SOUL PRISON

192 2 0
                                    

Namaku jingga hari ini aku dan mama menginap di rumah nenek yang masih betah tinggal di Desa, menginap di rumah nenek setiap hari sabtu dan minggu sudah menjadi kebiasaanku dan mama.

Mama sudah lelah membujuk nenek untuk tinggal bersama kami di Kota, namun nenek menolak dengan alasan tidak ingin meninggalkan rumah peninggalan almarhum kakek.

Mama adalah orangtua tunggal yang membesarkanku seorang diri karena papa telah tiada saat aku berusia sembilan tahun dan sudah sepuluh tahun berlalu semenjak kematiannya.

Almarhum Papa meninggal karena serangan jantung sama seperti kakek. Itulah sebabnya kami tinggal di Kota karena pekerjaan mama di sana dan juga sekolahku, mama berkerja untuk menghidupi aku dan juga nenek. Keluarga kami kecil karena papa anak tunggal sedangkan keluarga mama tinggal di kota yang berbeda pulau.

Aku sangat menyukai desa tempat kelahiran papa karena suasana nya yang khas, udara nya yang sejuk, oksigen yang bersih bebas polusi, penduduk yang ramah, pemandangan yang hijau sejauh mata memandang, juga nenek yang aku sayangi.

Semua itu tidak aku dapatkan di Kota dan membuatku menyetujui pilihan nenek untuk tetap tinggal di desa. Setiap menginap di rumah nenek aku pasti memancing ikan menggunakan pancingan milik almarhum kakek yang masih di rawat dengan baik oleh nenek. Kakek lah yang mengajariku memancing, dulu kami akan pergi memancing bersama saking asyiknya kami sampai lupa waktu. Kami pulang saat mentari telah kembali ke peraduan tak ayal nenek memarahi kakek.

Di Desa ini ada mitos yang masih di percayai oleh penduduk sekitar hingga aku penasaran dengan adanya mitos itu dan menanyakannya pada nenek .

Nenek bilang begini "Tidak boleh berkeliaran di luar rumah setelah matahari tenggelam, jika di langgar maka paling ringan tertimpa musibah dan paling buruk tidak pernah kembali" Jujur aku sama sekali tidak mempercayai mitos mungkin saja mitos itu dibuat agar anak kecil tidak lagi bermain di luar saat senja takut terpeleset di jalan ataupun tenggelam di sungai karena gelap tidak ada pencahayaan yang menerangi jalan.

Aku mematuhi aturan di Desa ini hanya sebagai bentuk menghargai kepercayaan yang mereka yakini. Ah iya aku sangat suka memancing sama seperti kakek, mungkin bagi sebagian orang memancing adalah hal yang membosankan namun bagiku memancing adalah hal yang mengasyikkan.

Kata kakek "Dengan memancing kita melatih kesabaran, kesabaran karena menunggu umpan dimakan ikan, kesabaran karena menunggu ikan memakan umpan, kesabaran karena memancing itu butuh waktu yang tidak sedikit, bahkan ada yang berangkat pagi pulang malam, tahan akan gigitan nyamuk maupun tahan dengan terik nya panas mentari"

Siang ini aku akan memancing di lokasi memancing terbaik karena tempatnya yang teduh di bawah pohon rindang, sebelum itu aku harus meminta Izin terlebih dahulu dengan mama dan nenek.

"Mama...jingga pergi memancing di tempat biasa ya?" aku memeluk mama dari samping padahal mama sedang menumis sayur di wajan

"Minta izin sama nenek dulu ya sayang, kalau nenek bilang boleh baru mama izinkan" jawab mama. Aku menghampiri nenek yang duduk di kursi meja dapur sedang merajang bumbu

"Nenek...jingga boleh pergi memancing tidak? Mama bilang kalau nenek mengizinkan baru boleh pergi ...boleh kan nek?"

aku merayu nenek dengan memeluk tubuh ringkihnya yang sudah dimakan usia namun paras nenek masih terlihat cantik.

"Boleh...hati hati ya nduk jangan pulang lewat dari jam lima!" ah nenek memang paling mengerti aku.

"Terimakasih nenekku tersayang, nenek yang paling cantik sedunia" aku mengecup pipi nenek lalu berlari menuju mama dan mengecup pipinya. "Mama...nenek...jingga pergi dulu ya...jangan rindu jingga dadah" aku melambai dengan tersenyum lebar pada dua wanita yang aku sayangi.

FANAWhere stories live. Discover now