13. Hari Tanpa Rony

7.2K 543 53
                                    

Salma mengerjapkan matanya, menetralkan cahaya yang menerobos netranya. Ia berusaha meraih ponselnya diatas nakas, memastikan jam berapa sekarang.

11.00

Salma memilih untuk langsung bangkit, menekan knop pintu, mengedarkan pandangannya. Seperti biasanya, unit apartemen ini sepi, Nabila sepertinya sudah turun.

Salma memilih untuk kembali ke kamarnya, bersiap untuk mandi, mencari baju apa yang akan ia pakai.

Namun pandangannya teralihkan pada sebuah boneka kecil di pinggir kasur. Salma menghela napas pelan, itu pemberian Rony tadi malam. Boneka kura kura, yang kata Rony, itu seperti dirinya.

"Kura kura ini kayak lu, Sal. Jalannya memang nggak secepat kelinci atau kancil, tapi kura kura selalu konsisten, fokus sama apa yang dia kerjakan. Setiap lihat kura kura, yang ada di otak gue cuma lu. Gue selalu kagum sama cara lu bertahan di dunia musik, segala halang rintang yang belum tentu bisa gue lewatin kalau gue ada di posisi lu. Tetap jadi Salma yang itu ya, Sal. Salma yang nggak pernah menyerah sama impiannya, Salma yang separuh jiwanya adalah musik. Tapi kali ini lu nggak akan sendirian menghadapi masalah, Sal. Gue disini."

Salma menghela napas, baru tersadar, pagi ini adalah pagi pertama tanpa Rony. Tanpa segala pertengkaran dan perdebatan. Tanpa suara suara yang meninggi.

Salma berdeham, merasakan tenggorokan nya yang terasa kering, ia buru buru keluar kamar, mencari segelas air lalu meminumnya hingga tandas. Salma memutuskan untuk mandi, memulai aktivitasnya pagi ini.

***

Salma menyandarkan bahu, rasanya tubuhnya aneh, ia lelah, matanya mengantuk. Tadinya ia hanya menganggap ini kelelahan, menunggui Rony semalaman, sampai pria itu benar benar hilang dalam pandangan. Namun ternyata tidak, Nabila tadi mengukur suhu badan Salma dengan tangannya, ia langsung panik berlarian kesana kemari mencari termometer.

Sekarang mereka berdua disini, di sofa ruang tengah apartemen, Nabila yang sibuk membuka tutup termometer, dan Salma yang memejamkan matanya, berusaha menghilangkan rasa sakit di kepalanya.

"Kak, coba sini, pakai termometer dulu!"

"Malu, Nab!"

"Kak, aku cewek kalau kak Salma lupa."

Salma akhirnya menurut, mengikuti arahan Nabila. Nabila meletakkan termometer itu disela ketiak Salma, menutup kembali jaket yang sempat terbuka.

"Dingin, Nab." Salma mengadu, dengan sigap Nabila mengambil remote AC, mematikannya.

"Kak Salma mau makan apa? Biar aku pesanin." Tanya Nabila lembut, merapikan anak rambut Salma yang berantakan.

Salma menggeleng pelan, rasanya mulutnya pahit, tidak berselera menelan sesuap makanan.

"Kak Salma makan dulu, nanti malah tambah pusing kalau nggak makan."

Salma hanya diam, menutup matanya erat erat. Nabila menghela napas melihatnya, kegiatan mereka pasti akan lebih padat. Tadi pun mereka diberitahu akan menyanyikan banyak lagu Senin depan, jika keadaan Salma begini, Nabila khawatir.

Termometer digital itu berbunyi, menandakan suhu tubuh Salma sudah terukur. Nabila mengambilnya, matanya melotot tak santai, suhu tubuh Salma terlalu tinggi.

"Kak? Ke kamar, yuk. Kak Salma istirahat."

"Berapa, Nab?" Tanya Salma karena Nabila tak kunjung memberitahu suhu tubuhnya.

"40 derajat, Kak. Kak Salma demam, yuk ke kamar. Aku mau beli makanan dulu keluar."

Salma menurut, dengan kepala yang sakitnya tidak karuan, matanya yang semakin lama semakin memberat, badannya ngilu, tapi ia berusaha tetap berjalan, berpegangan pada lengan Nabila. Dengan sabar, Nabila menuntun Salma menuju kamar, membantu Salma menidurkan dirinya. Nabila merapikan bantal yang Salma pakai agar nyaman.

Fated | Salma Rony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang