7. Targaryen

1.9K 115 0
                                    

Dentingan-dentingan nada bersatu membentuk melodi muram. Delmora yang awalnya kurang mendengar lantaran tengah meletakkan kotak yang berisi surat-surat Serge, kini menegakkan kepala.

"Musik," gumamnya. "Sangat indah."

"Apakah Duke Stark memiliki maestro pribadi?" Delmora mencoba menebak.

Ia berjalan ke arah jendela mencari asal suara. Bila diingat, dirinya belumlah mengintip luar kamar sendiri. Tadi siang, ia sebatas duduk di balkon depan karena ingin melihat pegunungan yang membuatnya penasaran.

Di detik pertama memandang, pupil mata Delmora membesar, bekilau-kilau menampilakan kebeningan permata chrysolite yang terterpa sinar matahari. Buah ungu yang bergelantung di ujung penglihatannya, membuat dada Delmora berdebar.

Dia ingin lari!

Cepat-cepat, ia melupakan melodi hampa yang mengalun, lebih tergoda akan adanya kebun anggur. Lidya yang melihat seraya membawa buah anggur untuk sang nyonya pun, menegur.

"Nyonya! Anda tidak boleh berlari, cukup licin!"

Akan tetapi, Delmora tidak peduli. Kakinya berhentak keras di koridor, kemudian menuruni tangga spiral, dan lanjut berlari. Lidya yang melihat menghela napas. 'Benar-benar tidak sopan.'

Di luar, Delmora berjalan ke arah selatan seolah dituntun dentingan hampa dari piano serta kebun anggur yang segar menggugah selera musim panas. Ia tahu, dirinya sengaja berlaku tidak sopan. Namun, belum terdengar atau terintip satu orang pun yang berbisik-bisik mencibir sang nyonya. Memang sepertinya, Duke menaruh keketatan terhadap para pekerjanya.

"Waah!" Mulut gadis itu terngaga.

Di depannya, patung Dionysus sang dewa anggur menjadi hiasan dan berdiri hebat di pintu masuk. Bentuk penggambaran mahkota anggur dipahat detail di kepalanya, cawan di tangan kanan, serta sehelai pakaian yang menyampir dari bahu hingga atas lutut. Terletak di samping kiri pintu masuk yang berbentuk setengah lingkaran.

Pintu masuk kebun anggur yang melengkung tersebut, dirambati sulur-sulur anggur. Ada buah hijau mentah, matang kekuningan, maupun matang dengan warna ungu yang saling bergelantung.

"Kenapa kepuasan seperti ini adanya di sini?!" hardik sang gadis dengan bertulak pinggang.

Lagi, alunan musik membuat Delmora sadar kembali. Di sini, nada tersebut seakan bergelut dengan gemuruh air terjun. Ia memasuki kebun anggur, dan berlari ke dalamnya. Tanaman merambat ini dibentuk menjadi dinding bagai labirin.

Delmora tak perlu meloncat atau menjijit untuk memetik, berjongkok pun ia bisa mengambilnya. "Aku akan mengambil sebanyak yang kumau!"

Sampai kedua tangan penuh. Gadis itu memetiknya. "Kata si Pembatai, aku bebas mengambil apa pun, bukan?!"

Mengangkat setangkai anggur sejajar hidung, ia melahap beberapa butiran dari bawah sampai beberapa butir terjatuh ke rumput. Butiran buah tersebut bergemelatuk di dalam mulutnya yang penuh. Benar-benar, rasanya ia berada di pertanian Dewa Dionysus!

Dengan tangan masih penuh, Delmora berjalan ke tengah kebun. Semakin ke dalam, bukanlah berupa dinding saja, melainkan pepohonan menjulang yang dirambati tanaman tersebut. Ia berhenti berjalan tatkala melihat gazebo di tengah bentangan rumput. Pula seseorang yang berhenti memainkan piano dan melirik padanya.

"Duke!" seru Delmora terkejut. 'Mana mungkin orang seperti dia mampu bermain piano sehening tadi?'

Akan lebih pantas bila permainan itu terdengar kasar dan berisik. Tidak seperti alunan yang mampu membuai pada alam mimpi. Andai saja Delmora mendengarnya saat malam hari, bisa dipastikan akan tidur nyaman.

Your Grace, Kill Me NowWhere stories live. Discover now