Prolog

722 76 32
                                    

"Kamu yakin?"

Pertanyaan itu kembali menghantuinya. Malam hari, jam dua dini hari dia terjaga. Lelaki itu bangkit lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dia sudah mencoba untuk tidur namun perasaan itu membuatnya kesulitan untuk terlelap.

Setelah kembali dari kamar mandi dengan wajah basah oleh air wudhu, dia segera mendirikan solat tahajud dua rakaat. Di ujung solat dia sempat bercakap-cakap dalam hati. Tentang perasaan aneh yang muncul dan membuatnya tersiksa. Ini bukan perasaan biasa. Entahlah, sejak kapan dia mulai merasakan hal tersebut. Namun yang dia tahu setiap kali memandangi wajah perempuan itu, hatinya seperti terusik. Lebih dari sekadar ingin memiliki.

Jam tiga pagi. Dia mendengar derap langkah kaki di luar. Dia yakin itu kakaknya yang juga punya kebiasaan bangun jam tiga untuk solat tahajud. Benar dugaannya. Itu kakaknya tapi anehnya kakaknya tidak menggunakan mukena seperti biasanya.

"Loh, kakak nggak solat?"

"Biasalah. Tamu bulanan. Kamu?"

"Sudah, tadi." jawabnya sambil mendekati kakaknya.

Perempuan itu menatapnya sambil tersenyum. Seolah tahu apa yang sedang menimpa adiknya tersebut.

"Lagi ada masalah di kantor?"

Lelaki itu menggeleng, "Nggak, kok. Aku boleh tanya sesuatu?"

Perempuan itu mengangkat alisnya, "Tanya apa?"

"Ehm. Apa pendapat kakak soal hubungan asmara yang berbeda keyakinan?"

Pertanyaan itu tidak dijawab. Perempuan itu nampak sedikit syok mendengarkannya. Dia tidak menjawab. Dia hanya meraih tangan adiknya lalu menatap wajah adiknya dalam-dalam.

"Sejak awal aku sudah merasakan ini. Kamu menyayanginya lebih dari sekadar sahabat, kan?"

Amin Kita BedaWhere stories live. Discover now