• 16 •

8.9K 1.8K 190
                                    

"Drakor-an lagi, Sa? Mama cuma mau ngingetin, kalau kamu nggak sadar, tiga bulan ini kerjaan kamu cuma drakoran aja lho, Sa."

Enny menasihati puteri sulungnya yang tengah asik berselonjor di atas permadani sambil memandangi layar ponsel.

"Ya, gimana, lamaran Tessa belum ada yang keterima," sahut sang puteri malas-malasan.

Enny mengambil alih ponsel dari tangan putrinya, lalu mengajaknya duduk bersila, untuk berbicara serius. "Mama bukannya mau menyudutkan kamu, Sa. Mama tahu selama ini kamu udah cukup capek menghadapi masalah keluarga ini. Kamu butuh istirahat, setelah berhasil menyelesaikan semua yang seharusnya menjadi tanggungjawab orangtuamu. Tapi, hidup kan nggak berhenti setelah satu masalah selesai, Sa? Sampai kapan kamu mau begini terus?"

"Tessa cari kerjaan baru, kok, Ma. Tessa bukannya mau istirahat selamanya. Memangnya Tessa mau mati, apa?" dengkusnya, sebal.

"Hussss, ngomong apa sih?" Enny mengibaskan tangannya. "Gini lho maksud Mama," Enny menggantung kalimatnya untuk memilih kalimat agar tidak menyinggung perasaan sang puteri. "Bukannya berniat merendahkan pendidikan kamu, juga bukan berniat untuk membuat kamu sebagai sapi perahan—"

"Ah!!! Tessa tahu nih arah omongan Mama. Pasti kena hasutan Bu Mila lagi lagi, kan?" tebak Tessa jitu.

Sejak berhenti menjadi asisten Bastian, Mila memang kerap menghubungi Enny untuk membantu membujuk Tessa agar bersedia bekerja kembali. Beberapa kali Mila bahkan harus melaporkan tentang asam lambung atau pekerjaan Bastian yang berantakan untuk menggugah iba mantan asisten. Tapi tetap saja cara itu tidak berhasil untuk membuat Tessa kembali pada Bastian.

"Oke deh, sekarang coba kita ngomong realistis. Kamu pasti tahu kan, nggak akan yang bisa dapetin kerjaan dengan gaji yang sama dengan yang selama ini kamu terima dari pekerjaan lamamu?"

"Iya, Ma. Tessa juga nggak bakal minta disamain kayak dulu kok."

"Dan, kamu juga pasti tahu kan, kalau cuma perusahaan Prasraya yang tahu kualifikasi kamu yang sebenarnya? Bahwa kamu ini layak disekolahkan ke luar negeri karena kepintaranmu?"

"Iya, Tessa tahu selama nggak punya sertifikat resmi, Tessa cuma dianggap lulusan SMA biasa."

"Jadi harusnya kamu tahu juga dong, posisi yang kamu lamar selama ini ketinggian. Sesuaikan dong dengan kualifikasi-mu. Kecuali, kamu balik lagi ke Bastian. Bu Mila bilang, dia mau kok kuliahin kamu lagi."

Tahu dia tidak akan bisa memenangkan perdebatan ini, Tessa segera melirik jam dan mengingatkan ibunya untuk bekerja. "Mama berangkat, gih, nanti telat."

Sama halnya dengan Tessa, Enny pun tahu kalau dia tidak boleh terlalu mendesak, maka dicukupkannya nasihat hari ini cukup sampai di sini saja.

Sepeninggal Enny, gantian Freya yang memberi petuah. Namun tidak sama seperti sang ibu yang menuntut Tessa untuk lebih fokus pada masa depan, Freya justru mengajak Tessa bersenang-senang.

"Kak, mungkin ini saatnya Kakak punya pacar," goda Freya.

"Ih, apaan sih? Kamu tuh, baru juga lulus kuliah dan dapet kerjaan, udah pacar-pacaran aja kerjanya!" dumal Tessa.

Tak mau kalah, Freya menimpali. "Lah, buktinya Freya lebih bahagia kan? Daripada Kakak yang jomlo seumur hidup?"

"Ahh!!!" Freya meringis keras saat jitakan sang Kakak mendarat di keningnya. "Bukannya berterima kasih, malah dijitak!"

"Kamu denger nggak tadi Mama bilang apa? Dengan kualifikasi Kakak sekarang ini, jangankan pacar, cari kerjaan aja Kakak sulit!"

"Makanya dibikin mudah dong, Kak! Pakai ini. Aplikasi Madam Rose!" Freya mengutak-atik ponsel, lalu menunjukkan sebuah aplikasi berlogo kelopak mawar berwarna merah yang menyegarkan mata. "Freya ketemu Kevin dari sini nih, Kak. Ini aplikasinya lagi happening banget lho! Tapi ya gitu, Kakak kudu pinter-pinter milih. Ya, sama kayak manusia di dunia ini yang beraneka ragam, pengguna aplikasi ini juga macem-macem. Syukur-syukur kakak dapet yang cocok."

Save The Boss For Last [TERBIT]Where stories live. Discover now