01

1.3K 140 13
                                    

Semenjak sang ibu meninggal, Sona menggantungkan paginya pada dua kata benda ini; alarm dan Jati Andaka.

Pagi ini alarm ponselnya belum berbunyi, artinya belum waktunya untuk bangun. Namun, bunyi samar pisau membentur talenan membuatnya terjaga. Sedetik kemudian aroma bawang goreng menyentil indra penciumannya, mengirim impuls ke otak, lantas perut merespons dengan bunyi sumbang. Tak ada pilihan lain, dia harus segera bangun karena tidak ada yang mau berurusan dengan perut yang sudah minta diisi.

Sona turun dari tempat tidur dan mengambil ikat rambut di nakas, lalu mencepol rambut tebal legamnya asal. Dia membuka pintu kamar, terdiam mengamati ruang tamu yang sudah rapi dan pintu utama yang terbuka. Dengan mata menyipit, dia mengecek jam digital di atas TV—06:15 AM, menguap sekali lalu meneruskan langkah menuju dapur.

Pria berkemeja biru muda itu pelakunya. Satu-satunya orang di dunia yang memiliki kunci cadangan rumah Sona—dengan sedikit paksaan. Tubuh gagah pria itu membuat kitchen set-nya terlihat semakin kecil.

Sona meringis memikirkan kemeja merek mahal itu terkena percikan minyak dan teman-temannya, mendengkus saat melihat pisau dan talenannya berada di bak cuci piring. Dia lupa kapan terakhir menggunakan alat-alat tersebut, sepertinya dibeli hanya untuk hiasan dapur ala-ala Pinteres. Selepas kepergian ibunya dapur memang kehilangan fungsi, sesekali mengepul karena pria itu.

"Good Morning," sapa Jati tanpa memutar kepala.

"Lanjutin aja kerjaanmu," ujar Sona sebelum masuk ke kamar mandi.

Setelah mencuci muka, Sona berjalan menuju meja makan dan duduk. Di hadapannya sudah ada dua porsi nasi goreng, sosis bakar, dan teh hangat. Kemudian Jati bergabung setelah membuat jus wortel untuk dirinya.

"Hugo bakal nangis kalau tahu kemejanya cuma dipake masak sama kamu."

Jati terkikik, mengusap wajah lalu menyugar rambutnya. "Bisa dicuci," balasnya kalem.

Sona menatap wajah pria itu saksama; terlihat letih, kantung mata membesar dan mata bulatnya sedikit layu. "Kapan pulang dari Bali?" Dia menusuk sosis dengan garpu dan meneruskannya ke mulut.

Jati menyeruput jus lantas berkata, "Semalam."

"Kamu belum ke rumah?"

Pria itu menggeleng dan memulai suapan pertamanya. "Di pesawat ide pada datang. Jadi, ke kantor buat sketsa kasar."

Sona berdecak sembari geleng-geleng. "Kamu nggak tidur lagi," gumamnya iba.

"Dua jam."

"Bukannya kamu pulang selasa?" Tangannya dijulurkan untuk menggapai botol abon cabai pada ujung meja dekat dinding. Namun, tangan Jati sudah lebih dulu menjauhkan benda itu dari jangkauannya. "Nggak pedes," protesnya.

"Aku bisa buatin kamu nasi goreng dengan 100 cabe. Tapi, buat sarapan itu nggak baik. Kasihan perutmu nanti," jelas Jati lembut.

Sona menerima saja dengan mulut mengerucut, masih terlalu pagi untuk berdebat.

"Besok malam ada pesta di rumah. Mama pengin kamu datang."

"Pesta apa?" tanya Sona tak bersemangat.

Sebenarnya Sona menyukai pesta, asalkan dilakukan bersama teman-temannya. Dia bisa menjadi dirinya sendiri, tidak perlu memusingi harus berpakaian seperti apa, semahal apa, dan seanggun apa. Namun, akan sangat berbeda kalau ini menyangkut pesta Ibu Mentari Cakrawangsa. Di sana keanggunan dan kekayaan sangat terpampang nyata, dan Sona sangat tidak cocok dengan itu, tak ada satu pun yang bisa dipamerkan dari dirinya.

"Hanya syukuran biasa ... dan di rumah." Seperti bisa membaca pikiran, Jati menyela isi kepala Sona.

"Syukuran apa?"

Setelah Kita Jatuh CintaWhere stories live. Discover now