💫Tragedi Gempa

165 26 0
                                    

"Ada yang ingin di tanyakan?" Seperti biasa bu Ani akan memberikan kesempatan muridnya untuk bertanya.

"Bu." Murid di belakangku bersuara.

Namun Bu Ani tidak mendengarnya.

"Bu!" Kali ini suaranya lebih keras.

Perhatian teman-teman juga kini berpusat padanya termasuk aku.

Bu Ani tersenyum, mungkin dalam hati, 'tumben sekali anak satu ini bertanya.'

"Boleh Ragas, mau tanya apa?"

"Ijin ke toilet Bu."

Satu kelas tertawa. Memang tidak ada yang lucu tapi, cara bicaranya itu loh.

Kadang hanya berbicara dirinya bisa langsung membuat orang lain tertawa. Aneh.

Hah, dasar beser. Baru juga minum, masa mau pipis sih.

Ibu Ani mengangguk.

Kami meneruskan kembali  pembelajaran dengan tenang sampai akhirnya berubah gaduh karena gempa kecil begitu terasa di kelas kami yang berada paling tinggi ini.

Aku yang memang panikan kalau masalah gempa karena punya trauma, langsung keluar pertama dari kelas, tidak memikirkan apapun. Teriakan mereka semua, termasuk teriakan ibu Ani  saja  keluar masuk di telingaku. Di saat yang lain turun entah siapa dia malah naik ke atas dan tidak sengaja berbenturan denganku.

Tidak memikirkan hal lain selain harus menuruni tangga ini. Aku tidak peduli  dengan kaki kanan yang terkilir. Terus di seret sampai tiba di bawah, di depan kelas X IPA yang lain. Mereka semuanya juga berhamburan ke luar. 

Gempa keduanya lumayan besar. Tapi untung saja bangunan ini cukup kuat.
Sampai di bawah baru aku rasa kalau kaki yang terkilir ini lumayan nyut-nyutan. Aku duduk di lantai keramik putih. Meluruskan kaki dan memijat pergelangan yang terkilir.

"Kamu gak papa Rosa?" Indria bertanya. Mungkin dia melihatku terkilir tadi.

"Gak papa, tadi cuma terkilir sedikit. Sebentar lagi juga sembuh."

'iya lumayan juga gempanya.'

'tuh, kan kata aku ge tadi teh gempa bukan suara mobil.'

'sumpah guys aku sama sekali gak inget apa-apa kecuali hp sama pulpen.'

"Udah anak-anak. Kita kembali ke kelas ya." Ibu juga terlihat masih syok. Tapi mau gimana lagi  kelas kita yang memang di atas jadi kalau ada gempa memang paling terasa.

"Kuat berdiri?" Indria membantuku berdiri. Pril, teman yang satuku lagi juga membantu.

"Kuat kok. Makasih ya." Aku harus sadar diri. Badan gemuk kaya gini siapa yang mau ngangkat kalau gak naik sendiri. Lagian cuma terkilir doang kok. Gak sampai patah.

'Tringggggg.'

Kelas hening. Mereka semua keluar kelas untuk mencari makanan. Jam segini emang lagi lapar-laparnya.
Aku bawa bekal hari ini jadi aku lagi nunggu Indria dan Pril yang lagi jajan buat makan bareng.

"Ros."

"Hemm.." Dia memanggilku. Siapa lagi kalau bukan si Ragas. Gak tahu dia mau minta masker lagi atau air lagi.

"Lo tadi yang pertama turun?"

"Apa?" Tanyaku tidak paham.

"Tadi kamu yang paling dulu turun pas gempa bukan? Kakinya gak papa?" Dia melirik kaki kananku yang sudah aku lepas sepatunya.

Aku menyernyit.

"Maaf ya, tadi gue yang naik."

Pantas saja. Jadi dia yang malah naik di saat orang lain turun? Jadi harusku apakan bocah satu ini yang sudah membuat aku pincang sebelah?

"Iya gapapa." Ya sudahlah. Gak perlu diapa-apain. Toh udah terjadi ini.

Semester akhir sudah tiba. Kami para siswa-siswi baru saja menyelesaikan Penilaian akhir semester berbasis online.

Tapi tetap saja mengerjakannya di sekolah dengan guru pengawas yang super kiler tapi masih ada yang bisa ngintip google karena nakal gak pake aplikasi malah scan di chrome dan anehnya bisa gak ketahuan. Kan gak adil ya.

Sebenarnya bisa saja aku melakukan hal yang sama. Namun, rasnya kurang puas saja saat nilainya bagus tapi hasil mikir Mbah Google.

Kini saatnya class meeting di mulai. Para OSIS sibuk menyipkan acara. Berbagai lomba sudah tertera di Instagram sekolah. Tidak ada lomba balap karung,makan kerupuk, tarik tambang dan sebagainya. Ternyata sekolah di sini lebih condong untuk mengembangkan bakat siswanya.

"Rosa," panggil Indria dengan roti rasa cokelat di tanganya.

"Hah?" Aku cukup terkejut. Rupanya sedari tadi aku sibuk memandangi formulir pendaftaran lomba untuk class meeting tahun ini.  Semuanya masih kosong belum terisi satupun.

"Mau gak?" Dia bertanya. Diikuti Pril yang baru saja datang habis dari kamar kecil.

"Enggak dulu deh."

"Guys!!!" Rindu berteriak dari luar. Dia berlari  mengumpulkan penghuni kelas yang sepertinya untuk membahas tentang lomba ini. Bisa di bilang Rindu ini salah satu anak yang aktif di kelas.

"Ayo, yang ikut futsal mau siapa aja nih?"
Satu persatu kolom formulir sudah terisi. Kecuali futsal dan menulis Cerpen. Sialnya di kelas kita tidak ada yang ikut eskul futsal selain Adri.

Satu hal yang aku heran. Rupanya anak yang duduk di bekangku itu ikut mengangkat tanganya untuk bermain futsal.

Setahuku selama ini dia hanya suka musik terutama gitar. Obrolan di kelas juga tidak jauh dari gitar, gitar dan gitar. Dari mana aku tahu? Lah, dia kan duduk persis di belakangku, telinga ini masih cukup normal untuk mendengarkan obrolannya.

"Cerpen belum ada nih. Siapa yang mau ngisi?"

Jujur, aku suka menulis. Namun, aku belum bisa menulis. Mungkin ini jalan dari Tuhan agar aku bisa mencobanya. Kenapa tidak?

"Aku ajalah Rindu?" Saranku agak ragu.

"Ouh, boleh." Dan akhirnya namaku tertera di salah satu kolom formulir.

💫Si Penikmat Keterlambatan💫

Si Penikmat Keterlambatan [LENGKAP]Where stories live. Discover now