💫 Inspirasi

130 29 0
                                    

Hari yang di tunggu telah tiba. Hasil rapat bagan futsal kemarin menyatakan bahwa kelas kita yang pertama kali main melawan XI IPA 2. Double sial karena kelas tersebut hampir semuanya anak futsal.

"Ayo!!!! Semangat!"

Usai pembukaan yang meriah dari penampilan Drumband SMA ini plus colab sama anak ikatan pencak silat (IKPS) kini di mataku hanya terpaku pada satu sosok. Rupanya anak itu juga lumayan jago futsal. Yah, meskipun kelas kita juga ujung-ujungnya kalah.

Mereka semua menghampiri kami. Lihatlah wajah-wajah penuh kekesalan itu, jangan lupakan juga Zat sisa berbentuk keringat itu menetes di setiap kulit. Siapa suruh gak pernah latihan dan langsung main gitu aja tanpa persiapan. Mereka mengambil minuman dari dalam boks dekat aku duduk. Satu persatu teh botol itu kini pindah ke tangan mereka.

"Ada yang lihat PMR gak?" Adri bertanya. Keringat bercucuran di wajahnya. Menengok ke sana kemari mencari anak PMR.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Ini si Ragas lututnya berdarah."

And yeah! Itu satu-satunya tragedi yang aku ingat saat lomba cerpen telah di mulai dengan tema class meeting tahun ini. Cerpen yang berjudul 'Tanpa Ancang-Ancang" yang beraninya aku tulis dengan tokoh utama dirinya. Aku tidak tahu. Kenapa yang aku tulis adalah sosok dirinya. Sosok humoris yang hampir setiap hari membuat kelas kami tertawa.

Jujur, aku ingin berterima kasih padanya. Karena dirinya, aku bisa menyelesaikan cerpen itu dengan baik dan mendapatkan juara satu meskipun itu bukan tingkat apa-apa.

Dan mungkin itu juga yang membuaku  menempatkan ketertarikan padanya. Tapi tunggu. Bukankah aku sudah merasa terhibur akan kehadirannya di dalam kelas selama ini? Jadi ini mungkin hanya perasaanku saja. Aku tidak tertarik padanya tidak sama sekali!

Tahun ajaran baru sudah di mulai. Kini kami menginjak kelas XII. Namun, masih dengan penghuni yang sama. Sekolah kami memang begitu, 3 tahun full bersama orang yang sama.

Dengan keadaan sekolah sudah kembali normal. Kegiatan sekolah juga kembali padat. Kami siswa-siswi diwajibkan datang paling lambat pukul 06.30 dan pulang pukul 15.30

Sekolah ini juga menerapkan sistem poin setelah sekian lama berhenti akibat pandemi. Jadi setiap siswa yang melanggar aturan, salah satunya adalah terlambat. Maka poinnya akan dikurangi.

Sekadar info saja. Setiap murid hanya memiliki 100 poin saja. Dan jika itu berkurang. Apalagi sampai habis. Siap-siap saja ditendang keluar.

Tentu saja hal tersebut sangat sulit kami lakukan dan harus beradaptasi dulu usai pandemi ini.

Dengan kedatangan kepala sekolah baru. Sebagian kelas tengah direnovasi. Dan kelas kami salah satunya. Akhirnya kami diungsikan dan terdampar di masjid sekolah. Sungguh kasihan sekali. Mana sinyalnya lemot lagi, Tapin untunglah dekat dengan kamar mandi.

Oh iya. Ngomong-ngomong masuk pukul setengah tujuh itu. Bagi aku yang rajin ini saja terasa lumayan sulit, gimana sama dia yang notabennya suka terlambat?

Yeah! Setiap hari dia terlambat! Tapi anehnya dia selalu lolos dari gerbang. Entah dia punya jalan rahasia tau gimana. Tapi yang jelas. Dia selalu datang paling akhir.

Contohnya sekarang. Mata pelajaran bahasa Indonesia tengah berlangsung. Ibu Evi tengah menjelaskan bagaimana caranya menulis teks prosedur dengan baik dan benar.

"Jadi, Teks Prosedur ini sering menggunakan kata-kata imperatif atau kata-kata yang memerintah. Seperti gunakan, tuangkan, dinginkan dan lain sebagainya, nah,-"

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." Kami serentak mengalihkan perhatian pada pintu mesjid. Di sana, dia dengan santainya menunggu untuk dipesilahkan masuk oleh ibu Evi.

"Masuk." Ibu Evi menutup buku paket berwarna kuning bertuliskan Bahasa Indonesia itu, "A sini sebentar!"

Dia mengangguk.

Aku tidak tahu apa yang ibu Evi bicarakan. Ibu Evi membisikan sesuatu yang sepertinya panjang kali lebar. Karena jam pelajaran Bu Evi memang selalu jam pertama. Otomatis dia tahu kalau  si Ragas ini sering terlambat.

Di lihat dari wajahnya sih, dia agak berubah. Yang tadinya santai kini agak sedikit menegang. Kira-kira apa yang ibu Evi katakan dengan waktu hampir 7 menit secara berbisik? Tapi bagus juga.

Mungkin dengan ini dia bisa lebih disiplin dan tidak terlambat lagi.

Setelah selesai mendapatkan ceramah dari Bu Evi. Sekarang dia duduk di paling belakang tapi, bukan di belakangku lagi karena sekarang perempuan dan laki-laki di pisah sebab lesehan. Bahaya'kan kalau kita nulis dan di belakang ada laki-laki.

Dia sempat melirik ke arahku sekilas. Namun, aku malah membuang muka.

"Baik jadi ibu akan akhiri saja materi kali ini karena ibu rasa sudah cukup. Untuk tugas kali semua membuat karya, ya. Karena belajar dengan ibu harus membuat satu karya dari setiap materi. Kalian semua harus membuat teks prosedur, boleh dalam bentuk tulisan di ketik dengan ukuran kertas A4, boleh dengan bentuk audio atau video yang dikumpulkannya melalui Drive satu kelas. Dikumpulkan Minggu depan. Ada yang mau di tanyakan sebelum ibu tutup?"

"Cukup Bu."

"Baiklah. Terima kasih wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

Dan entah kenapa lagi. Untuk tugas kali ini bahkan aku juga dengan berani-beraninya menulis tata cara agar tidak terlambat ke sekolah, dengan judul CARA JITU AGAR TIDAK TERLAMBAT KE SEKOLAH. Apa ini hanya sebuah kebetulan belaka? Atau aku memang sengaja menulis ini hanya untuk dirinya yang sang penikmat keterlambatan?

💫Si Penikmat Keterlambatan💫

Eaaaa.

Si Penikmat Keterlambatan [LENGKAP]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin