Video Call

515 69 12
                                    

Tokyo, Jepang. Pukul 21.00.

"Nuc?? Nuca! Ada telepon masuk!"

Suara itu terdengar bersahutan dengan ketukan di pintu kamar mandi. Nuca sedang keramas waktu kamar mandi diketuk oleh Kak Ola dari luar. Nuca berdesis sebal. Dia tidak pernah suka diganggu saat berada di dalam kamar mandi. Ritual rutinnya itu harus selesai tanpa gangguan sama sekali. Maka dia memutuskan untuk mengabaikan telepon itu.

Baru beberapa menit kemudian Nuca keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya. Sisa-sisa air membasahi tubuhnya. Dia sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil.

"Kamu itu, ya? Ada telepon masuk malah asyik keramas." kata Kak Ola yang sedang berbaring di atas tempat tidur.

Sudah tiga hari mereka di Kota Tokyo untuk mengikuti Training New Product. Sebagai seorang sales executive di sebuah perusahaan mulitnasional dengan cabang tersebar di berbagai negara dan kantor pusat berada di negeri sakura maka tidak heran dia dan Ola diundang untuk mengikuti pelatihan tersebut. Ada empat tim dari Indonesia yang ikut dalam pelatihan itu yang terbagi dalam masing-masing area kerja. Nuca dan Ola sendiri berasal dari area Sulawesi yang kantor areanya berada di kota Makassar.

"Lagian kak Ola, sih. Orang aku lagi sibuk keramas malah gedor-gedor pintu."

"Bukan masalah itu, Nuc. Soalnya kalau bukan pacarmu yang nelepon, mana mau aku sampai kayak tadi." balas Ola membela diri.

Pacar?

Nuca hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala. Sejak kapan dia punya pacar? Dia tahu siapa yang dimaksud Ola barusan. Hanya ada satu perempuan yang begitu dekat dengannya hingga orang-orang menyangka kalau perempuan itu adalah pacarnya. Padahal, perempuan itu hanyalah sahabatnya. Sahabat sejak jaman SMA.

"Kalau memang penting nanti juga dia telepon lagi, kok. Santai saja." ucap Nuca sembari membuka lemari dan mengeluarkan kaos dan jaket dari dalam sana.

Benar kata Nuca. Smartphonenya kembali berdering namun kali ini bukan panggilan telepon biasa melainkan panggilan video dari sahabatnya itu. Nuca baru akan menjawab telepon itu nanti setelah dia menggunakan kaos namun Ola terlanjur gemas. Dia langsung menjawab telepon dari Mahalini dan menghadapkan kamera ke arah Nuca.

"Oh, Tuhan! Nucaaa!!!!" jerit Mahalini dari seberang sana. Jauh. Terpisah jarak ratusan kilometer.

Nuca gelagapan berlari dibalik pintu. Dia berusaha bersembunyi dari tatapan Mahalini. Sementara Ola justru cekikikan. Baru setelah Nuca mengenakan kaosnya, dia merebut smartphone itu dari tangan Ola.

"Kamu ngapain tadi, hah?" cecar Mahalini waktu Nuca sudah menjauh dari Ola. Dia berjalan ke dekat jendela besar di kamar hotel sambil menikmati pemandangan malam kota tokyo dari lantai enam belas hotel tempat mereka menginap.

"Aku lagi ganti baju, Lin."

"Terus kenapa panggilan videoku langsung dijawab kalau kamu belum selesai ganti baju?"

Nuca menoleh sebentar pada Ola yang menatapnya sambil tersenyum dan mengangkat bahu.

"Sudahlah, nggak usah dibahas. Ada apa kamu nelepon aku?"

Mahalini diam sebentar. Dia mendekatkan wajahnya ke layar smartphone hingga yang tampak oleh Nuca adalah seluruh wajah Mahalini yang memenuhi layar smartphone miliknya.

"Coba tebak aku lagi dimana sekarang?"

"Hmm... Dimana, ya? bagaimana aku bisa menebak kalau yang aku lihat hanya wajahmu semua?"

"Ish! Pokoknya tebak! Ayo!"

"Karena kemarin kamu ngabarin aku masih di Guangzhou, berarti hari ini kamu pasti ada di Beijing?" Nuca asal menebak.

"Hahaha! Salah besar! Aku lagi di..." Mahalini perlahan menjauhkan layar smartphone hingga jangkauan kamera menangkap pemandangan yang tidak asing bagi Nuca.

"Eh, itu kamarku kan?"

"Iya. Aku lagi di rumahmu, di Gorontalo."

"Hah? Ko bisa? dan... wait? Ada acara apa kamu sampai berkunjung ke rumahku?"

"Loh? kamu nggak tahu? Astaga! Adik macam apa kamu ini, Nuc?"

Nuca mengernyitkan dahi, benar-benar tidak mengerti. Dia pikir Mahalini masih di Beijing atau setidaknya masih berada di Jakarta untuk urusan bisnisnya. Namun yang dia lihat barusan membuatnya cukup terkejut. Mahalini sudah pulang ke Gorontalo dan tepatnya malam ini sedang berada di kamarnya.

"Kak Dela? Bagaimana ini? Kok adik sendiri nggak tahu kalau besok kakaknya mau lamaran?" Mahalini pura-pura bertanya pada Della, kakaknya Nuca yang seketika muncul di layar smartphone.

"Akupun nggak habis pikir. Kok bisa aku punya adik kayak dia, ya?" timpal Della sambil tersenyum.

"Astagfirullah! Aku lupa. Kak? I am sorry. Aku ingat kakak mau lamaran tapi..."

"Halah, Nuc? banyak alasan!" potong Mahalini. Della hanya tertawa dan langsung meninggalkan kamar Nuca.

"Aku saja yang bukan adiknya bela-belain pulang lebih dulu biar bisa hadir ke acara lamarannya. Kamu yang adik kandungnya, apa kabar? malah asyik-asyikan di kota orang."

"Lin? aku di sini kerja. Lagipula itu hanya acara lamaran. Tanpa aku di sana toh acaranya akan tetap berjalan lancar, kan? kecuali kalau aku yang mau lamaran." jelas Nuca membuat Mahalini terdiam sebentar.

"Hai, Lin? Kok diam?"

"Eh, enggak kok. Nggak apa-apa. Kamu pulangnya kapan? acara nikahan kak Della nanti kamu hadir, kan?" tanya Mahalini, ragu-ragu.

"Tentu saja, Lin. Eh, by the way thanks ya kamu sudah mau menemani kak Dela di malam-malam sibuknya ini. Harusnya aku yang menemaninya tapi ya bagaimana? Pekerjaan ini nggak bisa ditunda. Namanya juga budak korporasi."

"Santai saja, Nuc. Kamu kayak sama orang lain saja. Bagaimanapun Kak Dela, ibumu dan semua orang di rumah ini sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri kok." balas Mahalini.

Sejenak ada jeda di antara keduanya. Usia mereka sudah cukup dewasa untuk dapat membedakan mana ucapan yang serius dan mana yang sekadar becanda. Mana yang diucapkan lewat hati mana yang sekadar melintas dari lidah semata.

"Oh, ya sudah Nuc. Aku harus ke dapur. Tadi ibumu memanggil namaku. Bye, Nuc?" Mahalini buru-buru melambaikan tangan. Nuca balas melambaikan tangan sebelum akhirnya video call itu berakhir.

Nuca diam sebentar. Dia menatap jauh ke depan dengan tatapan kosong. Dia merasa ada yang tidak biasa dari obrolan tadi. Nuca menghela napas panjang kemudian berbalik. Dia menjerit seketika waktu mendapati Ola berdiri tepat di belakangnya.

"Aaah!! Kak Olaaa! Astaga! Jantungku hampir copot."

"Aku lapar. Cari makan, yuk?" ajak Ola.

"Boleh. Wait, aku ambil jaketku sebentar. Di kota ini, musim dingin masih sebulan lagi tapi suhunya sudah semengerikan ini. Aku kedinginan."

Keduanya lantas berjalan keluar dari kamar dan menuju lift untuk turun ke lobby. Beberapa kali mereka berpapasan dengan pengunjung hotel yang lainnya.

"Kak Ola nggak pakai jaket?" tanya Nuca.

Namun bukan menjawab, Ola justru mengajukan pertanyaan lain yang membuat Nuca terdiam.

"Kamu yakin Mahalini itu hanya sahabatmu?"

Bersambung...

(Jangan lupa baca juga novelku berjudul Aku pernah Jatuh Cinta, ya?"

Amin Kita BedaWhere stories live. Discover now