• 12 •

8.1K 1.7K 101
                                    

"Setelah melalui rangkaian tes dari pihak HRD, telah terpilih tiga kandidat terbaik, Pak." Tessa menyodorkan tiga map berisi dokumen tentang tiga pelamar terbaik yang akan menggantikan posisinya. "Baik secara administratif, tes kompetensi, kesehatan, dan wawasan mengenai perusahaan, ketiga orang ini telah memenuhi syarat. Bapak hanya tinggal memilih satu yang terbaik melalui tes wawancara. Saya sudah membuatkan daftar tentang jadwal kosong Bapak, Bapak tinggal memilih jadwal mana yang bisa digunakan untuk proses wawancara."

Sepanjang ocehan itu mengumandang, Bastian hanya bisa memandangi sumber suara dengan raut tidak percaya. Tessa benar-benar mempersiapkan semuanya dengan matang!!!

"Apa benar-benar nggak ada yang bisa saya lakukan untuk membuat kamu bertahan, Sa?"

Tessa tersenyum manis, sebelum menggeleng mantap. "Saya yakin pilihan Bapak nantinya lebih bisa diandalkan daripada saya, Pak."

Malas-malasan, Bastian memungut salah satu dari ketiga map yang sudah diletakkan Tessa di atas mejanya. "Lukman? Yakin ini nilainya murni?"

"Surprisingly, Yes, Sir! Dia benar-benar kompeten seperti yang selalu diungkapkan Nyonya Prasraya," jawab Tessa.

"Oke, kalau gitu dia langsung dimasukin ke tim Pengembangan aja. Jadi bawahannya Gio. Beres kan?"

Tessa memungut map berisi data-data Lukman, lalu menuliskan catatan kecil pada halaman depan mapnya. "Oke, Pak. Jadi Pak Lukman akan menjadi salah satu anggota tim pengembangan. Lalu, siapa yang akan mengisi posisi asisten?"

Bastian mendesah lelah. "Bukannya tujuan semua kegilaan ini karena Lukman-Lukman sialan ini, sih, Sa? Kamu cuma merasa perlu ngasi pekerjaan untuk sepupu saya kan? Sekarang kamu bisa tenang, dia bakal gabung di perusahaan ini. So please, nggak usah ribut soal resign lagi. Oke?"

Untunglah Tessa sudah cukup terbiasa dengan suara tinggi atasannya yang satu ini, hingga dia masih bisa mengulas senyum manis. "Lusa waktu lowong Bapak ada dua jam, sepertinya cocok untuk melakukan sesi wawancara. Akan saya beritahukan bagian HRD untuk membuatkan janji dengan dua kandidat lainnya."

"SAAA!!!" Bastian bangkit dari tempat duduknya. "Di sini yang bos saya apa kamu, sih???"

"Maaf, Pak. Tapi saya harus melakukan ini untuk kebaikan Bapak juga," balas Tessa, berusaha menekan kuat-kuat ledakan emosinya. Suaranya diusahakan meluncur sewajarnya. Tak lupa menerbarkan senyum. "Menjadi asisten Bapak sama sekali nggak mudah. Ada banyak hal yang harus dipelajari. Pola makan Bapak yang pemilih, kecanduan Bapak akan kopi dan alkohol, tanggal-tanggal penting di perusahaan, ketelitian Bapak akan pekerjaan, deadline untuk setiap kontrak kerjasama, janji-janji penting dengan stakeholder, belum lagi mengurusi hubungan baik dengan relasi. Nggak bisa dipelajari dengan instan, Pak. Sementara waktu saya nggak lama lagi. Kita butuh untuk melatih pengganti saya secepatnya, Pak."

Bastian jatuh terduduk kembali ke bangkunya. "Kamu nggak akan berubah pikiran juga, kan? Ya sudah, lakukan sesukamu!"

Tessa memberi jeda untuk menenangkan helaan napas, sebelum permisi dari ruangan atasannya itu.

Sepeninggal Tessa, wanita lainnya masuk mengambil tempat yang baru saja ditinggalkan asistennya itu. Mila. Kalau tadinya Tessa hanya berdiri di depan meja kerja Bastian, Mila justru menarik kursi dan duduk di hadapan Bastian.

"Kenapa tampang kamu kusut begitu sih, Bas?" tanya sang ibu.

"Tessa beneran keras kepala. Dia keukeuh mau resign," lapor Bastian.

"Oh iya? Jangan dikasih dong, Bas. Kamu kan bos-nya! Masa gitu aja nggak bisa kamu atasin sih?" ledek Mila terang-terangan.

"Masalahnya, ngadapin Tessa itu lebih sulit daripada ngadapin kerjaan, Ma! Asal Mama tahu aja, dia bahkan udah bikin persiapan matang, pakai berkomplot sama HRD lagi buat cari kandidat pengganti!"

Save The Boss For Last [TERBIT]Where stories live. Discover now