💫 Latihan

111 24 1
                                    

"Udahlah turutin aja," jawab Regi santai.

Jam ke 5-6 ternyata gurunya tidak masuk. Namun, ada beberapa tugas yang harus di kerjakan. Jujur, aku sama sekali tidak bisa fokus hari ini. Pikiranku hanya terisi puisi, puisi, dan puisi.

Tidak menentu, tidak pasti. Sekarang harus gimana? Besok kita harus tampil. Tapi mereka semua mundur begitu saja?

"Bagusnya nanti setelah puisi pakai lagu. Mantep gak tuh."

Tiba-tiba dia menyeletuk.

Idenya bagus sih. Tapi ini cara literasi. Masa ada nyanyiannya sih? Tapi masuk akal juga. Literasi'kan bukan hanya sekadar membaca dan menulis. Literasi itu luas.

"Ros, nanti kita latihan di studio gue!"

Cukup kaget dengan tawarannya tapi gimana lagi ini bener-bener mendesak. Aku juga tidak tahu di mana studionya. Tidak memikirkan apapun sekarang yang jelas bagaimanapun caranya kita harus latihan!

Ini mepet sekali.

"Oke!"

"Ciee dua-duaan." Nadia nyengir kuda dengan lollipop di mulutnya, "Heh Ragas. Gue ragu Lo bisa Dateng ke sekolah jam setengah tujuh," tambahnya.

Aku baru ingat. Lawan duetku ini tukang terlambat. Gimana mau tampil kalau ke sekolah saja setelah kegiatannya berakhir?

Selama ini dia sering terlambat sedangkan acara literasi ini di mulai pukul setengah tujuh dan berakhir saat jam tujuh.

"Bener tuh. Jangan sampe Lo terlambat Gas! Jangan kecewakan kita." Regi ikut menimpali.

"Tenang aja," jawabnya meyakinkan.

"Awas aja kalo Lo telat." Nadia mengarahkan jari telunjuknya pada leher, memberikan gerakan menyayat.

Namun tidak diacuhkan oleh sang sasaran. Dia mengalihkan pandangan dan fokus lagi ke bukunya.

"Tapi malu gak ya. Nanti gue atur lah jadi cuma kita berdua aja yang di studio," ucapnya lagi dengan enteng. Namun, posisi tubuhnya tidak berganti. Masih duduk membungkuk nulis di lantai mesjid.

Namun, tidak bagiku. Ucapan itu malah membuatku deg-degan. Tonglah di saat seperti ini jangan sampai ada kata baper. Aku sangat mohon.

Setelah konfirmasi ke bu Evi ternyata boleh sekalian nyanyi juga. Dia jadi tambah bersemangat.

Tapi sayang. Rencana kita mau latihan di studio ternyata tidak jadi alias gagal. Di sekolah sudah ada gitar ya, meskipun itu dari eskul seni musik dan perlu usaha lebih untuk mendapatkannya, kata Regi pembinanya agak galak. Syut jangan bilang-bilang. Untung saja di kelas ini ada Regi yang lumayan berperan penting di organisasi.

Harusnya aku bahagia karena tidak jadi latihan di studio nya yang mungkin banyak teman-temannya tapi, aku agak sedikit kecewa karena gagal latihan hanya berdua dengannya.

Kami satu kelas berkerumun di depan masjid. Yakali main gitar di dalam mesjid.

Kami menyaksikannya yang sibuk memetik gitar. Aku sempat terpana. Tapi hanya sempat loh, ya bukan terpana beneran.

"Wiss!!! Keren Lo Gas." Diko menepuk bahunya.

"Yoi. Kalau ini diliat sama pak Iyas Lo bakal direkrut sama dia."

Seperti biasa. Respon yang dia berikan hanya senyum mesem dengan mata menyipit.

Aku kesal. Bukanya dipakai untuk latihan. Gitar ini malah dipakai nyanyian satu kelas. Tapi tak apa, itung-itung menabung kenangan kebersamaan yang selama ini pada fokus main hp. Sekarang kita semua menyanyi menikmati kebersamaan. Lebih tepatnya mereka.

Aku hanya diam memandang kertas lecek dengan pikiran berkelana. Apakah aku memang sudah siap tampil besok? Entahlah.

Untung saja Regi peka. Mungkin dia melihat wajahku yang tidak bersemangat.

"Ayo latihan dulu. Nyanyi-nyanyinya bisa nanti."

"Iya, sok atuh."

Kami latihan dua kali. Dia sempat grogi, main gitarnya kacau. Apalagi aku tapi, aku masih bisa mengontrol diriku ini. Duduk di deketnya meskipun tidak terlalu bersebelahan ternyata seperti ini rasanya.

Setelah selesai mereka semua bertepuk tangan. Mereka semua memberikan kita semangat. Semangat yang sangat mendukung mental kami untuk tampil di depan umum.

Untuk Rindu dan Fidah aku sudah meminta ijin dulu kalau yang siap tampil hanya aku dan Ragas apa boleh kami berdua saja yang tampil musikalisasi puisi?

Dan yeah, mereka membolehkan. Mau gimana lagi, mereka gak siap'kan?

Di perjalanan menuju parkiran aku melihat dia dengan tas hitam bertali merah. Hidupnya santai sekali. Langkahnya ringan seolah tanpa beban. Dia tidak pernah membawa motor ke sekolah.  Mungkin dia sedang menunggu temannya.

"Ragas," panggilku.

Dia menoleh. Jangan lupakan senyum mesennya itu.

"Eh Ros. Apa?"

"Nanti tolong kirim aransemen gitarnya aja ya!"

"Siap."

💫Si Penikmat Keterlambatan💫

Yakin cuma aransemennya aja?

Si Penikmat Keterlambatan [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang