• 18 •

8.5K 1.8K 132
                                    

"Lo beneran bukan manusia, Mas!" Lukman melanjutkan dumelannya. Sudah sejak setengah jam yang lalu, tepatnya setelah Bastian memerintahkannya untuk segera menyiapkan mobil, asisten sekaligus sepupunya itu tidak berhenti komat-kamit. "Lo pernah nggak sih, udah kebelet banget, udah siap banget buat keluar, tapi tiba-tiba batal. Cuma gara-gara seseorang neror buat disiapin mobil sepecatnya?!"

"Itu namanya konsekuensi sebagai seorang bawahan, Man. Lo nggak sampe klimaks tadi? Ya udah, nanti tinggal diulang lagi. Gitu aja kok, repot?" sahut Bastian. Kalau biasanya nada-nadanya terdengar mengerikan, kali ini malah terdengar lucu, karena diiringi dengan senyum yang teramat lebar.

"Gue sedang berbicara sebagai sepupu lo, Mas!" balas Lukman, sedikit mengernyit saat mengamati Bastian sibuk dengan sisir dan cermin.

"Dan, lo tahu gue sedang memerintah sebagai atasan lo!" kembali, Bastian memerkan gigi rapinya lewat celah senyuman di depan pantulan wajahnya sendiri di cermin. "Ganteng amat, sih," pujanya pada diri sendiri.

Mau tak mau Lukman bergidik ngeri. "Gue yang abis nemuin cewek, tapi kenapa elo yang kayak abis klimaks sih, Mas? Senyam-senyum sendiri lagi, ngeri gue!"

Bastian memutar tubuhnya untuk bisa berhadapan langsung dengan Lukman. Dengan cepat tangannya mengambil alih kunci mobil dari genggaman pria itu. Lalu bersiul-siul saat memanjangkan langkahnya keluar kamar.

Belum sempat tubuhnya meninggalkan ruangan itu, terdengar gumaman kecil dari Lukman, "Gue beneran harus cari mangsa baru, nih."

Bastian kontan kembali ke tempat semula, berdiri tepat di depan Lukman. Bertanya dengan nada marah, "Lo mau cari mangsa lewat Madam Rose lagi?"

"Kenapa, emang?"

"Gue nggak mau tahu, pokoknya selama di Pekanbaru, lo nggak boleh main Madam Rose dulu!"

**

Bastian mengetikkan alamat Tessa pada mesin pencari di ponselnya, mengikuti arahan yang terpampang pada layar, dia mengemudi dengan degup jantung yang berbeda. Sumpah, dia tidak pernah se-lebay ini menghadapi perempuan.

Untuk Tessa, segalanya memang tidak pernah sama.

Dua puluh menit mengitari jalan, akhirnya Bastian berhenti tepat di halaman parkir indomaret. Menurut petunjuk yang ada di ponselnya, rumah Tessa hanya berselang dua bangunan dari tempat ini. Bastian bisa melihatnya dari dalam mobil. Sebuah rumah mungil bercat kuning pucat dengan halaman yang luas. Bastian bisa saja parkir di halaman luas itu kalau saja gerbangnya terbuka.

Baru saja Bastian berhasil menenangkan degup jantungnya untuk turun dan merealisasikan niatnya, sosok yang keluar dari pagar rendah itu membuat tubuhnya mendadak kaku.

Sosok Tessa.

Masih sama persis seperti ingatannya. Rambut panjang dengan warna hitam legam dibiarkan tergerai rapi, kulit putih yang didempul makeup natural, dan gaya pakaian yang sederhana, mampu membuat sekitar Bastian mengabur, menyisakan fokus pada Tessa seorang.

Sosok itu tampak sibuk dengan ponsel, sebelum tiba-tiba menghilang di balik pintu mobil Brio merah yang mampir di depan gerbang rumahnya.

Astaga! Bagaimana bisa Bastian jadi lambat begini? Sibuk terpukau, sementara sosok pujaannya menghilang begitu saja? Apa Bastian tidak bisa lebih bodoh lagi? Cepat-cepat, pria itu menyalakan kembali mesin mobilnya, mengikuti arah mobil yang ditumpangi Tessa melaju.

Jalanan ini semakin familiar, pikir Bastian. Meski tidak pernah menginjakkan kaki di kota Pekanbaru sebelumnya, dia yakin mengenal jalan ini. Benar saja. Jalanan ini membawanya kembali ke hotel Il Lustro, tempatnya menginap.

Save The Boss For Last [TERBIT]Where stories live. Discover now