah menjadi merah saat dia mencoba membaca pikiran seseorang. Sial.

            Dia tersenyum dingin. “Tidak bisakah kita melupakan kejadian itu, Gianna? Berhentilah menyimpan dendam kepadaku. Kejadian itu sudah lama sekali terjadi.”

            “Kau berusaha membunuhku,’ kataku datar. “Kurasa setengah abad tidak cukup untuk memaafkanmu.”

            “Aku tidak membunuhmu,” elaknya cepat. “Aku mengubahmu.”

            Sial, itu memang benar. Kupikir saat itu aku sudah mati. Saat itu Alcina menghisap darahku banyak sekali. Jantungku rasanya sudah hampir berhenti berdetak saat itu. Tak kusangka dia tetap membiarkanku hidup. Maksudku, membiarkanku berubah menjadi sama sepertinya. Merubahku menjadi bagian dari kepercayaanku itu.

            “Aku masih bertanya –tanya kenapa saat itu kau memutuskan untuk mengubahku,” kataku pelan. Aku melirik ke arahnya. Kini Alcina sudah tidak membaca pikiranku. Dia jarang sekali menganggu privasiku. Hanya di saat darurat, katanya. Aku menghargainya. Sedikit.

The GuardianWhere stories live. Discover now