Part 1

844 81 27
                                    

Pertama kalinya masuk ke apartemen Skala, Leta dibuat tercengang melihat keadaan di dalam sana. Tidak cukup hanya menyebutnya berantakan, tapi seperti diterjang badai. Sadar dirinya tidak cukup dekat untuk berkomentar atas keadaan ini, Leta pun diam saja. Dia mengikuti ke mana langkah Skala menggendong Kalis yang tertidur.

"Ini kamar kamu," beritahu Skala saat sudah sampai di depan pintu salah satu kamar. "Kamar Kalis ..."

"Aku sama Kalis tidur di kamar yang sama aja," potong Leta.

"Oke." Skala mengangguk. Dia masuk ke kamar itu, lalu meletakkan Kalis pelan-pelan ke kasur. Diusapnya kepala anak itu sembari tersenyum, terlihat sangat menyukainya.

Leta berdiri canggung di dekat Skala. Matanya bergerak gelisah, tapi tidak sekali pun berani menatap pria itu.

"Kalau butuh bantal atau selimut tambahan ambil aja di lemari, semua ada di situ," tunjuk Skala pada lemari yang cukup besar dan menempel rata di tembok.

Leta menoleh pada lemari itu, lalu mengangguk.

"Kamu laper?" tanya Skala, terdengar hanya sebatas sopan santun terhadap tamu yang menginap di rumahnya.

Leta menggeleng. "Kami udah makan tadi," ucapnya meragukan. Mungkin benar Kalis sudah makin, tapi untuk Leta sendiri tampaknya dia tidak memiliki selera untuk makan.

"Kalau butuh apa-apa, aku di kamar sebelah, panggil aja. Jangan sungkan, anggap aja rumah sendiri," ucap Skala sebelum pergi.

Leta mengangguk pelan. "Makasih ... Skala ..." ucapnya nyaris tidak terdengar.

Skala hanya mengangguk.

Setelah Skala ke luar, Leta duduk di tepi ranjang. Diusapnya rambut Kalis, menatapnya sedih. "Maafin Mami ya, Kalis. Mami harus bawa kamu kabur kayak gini," lirihnya.

"Mami terpaksa melakukan ini, Kalis. Mami takut kamu disakitin sama papi kamu." Leta membungkuk mencium kening Kalis. Air matanya menetes di pipi putrinya itu. "Mami janji akan selalu melindungi kamu."

Leta mencium kembali kening Kalis, lalu pergi ke kamar mandi lantaran sudah sangat gerah. Air hangat membuatnya sedikit lebih rileks.

Selesai mandi, Leta ke luar dengan memakai handuk kecil menutupi tubuhnya. Dia mencuci pakaiannya, agar besok bisa dikenakan lagi. Tapi masalahnya sekarang, dia tidak punya pakaian ganti. Melihat di dalam lemari ada kaus oblong yang sepertinya milik Skala, Leta pun berniat meminjamnya.

Cklek.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Leta yang baru saja melepas handuknya sontak terkejut melihat kedatangan Skala. Sama halnya dengan Skala yang tidak sempat lagi menghindar, matanya sudah terlanjur melihat sekilas tubuh wanita itu tanpa sehelai benangpun. Buru-buru dia berbalik menghadap pintu. Leta pun dengan cepat mengambil handuk dan melilitkannya ke tubuh kembali.

"Ma-maaf. Aku mau kasih kamu salep untuk memar." Skala menaruh salep itu di atas nakas dengan cara berjalan menyamping, tidak menoleh lagi pada Leta. "Sekali lagi maaf," ucapnya sebelum ke luar.

Leta sampai tidak bisa mengatakan apa-apa, terlalu shock. Jantungnya sampai berdebar sangat keras, aliran panas menjalar ke wajahnya. Skala pasti lihat, kan?

***

Skala terbangun karena suara dering ponselnya yang nyaring. Dirabanya ke sebelah bantal mencari ponselnya itu, sembari melirik jam di nakas. Ini hari Sabtu, seharusnya dia dibiarkan tidur lebih lama. Saat melihat siapa yang menelepon, mau tak mau Skala mengangkatnya.

"Halo sayang," sapa Skala dengan mata tertutup.

"Aku bangunin kamu ya, sayang? Duh maaf ya, padahal ini weekend, tidur kamu jadi keganggu gara-gara aku telepon." Dona memang sebaik itu, selalu merasa bersalah padahal Skala tidak pernah mempermasalahkan hal sekecil ini.

Skandal CintaWhere stories live. Discover now