• 3 •

10.1K 1.6K 55
                                    

Tessa melangkahkan kakinya lebar-lebar setelah menerima pesan dari Gio. Tidak biasanya pria itu memintanya bertemu tanpa ada agenda pekerjaan. Lebih tidak biasanya lagi karena Gio menambahkan keterangan agar pertemuan ini dirahasiakan dari Bastian. Ada apa sebenarnya?

Karena tidak bisa membendung rasa penasaran yang membuncah hebat, Tessa sampai menitipkan berkas fotokopian-nya pada OB. Semoga saja tidak ada hal buruk yang menimpa Gio, harapnya.

Setibanya di tangga darurat, sesuai permintaan Gio sebagai tempat bertemu, Tessa mendapati pria itu sedang duduk pada salah satu anak tangga sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

"Apa yang salah?" desis Gio lantas menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tessa sempat menduga kalau Gio akan memintanya sebagai bridesmaid, karena semalam adalah hari di mana Gio melamar Lara. Tapi sepertinya dugaan Tessa meleset, orang yang akan menikah tidak akan tampak sekacau ini.

Hati-hati, Tessa menyentuh pundak Gio lantas duduk di sampingnya.

Gio yang menyadari kehadiran Tessa langsung menodong perempuan itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sejak semalam bercokol dalam kepalanya, "Katanya dia nggak punya laki-laki lain, katanya dia udah cukup puas dengan karirnya sekarang, katanya dia cinta sama saya, tapi kenapa dia menolak lamaran saya?"

"Mbak Lara?"

Gio mengangguk keras, lantas berpikir lagi, "Katanya saya terlalu terburu-buru, padahal saya dan dia sudah pacaran enam tahun. Apa masuk akal?"

Tessa menarik napas panjang sebelum berusaha memikirkan jawaban untuk Gio. Terus terang dia merasa sama sekali tidak dalam posisi yang tepat untuk memberi penjelasan. Mengingat perasaannya untuk Gio yang masih belum berkurang bahkan setelah tahu pria itu akan melamar kekasihnya. Tessa potensial mempengaruhi Gio agar berpaling saja dari Lara. Tapi melihat betapa frustrasinya pria yang duduk di sampingnya itu, Tessa memutuskan untuk menjadi bijak.

"Perempuan kadang butuh waktu."

"Bahkan di usianya yang sudah dua puluh delapan tahun?"

"Justru semakin matang, semakin banyak pertimbangan."

"Dan saya punya satu cara untuk membuat dia berhenti bimbang." Kontras dengan sikap Gio sebelumnya, kali ini semua gundah itu bertransformasi menjadi sebuah ketegasan. Dia sepertinya sangat yakin saat meminta Tessa, "Jadilah kekasih saya, Tessa."

**

"Tessa Arundati!" Bastian meningkatkan suaranya dua oktaf, setelah dua panggilan sebelumnya tidak direspons sang asisten.

"Iya, Pak!" Tessa akhirnya menoleh pada Bastian yang sedang mengemudi.

"Kamu melamun?" Bastian harus melirik sekilas pada Tessa yang duduk di sampingnya untuk memastikan jawaban Tessa.

"Maaf, Pak."

Bastian mengernyit heran. Sebenarnya apa yang terjadi pada asistennya belakangan ini? Setelah semalam memecahkan coffee set poscelain, sekarang malah melamun? Apakah Bastian sudah membebaninya terlalu banyak pekerjaan?

"Membantu urusan pribadi saya udah jadi jobdesc kamu sejak awal kamu bekerja, kan? Seharusnya nggak ada masalah sama sekali," Bastian membuat pernyataan.

"Iya, Pak. Saya mengerti."

"Jadi intinya, kamu harus menjelaskan pada Julia kalau saya nggak bisa berhubungan dengan dia lagi. Kamu pikirin sendiri alasan yang paling sesuai. Pokoknya saya nggak mau dia ganggu saya terus. Dan jangan lupa, kartu kredit saya yang dia pakai kamu blokir. Trus bikinin yang baru."

Sembari Bastian mengoceh tentang hal-hal yang harus dikerjakannya, Tessa mulai mengeluarkan scratch book dari tas tangannya dan dengan lincah jemarinya menari-nari di atas kertas. Pria yang masih sibuk dengan kemudi itu pasti mengira Tessa sedang menuliskan daftar pekerjaan yang harus dikerjakan, padahal dia mulai menuliskan segala umpatan pada laman diarynya.

Save The Boss For Last [TERBIT]Where stories live. Discover now