9. water nymph

1.7K 99 0
                                    

Tidak ada beban di pikiran, kesal, panik, cemas, atau apa pun meski begitu pulang pelayan mengabarkan bahwa Duchess menghilang. Duke itu, sama sekali tidak berusaha mencari maupun menurunkan perintah pada kesatria. Hidupnya berjalan seperti biasa.

Padahal, pelayan dan Lewis sudah berpikir Duchess dalam keadaan buruk. Mungkin disantap binatang buas atau makhluk-makhluk yang turun dari pegunungan. Namun, pria itu hanya mengangkat wajah tenang. Seolah tengah menyaksikan opera.

Duke selalu membalas, "Biarkan anak kecil itu berkeliaran."

Sampai kini, semua sudah melupakan tentang Delmora. Mungkin gadis kecil itu sudah tiada mengingat betapa buasnya dunia. Untuk apa payah-payah memikirkan sang nyonya yang bahkan belum mereka kenal? Toh, tidak ada simpati atau empati dari pemimpin mereka.

Biarlah gadis itu hilang.

Namun malam ini, Dylan memasuki kamar Delmora. Masih belum ada lukisan terpajang di dindingnya. Ia duduk di ranjang tersebut dan mengambil boneka beruang. "Boneka yang buruk," hinanya.

Boneka itu sudah robek. Separuh kapasnya keluar. Namun bisa-bisanya dimiliki Duchess Stark. Dylan membawa boneka tersebut ke balkon, semetara cerutu yang terselip di sebelah tangannya terus mengeluarkan asap. Ia melihat sejenak boneka tersebut, dan bayangan muncul dalam benaknya.

Delmora kecil yang tengah akur bermain boneka bersama saudarinya yang memiliki boneka kelinci. Setelah itu, Dylan membuang beruang kecil tersebut ke bawah. Biar pekerja membereskannya.

Lantas, Dylan menoleh pada bangunan kecil di samping kebun anggur. Di sini tidak cukup terlihat, hanya terintip dari celah saja. Hampir setiap senja, ia selalu berada di gudang kecil itu.

"Tunggulah dia berada di genggamanku," ucapnya, alis gelapnya serta tatapan tajamnya, selalu nampak hampa.

"Delmora." Ia menggumamkan nama tersebut. "Sayap dan kakinya perlahan akan patah, tanpa aku bersusah payah."

'Warna rambutnya seperti tulang-belulang yang terbuang sia-sia,' batinnya dengan mata meredup sejenak, mengingat warna rambut kuning keperakan yang tergerai hampir sepanggul.

Ia menyesap cerutu. Merasakan aromanya yang khas dan sepenuh hati, lantas mengehembuskan asapnya. Dari balik asap cerutu, bayangan mengerikan terbentuk.

Bentuk asap bagai tengkorak, memiliki gigi lebar menyeringai, mata kosong. Terlihat samar di bawah cahaya bulan.

"Heh ..., kau memanggilku?" kata asap itu.

"Bangunkan para rusalka¹."

"Bisa-bisanya kau menyuruhku dengan mudah, heh?"

"Jika kau ingin darah, pergi sekarang, Payah!" titahnya dengan nada rendah. Seolah binatang buas yang tengah menggeram.

Walaupun tersulut emosi sampai asapnya berhamburan, tak urung, ia terbang menuju hutan guna mengabulkan perintah sang tuan.

****

Malam ini, Delmora menunggu Serge yang tengah membeli bahan pangan. Meski tak membawa barang apa pun, Serge memiliki uang yang mumpuni untuk menjalani kehidupan. Kebetulan hutan tengah terang dengan adanya rembulan, ia menunggu di dipan depan pondok. Serge yang membuatnya beberapa tahun lalu. Ah, bukan Serge. Pria itu hanya membiayai. Meski kecil, ini lebih dari cukup dengan adanya kebersamaan.

Bunga-bunga liar yang kala siang masih kuncup, kini bermekaran disirami terangnya rembulan yang masuk melalui celah daun. Bunga liar, menyebarkan aroma manis pada indra penghirupan. Ia menghampar pandangan ke atas, pohon ek yang besar itu merimbun memayungi hampir seluruh hutan. Pun tentu memayungi pondoknya.

Your Grace, Kill Me NowWhere stories live. Discover now