19. Kumpul

3.4K 307 3
                                    

Hari ini, Raka mengikuti olimpiade. Ia menggigit bibirnya cemas.

Kartu peserta tak ada, dan ia harus berangkat sekarang. Ia sangat ingat, kartu itu sebelumnya berada di sebelah tasnya.

"Udah gapapa, kita berangkat sekarang. Nanti kalo ketemu biar dianterin," ucap Pak Vino.

"Beneran pak?"

"Iya."

"Maaf ya pak," sesalnya. Ia merasa bersalah karena lalai sehingga kartu pesertanya hilang.

"Udah, gapapa. Ayo!" Ajak Pak Vino.

Raka mengangguk dan mengikuti guru itu ke salah satu ruangan untuk daftar ulang.

Murid-murid hari ini diliburkan, namun ada beberapa yang berada di sini dengan alasan ingin menyemangati temannya yang ikut olimpiade.

Lima menit ia berdiri di depan ruangan olimpiade, suara langkah kaki terdengar jelas.

Dua orang pemuda berlari menghampirinya. "Raka!" Seru keduanya.

Raka membulatkan matanya. Bukan! Bukan karena terkejut dengan seruan itu, namun ia terkejut melihat sebuah benda yang dipegang oleh salah satu dari mereka.

"Zen? Ferro?"

"Nih punya lo," ujar Ferro memberikan kartu peserta pada Raka.

"Makasih. Ketemu dimana?"

"Gatau, Zen yang nemuin."

Zen tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Di deket tas lo," jawabnya setelah berpikir sejenak.

"Lah, padahal tadi gue cari ga ada."

"Ketutupan hoodie lo."

"Perasaan tadi udah gue buka tetep ga ada." Raka masih heran dengan kartu pesertanya ini.

"Udah, sana! Keburu mulai ntar," suruh Zen mendorong pelan pemuda itu memasuki ruangan.

"Semangat! Pasti bisa!" Ujar keduanya memberikan semangat sambil mengepalkan tangannya.

Raka tersenyum dan melambaikan tangan sebelum benar-benar masuk.

"Loh udah ketemu?" Tanya Pak Vino.

"Iya pak, tadi di anterin sama temen."

.

.

.

"Gimana? Susah ga?" Tanya Dimas. Ia kini berada di rumah Jendra, bersama dengan adik dan sepupunya.

"Susah-susah gampang sih. Seimbang."

"Otak lo berapa GB sih? Pinter bet, heran gue," celetuk Ferro.

"Tiga GB per hari," canda Raka. Mereka tertawa, kecuali Jendra yang masih mempertahankan ekspresi datarnya.

"Oh iya, Kak Danis mana? Dari kemarin ga keliatan. Aku chat juga ga dibales."

"Masuk angin dia, abis ujan-ujanan. Tadi ngamuk ke saya."

"Lah, kenapa?"

"Ga dibolehin ketemu kamu, takutnya malah ketularan. Terus ngamuk-ngamuk, bilang pengen ketemu sama kamu," jelasnya.

Raka tertawa kecil. Faza ternyata brutal sekali.

"Coba tel-"

Belum selesai ia berbicara, seseorang mendobrak pintu utama rumah itu.

Brak

"BAYI GUEEEE!!!" Teriaknya. Ia berlari kearah Raka dan memeluknya erat hingga pemuda itu merasa sesak

Jendra segera menarik tubuh Raka. "Faza!"

Dimas menarik perempuan itu dan menyentil keningnya. "Udah dibilangin, jangan kesini kok ngeyel!"

"Aku udah sembuh, ya! Nih liat nih!" Faza mengambil sebuah termometer yang ia bawa dan mengecek dirinya sendiri.

"Tuh liat! Tiga lima koma enam, normal kan? Dibilangin udah sembuh kok. Kak Dimas yang ngeyel!" Bantahnya tak terima.

"Udah ah, ribut mulu. Sini kak, sama aku." Raka menarik tangan Faza untuk duduk di sebelahnya.

Dimas dan Jendra mengikuti mereka untuk duduk di tempat semula.

"Mereka tuh kalo ketemu mesti ribut dulu perasaan, heran gue." Ferro berceletuk sambil memakan camilan.

"Daripada lo? Pacar satu, omongan manisnya dimana-mana," sahut Zen yang memang 100% benar.

"Dih! Apaan sih!"

Raka tertawa kecil. Ia membuka mulutnya ketika Faza menyuapkan sepotong buah pir.

"Yang disuapin si Raka, padahal pacarnya di sebelah. Abis ini cemburu pasti, Kak Dimas. Yahaha ga dianggap," ejek Ferro.

"Dih sok tau, gue ga gampang cemburu ya, kaya si itu," jawab Dimas.

"Itu siapa?" Pancing Zen.

"Ya ada lah, takut di gebuk gue kalo nyebut lengkap."

"Hahahahaha!"

"Zen, lo beneran ga punya pacar?" Tanya Faza penasaran.

"Ga."

"Ga ada yang lo suka gitu di kelas? Atau di sekolah?"

Zen menggeleng. "Dia kan masih nunggu temennya pulang kesini, ya kan manusia prenjon?" Goda Ferro menaik-turunkan alisnya.

Pemuda itu mengambil remote dan memukul kepala sepupunya dengan remote tersebut.

"Anjir! Sakit!"

"Mampus! Lagian lo pake ngomong kaya gitu segala sih," ejek Raka.

"Ya kan emang ben-"

"Eh iya ampun! Engga Zen!" Seru Ferro saat melihat Zen sudah berancang-ancang untuk menendangnya.

"Kamu dianter siapa kesini?" Tanya Dimas pada kekasihnya.

"Hayoloh Faza dianter sama siapa... Sama cowo ya?" Kompor Ferro. Pemuda itu tak bosan-bosan membuat keributan.

"Iya, dianter cowo!" Sewot Faza. Ia kesal dengan sepupu kekasihnya ini. Rasanya ingin ia cekik dan ia buang di rawa-rawa penuh lintah dan buaya.

"Za?" Panggil Dimas mengintimidasi.

"Ojek maksudnya," jawab Faza. Dimas mengangguk mengerti.

"Ojek apa ojek?"

Faza yang sudah terlanjur kesal mengambil kamus yang berada di meja dan melemparkannya pada Ferro.

"Dari tadi gue kena kekerasan mulu, kit hati acu," ujar Ferro lebay. Ia memegang dadanya dramatis.

"Berisik, keluar." Jendra membuka suara karena sedikit kesal dengan sahabat Raka yang berisik itu.

"Ampun bang, engga berisik lagi gue."

Yang lainnya tertawa kencang melihat Ferro yang tampak menurut pada Jendra.

Dalam hati, Ferro mengumpat kesal. Mana berani ia berucap langsung. Bisa-bisa orang tuanya akan memasang bendera hitam di depan rumah.

"Saya tahu kamu mengumpati saya," ucap Jendra sambil menepuk kepala Raka yang tampak mengantuk.

"Engga bang...." Lirihnya.

"Sampe rumah tekanan batin tuh," bisik Faza pada Dimas. Lelaki itu hanya terkekeh kecil melihat sepupunya tertekan.

.

.

.

Eyyo! Abis ngerjain tugas malah gabut. Update lagiii!

Siapa yang punya temen atau saudara kaya Ferro? Sukanya ngomporin mulu.

Eternal; Shanka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang