05. Worry about you

10.8K 790 7
                                    

"Woi minggir ah!" Seru Ferro tak terima saat Zen merebahkan kepalanya di punggungnya ketika ia tengkurap.

Ketiga pemuda itu sudah sampai di rumah pohon yang terletak di kebun milik keluarga Zen.

"Diem ngapa sih ribet amat!" Zen dengan santai memejamkan matanya, tak menghiraukan sumpah serapah yang ditujukan untuknya.

Raka memilih memakan camilan yang ia bawa dipojok. Ia memainkan handphone sambil mendengarkan musik.

"Gue ngantuk," celetuknya. Zen dan Ferro spontan menoleh.

"Lo tadi abis tidur coy, dan sekarang ngantuk lagi?" Tanya Ferro yang disetujui oleh Zen, sang sepupu.

"Gue kekenyangan." Raka meletakkan bungkus camilan yang sudah kosong.

"Kalo kekenyangan gue jadi ngantuk," imbuhnya. Ia bersendawa kecil lalu menghembuskan nafasnya.

"Cita-cita punya perut kotak-kotak tapi kerjaannya makan mulu," sindir Zen.

Raka mendelik dan melemparkan bungkus camilan tadi hingga mengenai muka Zen.

Ia memilih merebahkan tubuhnya. Rumah pohon ini memang tidak terlalu kecil, sehingga bisa diisi kasur lipat.

"Lo udah ngabarin abang lo belum?" Tanya Ferro.

Raka yang hampir tertidur sontak membuka matanya kembali. Dengan gerakan cepat ia mengambil HP yang tergeletak di sampingnya. Setelah menghidupkan data, ia melihat banyak pesan dari Jendra yang belum ia buka.

"Anjir, mati gue."

"Napa?" Zen bertanya.

"Data hp gue tadi mati, ternyata Bang Jendra nge chat." Raka menggigit bibirnya cemas.

"Pulang sono!" Usir Ferro.

"Bukannya dibantuin malah ngusir! Kalo gue pulang ntar langsung ngadep ke Bang Jendra, takut gue cok!"

"Ya kalo lo ga pulang sekarang, tambah bahaya, bodoh! Punya temen gini amat dah," ucap Ferro mendramatisir.

"Hati-hati," kata Ferro dan Zen sambil melambaikan tangan dan tersenyum menyebalkan.

Sebelum turun dari rumah pohon, Raka menyempatkan diri untuk menoleh dan mengacungkan jari tengahnya, membuat kedua pemuda yang masih asik berbaring di dalam tertawa kencang.

.

.

.

Raka sudah tiba di depan pekarangan rumah. Bulir keringat muncul membasahi dahinya. Ia mencengkram erat stang motor yang dikendarainya.

Tenang Raka, ga boleh panik, batinnya.

"Oke, pasti Bang Jendra belum pu-" ucapannya terhenti saat melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di garasi dengan plat nomor yang sangat ia kenali.

"Segawon," gumamnya. Ia memarkirkan motor di dekat garasi dan melepas helmnya.

Saat berada di depan pintu rumah yang tertutup, ia membasahi bibir dengan lidahnya sebentar. Tangannya mulai membuka sedikit demi sedikit. Matanya membulat sempurna saat melihat Jendra sudah berdiri tegak didepannya.

"Tidak membalas pesan, tidak memberi kabar, tidak menjawab telfon," ujar Jendra santai.

Glek

Ucapan santai dari Jendra membuat Raka takut, tolong tenggelamkan ia di rawa-rawa sekarang juga!

"Tadi-"

"Lupa?" Potong Jendra menaikkan sebelah alisnya.

Help me! Jeritnya dalam hati.

Eternal; Shanka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang