05

304 66 4
                                    

Sona berderap menurui tangga ke lantai satu. Kelas paginya baru selesai, ketika melihat puluhan panggilan tak terjawab Jati di gawainya. Baru saja ingin menghubungi, salah satu OB datang mencarinya dan mengatakan seseorang sedang menunggu di lobi.

Siapa lagi kalau bukan Jati.

Sesampainya di lobi, Sona mencari keberadaan pria itu, tapi tidak menemukannya di mana pun. Dia mendesah kesal, jangan-jangan Jati mengerjainnya.

"Pesona."

Panggilan lembut itu membuat Sona memutar badan. Pria yang dicarinya berjalan mendekat dari arah lorong toilet. "Bukannya kamu mau ke Bali? Kenapa?"

Tanpa kata Jati menarik tangan Sona menuju sofa dekat jendela. Setelah mereka duduk, Jati melepas kacamata hitamnya dengan kasar, ada kilatan kekesalan yang terpancar dari dua bola mata tersebut.

Dahi Sona berkerut melihat ekpresi Jati. Biasanya wajah itu diperlihatkan ketika pria itu sedang jengkel atau sedang banyak pikiran. Semalam suasana hatinya sedang baik-baik saja. Sepanjang pertemuan mereka pun, dia tidak pernah membuat Jati kesal, atau mungkin salah. Mungkin Sona sudah melakukannya lagi tanpa sadar. "Kamu kenapa pagi-pagi ke sini?"

"Jangan mau dijodohin sama, Mama."

"Apa?!" pekik Sona, sontak menutup mulutnya sambil melihat sekitar. "Maksudnya?"

Jati menyandarkan punggungnya pada kaca jendela. "Mama bilang mau cariin kamu jodoh," jelasnya lesu.

Sona tergelak. Tak peduli lagi jika harus menjadi titik perhatian. "Kamu datang ke sini hanya mau bilang itu?"

Jati mencebik, kembali memakai kaca mata hitamnya. Padahal semalaman dia mengkhawatirkan keadaan ini, Sona hanya menanggapi layaknya mendengar lelucon. Ini tak lucu sama sekali, ini berkaitan erat dengan kehidupan cintanya.

"Niat Mama bagus, kan?" tanya Sona dengan senyum jahil di bibirnya. "Emang ada yang salah?"

"Jadi, kamu nggak masalah?"

"Memangnya ini masalah? Dijodohin belum tentu jodoh, kan? Aku, kan, jomlo."

Jati tidak mengerti dengan pikiran perempuan di hadapannya ini. Atau mungkin sebenarnya sangat tahu, tapi menolak untuk menyadarinya. Seharusnya Sona menolak perjodohan itu, kan? Setidaknya perempuan itu ingin memilih sendiri alih-alih dijodohkan. Itu terlalu kuno untuk dilakukan sekarang.

Sekali-kali Jati ingin mempunyai kekuatan membaca pikiran. Seperti Casanova yang katanya memiliki kekuatan itu, makanya bisa memiliki banyak wanita. Namun, Edward Cullen lebih baik, pria itu hanya setia pada satu wanita, sama seperti Jati.

"Udah deh, Jat. Mending kamu ke bandara sekarang."

Sona sudah merasakan aura-aura kemarahan terpancar dari tubuh Jati, rahangnya mulai mengeras. Padahal dia hanya ingin bermain-main dengan perkataannya, tapi ternyata dia sedang memperbesar nyala api yang sebelumnya sudah membara. "Aku bercanda tadi," ujarnya sambil memaksa senyum. Walaupun sadar hal itu tidak akan berhasil memadamkan api.

Jati mendesah, menatap dalam Sona dari balik kaca matanya. "Kasih aku kesempatan."

Sona berusaha membalas tatapan pria itu dengan mencoba menerobos kaca hitam, tapi tak berhasil. Tidak hanya satu atau dua kali Jati mengutarakan kalimat itu, dan tak menghasilkan apa-apa. Beberapa tahun terakhir Sona selalu memikirkan dan mempertanyakan dirinya sendiri, Apa dia punya kesempatan? Berapa persen? Apa setelah memberikan semuanya akan baik-baik saja? Apa dia tak akan terluka?

Pertanyaan-pertanyaan itu jelas tak akan menemukan jawaban, karena Sona terlalu takut mencobanya. Takut kembali merasakan perasaan kosong dan patah saat ditinggalkan. Dan paling sulit dari semua itu adalah kembali bangkit. Dahulu ada Jati yang menopangnya. Lalu bila laki-laki itu yang mematahkan hatinya, siapa yang akan menemaninya kembali berjuang untuk mempercayai masa depan.

Setelah Kita Jatuh CintaWhere stories live. Discover now