12. Can I?

6.7K 519 84
                                    

Salma merapikan hijab yang ia pakai, melangkahkan kakinya untuk menuju ruang tunggu dibawah. Ia kembali menghela napasnya sebelum benar benar menaiki lift.

Kini ia sendirian, Nabila sudah turun, tadi saat acara benar benar usai, Salma mengizinkan nya untuk membersihkan diri terlebih dahulu, Salma masih harus menenangkan hatinya.

Sekarang pukul empat pagi, dan itu artinya, baik Salma ataupun Nabila, harus rela melepas Rony untuk kembali pulang kerumahnya. Tidak ada lagi yang akan dipanggil babeh oleh Nabila, tidak ada lagi teman bertengkar Salma, mereka akan benar benar berpisah.

Lift berdenting pelan, Salma langsung masuk, menekan angka pada dinding lift. Sekali lagi menghela napas, ia tidak ingin menangis didepan Rony nanti, terlebih lagi didepan Nabila, Salma tidak mau membuatnya seolah merasa bersalah, tapi apakah bisa?

Pintu lift terbuka, Salma melangkahkan kakinya keluar, mengikat kedua ujung hijabnya ke belakang. Ia menunduk, sampai sebuah suara menginterupsi nya.

"Kak Salma!"

Salma mendongak, melihat Nabila yang sudah duduk berhadapan dengan Rony. Pandangan Salma beralih pada Rony, mata mereka berdua bertemu, Salma buru buru mengalihkannya, tidak sanggup melihat mata teduh yang terlihat sembab itu.

Tanpa menjawab lagi, Salma ikut mendudukkan dirinya di sebelah Nabila, ia memainkan jemari yang ada di pangkuannya, bingung harus memulai pembicaraan darimana.

"Kalian kenapa diem aja? Nggak mau ucapin salam perpisahan buat gue?" Rony bersuara, memecah keheningan yang tercipta hampir sepuluh menit itu.

"Aku bingung, Kak." Nabila menjawab lebih dulu.

"Sal?" Kini Rony beralih, menatap Salma yang masih menunduk.

Salma menggeleng pelan, rasanya bibir nya kaku, public speaking yang ia pelajari mendadak hilang begitu saja.

"Aduh, kasihan banget ya jadi gue. Pas pulang, di panggung nggak ada yang ucapin salam perpisahan, di belakang panggung juga nggak ada."

Salma langsung mendongak mendengar kata kata Rony, bibirnya mengerucut lucu, tidak suka dengan yang Rony bicarakan.

"Ron, apasih..." Tegurnya.

Rony hanya tertawa, menyandarkan punggungnya. "Gue bercanda, kalau kalian nggak mau ngomong sekarang, gue aja yang ngomong berarti. Makasih ya, Sal, Nab. Dua minggu terakhir kita makin deket, mungkin sama kayak yang Nabila sering bilang, semakin sedikit orangnya, kita harus saling menguatkan. Seminggu kemarin kita tinggal bertiga, sekarang, kalian tinggal berdua, benar benar berdua,"

Rony menjeda ucapannya, menghela napas sejenak, "Maaf ya, Sal, Nab. Gue nggak bisa jaga kalian lagi, pada akhirnya, kalian yang harus bisa jaga diri sendiri. Janji ya, sama gue, jangan takut kalau kalian benar, harus dijaga pola makan dan tidurnya, dan jangan lupa sholat, ya? Kalian juga harus belajar terbuka satu sama lain, ya, jangan dipendam sendiri terus. Janji?"

Kedua perempuan itu masih menunduk, justru kini terdengar isakan dari Nabila. Salma menoleh, mengulurkan tangannya merangkul Nabila, ia mengusap pelan lengan wanita itu. Meskipun tak kalah sedih, Salma berusaha tetap bisa menguatkan Nabila, ia tahu sekali perempuan itu lelah mental dan fisik.

"Nab, nggak apa apa." Lirih Salma pelan, masih berusaha menenangkan.

Interaksi kedua perempuan itu tak lepas dari pandangan Rony, ia tersenyum. Rasanya hatinya menghangat melihatnya, Salma yang anti sekali dipeluk, namun dengan Nabila, justru ia yang memulainya. Dan Nabila, anak pertama yang selalu harus terlihat kuat kini bisa rapuh dengan bebas, dengan puas didepan Salma.

Fated | Salma Rony Where stories live. Discover now