06

309 71 3
                                    

Jati membuka pintu mobil penumpang ketika sang sopir yang diutus menjemputnya di bandara memarkir kendaraan dengan baik. Rahangnya tertarik turun memandangi bangunan besar bergaya mediterian minimalis, berpaduan tumbuhan hijau dan pohon palem yang ditata rapi, lebih terlihat seperti penginapan mewah dibanding panti jompo.

Atau memang ini hal wajar. Sebenarnya Jati tidak punya pengalaman mengunjungi panti jompo, bahkan memikirkannya pun tidak. Selama ini bantuan sumbangan selalu dialirkan ke panti asuhan dan orang-orang tidak mampu di sekitarnya. Seolah-olah lupa kalau tempat seperti ini pun membutuhkan uluran tangan. Dia akan membicarakan prihal ini pada Alex nanti.

Jati membaca papan nama besar yang tertera. "Panti Werdha Melati. Namanya cukup simple untuk bangunan semewah ini."

"Selamat datang, Jati." Tomo sudah berdiri di depan pintu utama untuk menyambut pemuda itu.

Jati membuka kacamata hitam dan mencatolkan pada kerah kausnya. Dia melempar senyum lalu mendekat untuk berjabat tangan.

"Anda yakin nggak mau ke hotel dulu untuk istirahat?"

"Saya datang untuk kerja, Pak Tomo. Bukan tidur."

Tomo tersenyum maklum. Perusahaan desain interiornya bukan cuma sekali dua kali bekerja sama dengan Jati, hingga dia tahu betul bagaimana gila kerjanya pria tersebut. Baginya buang-buang waktu adalah sesuatu yang mubazir, kalau bisa selesai dengan cepat kenapa harus mengulur. Namun, yang membuat Tomo takjub, alih-alih mengutus karyawannya, Jati lebih suka turun langsung ke lapangan untuk observasi.

"Ayo masuk," ajak Tomo.

Keduanya masuk ke lobi yang ukurannya cukup luas. Terdapat beberapa set sofa di sudut ruangan. Para resepsionis menyapa mereka dengan ramah, membuat Jati bertanya-tanya apa pekerjaan tersebut dibutuhkan di sini, tapi pria itu bergeming tak ingin menanyakan. Sekali lagi mungkin ini wajar, hanya saja dirinya minim pengetahuan.

Setelah melewati lobi, mereka belok kanan mengikuti koridor yang terlihat sepi. Di tengah terdapat taman terbuka, beberapa gasebo, dan juga bangku taman. Hanya ada empat orang tukang bersih sedang menyapu bunga-bunga merah yang gugur dari pohon flamboyan.

Jati melirik arlojinya, sudah mendekati pukul tiga. "Pak Tomo biasanya para lansia ngapain jam segini?" tanyanya sembari mengikuti langkah besar pria itu.

"Dari pengalaman beberapa hari di sini, mereka istirahat, ada juga beribadah. Jam-jam begini panti memang sepi sampai jam 4 nanti. Hari ini udah mau mulai kerja?"

Jati menggeleng. "Hanya lihat-lihat. Saya juga harus tahu bagaimana kondisi para lansianya. Kapan waktu tepat untuk berbincang tanpa menganggu istirahat mereka."

Tomo masuk ke dalam aula besar dengan pintu-pintu kaca terbuka lebar, pemandangan danau kecil tersaji indah. Semilir angin menyapa sejuk di tengah terik matahari siang.

Jati lagi-lagi dibuat kagum, tanpa sadar kakinya sudah melangkah lebih dalam hingga ujung ruangan, embusan angin lebih terasa menyentuh kulit. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat beberapa gasebo dan tempat pemancingan di pinggir danau. Pria itu yakin tempat ini menjadi surga bagi warga di sini.

"Apa semua panti jompo begini?" Jati memutar tubuh dan akhirnya menyuarakan rasa penasarannya sejak tadi.

"Sebenarnya panti jompo itu ada dua jenis. Ada yang berbayar, sejenis penitipan orang tua kalau anaknya sedang sibuk bekerja. Pelayanannya cukup lengkap dan gedungnya pun dibuat megah. Satu lagi yang seperti tempat ini, mengumpulkan lansia yang diterlantarkan anak-anaknya. Panti seperti ini lebih banyak diurus pemerintah. Ngomong-ngomong ayo duduk dulu." Tomo menarik salah satu kursi yang tak jauh dari tempat Jati berdiri. "Para lansia biasa berkumpul di sini. Melakukan kegiatan yang mereka senangi."

Setelah Kita Jatuh CintaWhere stories live. Discover now