50

13.7K 981 22
                                    

"Gila, seperti nya si Sinta benar-benar sudah terobsesi ingin memiliki Bang Jangkar. Ngeri nggak sih." Zaki bergidik memikirkan sikap Sinta.

"Karena itu saya tidak mau. Atau bagaimana kamu mendekati Sinta?"

"Ogah." Zaki melotot menggeleng cepat. "Seumur-umur walaupun bentukan saya begini, nggak cakep-cakep amat saya tidak pernah terpikirkan untuk mendekati si Sinta. Sama sekali tidak pernah. Apalagi saya tahu sikap nya yang begini dan terlalu memuja Bang Jangkar. Jawaban saya tidak!" tegas Zaki. Jangkar tersenyum tipis.

"Mana tahu dia berubah setelah bersama kamu." Jangkar masih mencoba Zaki.

"Nggak. Udah jangan di bahas lagi Bang. Jawaban saya TIDAK!"

Jangkar akhirnya mengangguk. Ia tidal memaksa sama sekali. Karena ia paham bagaimana hati bekerja.

****

Jangkar pulang ke rumah setelah mengantar Zaki terlebih dahulu.

"Buk Titin mau kemana?"

"Saya mau ke pasar dulu, Bang Jangkar. Kebetulan persediaan bahan makanan sudah menipis." Buk Titin menenteng tas belanja nya.

"Pergi sama Pak Mamat?"

Buk Titin mengangguk. "Tadi saya sudah izin sama Non Cia. Saya pergi duluan Bang Jangkar. Udah kesiangan ini."

"Iya. Hati-hati Buk,"

"Oke Bang Jangkar." Buk Titin mengacungkan jempol nya. Jangkar hampir saja tertawa. Buk Titin langsung berlalu begitu saja. Jangkar geleng-geleng kepala. Seusia Buk Titin mengangkat jempol itu sangat jarang di kampung ini. Pasti ajaran istri nya. Siapa lagi kalau bukan.

Jangkar langsung menuju kamar tempat istrinya beristirahat. Jangkar membuka pintu kamar begitu melihat Cia berada di pintu kamar mandi berpegangan ke dinding.

Cia kaget tiba-tiba badan nya sudah berada dalam gendongan Jangkar. Cia spontan mengalungkan tangan nya di leher Jangkar.

"Abang?" Kaget Cia.

Jangkar membawa tubuh Cia ke atas ranjang.

"Kenapa nggak pake tongkat nya? Nanti kalau jatuh gimana?"

Cia cemberut. "Nggak biasa pakai tongkat. Aneh rasanya."

"Untuk sementara sayang sampai kaki nya pulih lagi."

"Iya. Lagian Abang udah ada jadi nggak perlu tongkat lagi." Cia tersenyum manja.

"Iya kalau ada Abang. Kalau nggak ada?" Jangkar menyentil kening Cia. Yang di sentil pun hanya tertawa cengengesan.

"Pelukk," pinta Cia dengan nada manja sambil merentangkan tangan nya.

Jangkar tersenyum hangat. Ia langsung membawa tubuh Cia ke dalam dekapan nya. Jangkar mengusap sayang rambut istri nya. Cia memejamkan mata menikmati elusan tangan Jangkar.

"Abang udah ketemu sama sama Sinta dan orang tua nya?"

Jangkar mengangguk. "Udah. Masalah nya udah selesai. Abang udah beri peringatan supaya Sinta tidak menganggu Sayang lagi."

"Terus jawaban nya apa?"

"Pak Herman berjanji kalau Sinta nggak bakal menganggu kita lagi."

Cia mendongak. "Kalau Sinta gimana?"

Jangkar terdiam. Ia tersenyum sebelum menjawab. "Sinta tidak berani melawan orang tua nya. Mudah-mudahan saja."

Cia menghela nafas pasrah. "Semoga saja ya Bang. Ara berharap semoga Sinta bisa berhenti dan berubah. Semoga saja ada laki-laki yang baik untuk Sinta."

Jangkar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang