SINGASARI, I'm Coming! (END)

an11ra द्वारा

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... अधिक

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

33 - PAST

26.7K 4.4K 649
an11ra द्वारा

Kali ini pendek aja yaa

Kayaknya bisa selesai dibaca dalam
SATU kali tarikan napas...
yang ngambil napas Naga tapinya
👉 🐉 👈

------------------------------------------

Menghembuskan napas pelan Raden Panji Kenengkung menatapku lalu berkata, "Aku sudah bilang, tidak perlu ikut menjaganya semalaman, biar aku saja. Mungkin sekarang kau kelelahan Sawitri. Lebih baik bersihkan dirimu di sungai setelah itu kau dan Wasa bisa berangkat ke istana!"

---------------------------------------------

"Hamba akan mempersiapkan kudanya, Raden," ucap Wasa lalu membungkuk memberi hormat sebelum berbalik badan untuk keluar dari gua.

"Cukup, tak perlu menangis lebih banyak lagi Sawitri. Aku tahu kau sedih harus berpisah dengan temanmu untuk kedua kalinya dengan cara yang tidak biasa, tetapi hidup harus tetap berjalan!" ucap Raden Panji Kenengkung bijaksana.

"Ma__maaf Raden," balas Sawitri dengan suara terbata.

"Aku berjanji padamu, aku akan berusaha membuat Rengganis untuk bisa sadar lagi. Tak peduli aku harus pergi kemana atau menunggu hingga bertahun - tahun sekalipun, kecuali para Dewa menghendaki lain maka aku tidak akan pernah menyerah, Sawitri."

Menghapus air mata yang membasahi pipi "Baik Raden, terima kasih dan hamba pamit undur diri." Menunduk memberi hormat lalu berbalik badan dan berjalan pelan. Namun baru beberapa langkah terdengar suara rintihan pelan.

"Hm... hmm..."

Berbalik badan secepat - cepatnya, lalu mengerjabkan mata guna memastikan kali ini apa yang dilihatnnya benar. Iya... yang tadi bukan khayalan apalagi mimpi, itu benar - benar nyata. Doa tulus tidak akan pernah sia - sia.

"Rengganis... kau dengar aku, hm?" tanya Raden Panji Kenengkung pelan walau dengan ekspresi campuran kaget dan lega sekaligus.

Sungguh rasanya badanku bukan milikku dan ingatanku juga seakan berputar tak jelas. Samar aku mendengar suara isak tangis pelan, namun saat ingin membuka mata, akupun tak bisa. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku juga mendengar perempuan itu juga berkata disela isak tangisnya. Apa Mama yang menangisiku?

Berusaha membuka mata yang entah kenapa rasanya bagai memakai bulu mata berlapis lima, saking beratnya untuk membuka kelopak mata. Sepertinya kesadaranku hilang timbul. Tadi aku berusaha memanggil Mama, agar dia tahu aku sudah sadar, tetapi tiba - tiba gelap dan aku hilang kesadaran lagi.

Syukurlah kini kelopak mataku tak seberat tadi, mengerjabkan mata berkali - kali walaupun pelan guna memindai keadaan. Aduuuuh... semakin aku bisa mengontrol tubuhku maka semakin remuk rasanya sehingga yang tertinggal hanya rasa lemas.

Ingin sekali aku kembali tidur, karena selain rasa sakit di badanku yang aku rasakan saat membuka mata, tetapi juga rasa putus asa, karena aku sialnya masih terjebak di masa lalu. Lihat saja yang ada di hadapanku kini, bukan Mama tapi Raden Panji Kenengkung. Makin pusing kepalaku rasanya saat harus menerima kenyataan pahit ini. Ngomong - ngomong mulutku juga rasanya pahit dan kering sekali.

Berderap mendekatiku lalu ikut bersimpuh "Terima kasih Dewata, syukurlah kau benar - benar bangun, Rengganis. Aku kira tadi aku berkhayal. Bagaimana perasaanmu? Mana yang sakit? Apa kau ingin minum?" tanya Sawitri bertubi - tubi terdengar antusias berbeda 180 derajat dengan diriku yang malah merasa putus asa.

Memandang perempuan yang menjadi temanku selama beberapa bulan ini, "Sa__Sawitri, bisa diam se__sebentar! Aku pusing!" ucapku terbata dan tidak tahukah dia suaranya membuatku tambah pusing.

"Maaf... maaf... aku terlalu gembira!" balasnya tampak ceria dan tentu juga salah tingkah karena dia sempat melirik sekilas pada Raden Panji Kenengkung.

"Sawitri ambilkan minum untuk Rengganis!" perintah Raden Panji Kenengkung mengambil alih situasi.

"Baik Raden," jawab Sawitri sigap, kemudian meningalkan tempatku berbaring.

Memindai sekeliling, sebenarnya aku ada di mana? Sepertinya aku ada di dalam gua jika dilihat dari stalaktit dan stalakmit yang bisa kulihat di sekitar tempatku berada. Aku sebenarnya ingin menjelaskan perbedaan stalaktit dan stalakmit pada kalian, tetapi berhubung kepalaku pusing minta ampun. Jadi mohon pengertiannya.

Mencoba merangkai kejadian sebelumnya. Ah, sepertinya aku pingsan setelah terkena panah semalam. Lihat saja kini sudah pagi karena sinar matahari samar terlihat dari pintu gua di kejauhan.

"Rengganis, apa yang kau rasakan, hm?" tanya Raden Panji pelan mengalihkan perhatianku dari keadaan di sekitar gua.

Menelan saliva yang entah ada dimana sangking keringnya mulutku, lagian Sawitri mengambil air dimana sih? Apa dia mengambil airnya di Papua? Lama sekali dia, tidak tahukah dia walaupun aku sakit tetapi tetap saja grogi jika harus berduaan dengan Raden Panji Kenengkung. Dimana juga semua orang, kenapa jadi sepi begini sih? Apa mereka pergi berburu lagi? Hadeeeh... sempat - sempatnya, padahal baru saja semalam melewati suasana genting.

"Rengganis, kau dengar aku?" Dia menggoyangkan sebelah tangannya di depan wajahku.

Memandangnya sejenak, ekspresi wajahnya tampak khawatir atau itu hanya perasaanku saja "Ham__ hamba baik - baik saja, Ra__raden," balasku pura - pura karena tidak mungkin memberitahu dia jika badanku rasanya sakit semua. Walaupun aku juga malu padanya karena hanya tergores panah saja aku sampai pingsan semalaman.

Kemungkinan besar aku kaget karena terkena panah tadi malam. Maklumi saja, sebenarnya aku tidak sekali dua kali terkena panah, tapi panah virtual hasil panahan cupid... Eaa... tetapi kalau panah sungguhan tentu belum pernah. Lagian aku tidak hidup di zaman Robin Hood. Bayangan aku ini jenis orang yang bertemu jarum suntik saja sudah keluar keringat dingin, apalagi berhadapan face to face dengan panah. Maka tidak heran jika aku langsung pingsan di tempat.

"Kau ingin sesuatu?"

Aku ingin obat sakit kepala atau obat penghilang rasa sakit, jika tidak ada maka obat tidur juga boleh, namun semua itu tidak mungkin aku katakana padanya. Maka aku mencoba tersenyum sebisaku "Hamba tidak menginginkan apapun, Raden," jawabku pelan dan berusaha tidak membuka mulut terlalu lebar karena khawatir akan bau mulutku sendiri. Aku yakin 99,99% baunya tidak enak sebab mulutku rasanya pahit sekali.

Sawitri akhirnya kembali dari mengambil air yang entah dimana, "Ini airnya, Raden," ucapnya lalu ikut duduk bersimpuh di sampingku.

Aku terkesiap karena wajah Raden Panji Kenengkung tiba - tiba berjarak dekat denganku, ternyata dia membantuku bangun dari pembaringan, rasanya pandanganku berputar sesaat... waduh apa aku juga terkena vertigo?

Mungkin juga ini efek karena tangan Raden Panji Kenengkung melingkar di pundaku yang terbuka. Kenapa kini aku malah mirip anak ABG yang pertama kali jatuh cinta dan pertama kali skinship dengan laki - laki sih? Tuhan... Tolong... Eh, kok jadi mirip lagu Budi Doremi... Halaah

"Minum perlahan!" perintah Raden Panji Kenengkung pelan setelah mengambil air dalam buluh bambu kecil yang dibawa Sawitri tadi.

Meminum air yang telah dia dekatkan dengan mulutku "Uhuuuk... Uhuukk..." Aku terbatuk sesaat karena jujur konsentrasi minumku terpecah. Bayangkan bagaimana mau minum dengan tenang jika dia masih mendekapku begini. Mengapa bukan Sawitri saja yang membantuku minum sih?

Badanku menegang dan batukku tiba - tiba berhenti juga karena dengan santainya dia menyeka air yang menetes di sekitar bibirku dengan ibu jarinya, tentu setelah dia menaruh buluh bambu tempat air itu. Sekarang bukan suara batukku yang heboh terdengar tapi jantungku yang dag - dig - dug tak jelas. Mudah - mudahan dia tidak mendengar suara jantung sialan ini. Aku kenapa sebenarnya?

"Aku sudah bilang tadi, minum perlahan dan jangan terburu - buru!" ucapnya yang membuat aku menengok kearahnya sambil mengernyitkan dahi kesal. Salah siapa coba aku bisa terbatuk - batuk seperti tadi? Tapi kenapa dia bertambah berkali - kali lebih tampan bila dilihat dari dekat dan kenapa juga dia harus jadi suami orang lain? rutukku dalam hati lalu memejamkan mata sejenak guna mengusir pikiran absurd tadi.

"Minum ini lalu beristirahatlah beberapa jam. Aku tahu kau masih sakit dan butuh istirahat lebih lama, tetapi masalahnya, hari ini juga kita harus sudah berada di istana!" jelasnya kemudian seperti tadi dia memasukan pil bulat kecil yang warnanya mirip tanah liat ke dalam mulutku dengan tangannya lalu memberikan air lagi agar aku lebih mudah menelan obat aneh ini.

Mengeryit sekali lagi karena pahit sekali rasanya. Ini obat kan? Bukannya kotoran kambing yang dikeringkan? Sumpah aku ingin muntah. Sepertinya aku kurang bersyukur saat hidup di masa depan, sehingga aku dibalas setimpal bahkan mungkil berkali - kali lipat lebih berat dari itu. Aku ingat dahulu, saat disuruh minum obat maag yang tidak pahit saja aku harus berdebat dulu dengan Mama. Ternyata aku benar - benar dikutuk. Maafin Linda Mama...

Membaringkan tubuhku kembali lalu Raden Panji Kenengkung menengok pada Sawitri "Jaga Rengganis selama dia tidur. Jika ada apa - apa, panggil saja karena aku ada di depan bersama Wasa!" perintahnya kemudian berdiri setelah sesaat memandangku.

"Baik, Ra__raden," jawab Sawitri yang ikut terbata dan tentu menampakkan ekspresi wajah yang agak aneh juga.

Menunggu Raden Panji Kenengkung keluar dari gua. Aku memang agak pusing sih, tetapi bagaimana bisa tidur jika berbagai pertanyaan muncul di otakku ini. Alhasil pertanyaan itu membuatku makin pusing. Jadi dari pada tidur, aku lebih ingin meminta penjelasan lengkap dari Sawitri tentang semua kejadian yang terjadi setelah aku pingsan semalam.

Aku menengok pada Sawitri yang malah memandang kepergian Raden Panji Kenengkung. Mungkin jika Sawitri sejenis burung hantu maka kepalanya pasti sudah berputar ke belakang, lihat saja urat lehernya yang mulai terlihat kala dia berusaha menjaga pandangannya agar tetap menatap Raden Panji Kenengkung. Tak habis pikir akan kelakuannya itu. Kenapa dia bersikap aneh begitu sih?

Berusaha bergerak untuk bangun dari pembaringan "Enghh..." Merintih pelan sambil menyentuh pelipis karena tidak hanya kepalaku yang pusing tapi tenaga dan keseimbanganku sepertinya ikut melemah. Mungkin ini efek umur yang makin tua, pingsan sebentar sudah berasa bangun dari koma... Heran

"Eh, untuk apa kau bangun, Rengganis?" tanya Sawitri kala mendengar rintihanku dan berhasil mengganti fokusnya kembali kepadaku "Berbaring lagi, jangan macam - macam!" lanjutnya sambil membaringkan aku lagi.

"Sawitri, tolong jangan berlebihan. Aku cuma pusing sedikit, mungkin karena pingsan selama semalaman," ucapku sambil mengerucutkan bibir sebal karena dipaksa berbaring lagi.

"Apa kau bilang?" Alis Sawitri nyaris menyatu saat mendengar perkataanku.

"Ngomong - ngomong, kenapa Raden Panji Kenengkung tidak ikut berburu bersama para pangeran? Bukankan biasanya hanya Wasa yang ditugaskan menjaga kita. Lagipula kenapa kita ada di gua, hm?" Sebuah pemahaman muncul dibenakku, "Oh, aku tahu! Kita bersembunyi agar para penjahat tidak menemukan kita ya, benar tidak?"

"Sepertinya Raden Panji Kenengkung benar, kau butuh tidur!" Sawitri menatapku galak.

"Issshh... anggap saja aku sudah tidur semalaman, Sawitri. Mungkin karena kebanyakan tidur, itu sebabnya aku jadi pusing. Kata orang, kurang tidur atau terlalu banyak tidur itu sama - sama tidak baik baik tubuh manusia."

"Sebenarnya yang terkena panah itu bahumu atau kepalamu, Rengganis? Aku makin tak mengerti arah pembicaraanmu!" Menghela napas pelan lalu melanjutkan, "Pejamkan matamu lalu tidur! mengerti?"

"Tidak mau, aku sudah tidur semalaman, Sawitri!" balasku keras kepala.

"Demi Dewata, kau ini sedang sakit Rengganis dan harap kau tahu, dirimu bukan tidur SEMALAMAN tetapi tidak sadarkan diri selama tiga hari... TIGA HARI!" ucapnya geram sambil menunjukkan angka tiga menggunakan jarinya "Bahkan aku kira kau tidak akan pernah bangun lagi!" Dia menambahkan sambil melotot.

Mengernyitkan dahi bingung, "Kau tidak berbohongkan, Sawitri?

"Apa wajahku terlihat sedang main - main bagimu, haaah?"

"Ck, lalu kenapa aku bisa tidak sadarkan diri selama tiga hari? Apa aku keracunan ikan yang kumasak?" tanyaku penasaran sekaligus histeris. Jangan - jangan ikan di sungai itu bukan ikan mas biasa tapi ikan yang mengandung racun.

"Astaga! Kau tahu, aku ingin menangis saat melihatmu tertidur lama, tapi ternyata saat kau bangun, kau juga membuatku ingin menagis lagi, bukan karena sedih tetapi karena kesal!"

Mendengus pelan "Jangan berlebihan, Sawitri. Jika benar aku tidak sadarkan diri selama tiga hari dan bukan karena ikan, maka aku kenapa?" Mengangkat kedua tangan mencari bukti sebelum berkata, "Aku tidak terkena deman berdarahkan?

"___" Sawitri mengganga.

Oh... Aku lupa, mungkin dia tidak tahu tentang penyakit Demam Berdarah Dengue alias DBD. Jujur, aku tidak tahu tahun berapa sebenarnya DBD ditemukan. Aku juga bingung mana yang duluan ditemukan DBD atau nyamuk Aedes Aegypti. Seperti pilihan antara telur atau ayam yang duluan. Aku belum sekurang kerjaan itu untuk mencari tahu. Lagian menyelesaikan administrasi pembelajaran saja aku malas apalagi mencari hal - hal lain.

"Tapi tidak ada bintik - bintik atau ruam kemerahan di kulitku. Tidak mungkin jika aku pingsan karena luka goresan panah inikan? Aku mungkin pingsan karena kaget masih masuk akal, tapi jadi tidak masuk akal jika pingsannya tiga hari, Sawitri." lanjutku sambil menunjuk luka di bahu kiriku yang terkena panah itu, walau sekarang sudah tertutup bebatan kain.

Aku yakin demi cobek kramat Bi Mumun, yang membuat sambal buatnya enak itu! Sungguh tidak mungkin karena luka kecil aku tak sadarkan diri lama. Ingat bahwa panah itu tidak menancap badanku tetapi hanya menggores saja, aku lihat sendiri panah itu terjatuh di tanah setelah sekilas mengenaiku.

"Memang karena luka itu kau tidak sadarkan diri Rengganis!" jawab Sawitri geram dengan gigi bergemeretak, sepertinya dia mulai marah.

"Eeeehh..." Nyengir mendengar fakta itu.

"___" Sawitri sepertinya kehabisan kata, namun ekspresi wajahnya nampak sekali ingin memakanku hidup - hidup.

Waduuuh... ternyata daya tahan tubuhku lemah sekali. Mungkin ini efek kebanyakan makan singkong selama di istana dan kerja terus bagai kuda. Kekurangan nutrisi padahal aktivitas fisik dan psikis meningkat. Terutama psikis karena berasa di-bully oleh majikanku sendiri.

"Hehehe... maaf membuatmu khawatir Sawitri, tapi biasanya aku tidak selemah itu. Mungkin aku memang kelelahan saja."

Menepuk dahinya pelan "Kau bukan KELELAHAN tapi KERACUNAN! Astaga, para Dewa tolong hamba!" ucap Sawitri antara putus asa dan habis sabar.

Mendengus lalu berkata, "Kau tadi yang bilang aku tidak keracunan. Berarti benar tebakanku tadi, bahwa ikan masakanku itu beracun. Kepalaku sudah pusing, kau malah membuatku tambah pusing, Sawitri... Sawitri... Hadeeeh."

"SEHARUSNYA AKU YANG BICARA SEPERTI ITU!" Ucapnya geram lalu menarik napas pelan sebelum melanjutkan dengan suara lebih pelan, "Dengar aku baik - baik. Bukan ikan yang meracunimu, tapi panah yang melukaimu pada malam itu ternyata telah diberi racun dan sialnya kau yang terkena panah beracun itu, mengerti?"

Dahiku mengernyit heran, "Sawitri, panah itu hanya menggores sedikit kulitku. Bagaimana mungkin luka sekecil itu membuatku sampai tak sadarkan diri selama itu? Sungguh aku tidak mengerti? Seperti apa sebenarnya dunia yang aku tinggali sekarang?"

Menghembuskan napas pelan sekali lagi sebelum berkata, "Beruntung bagimu karena panah itu hanya menggores kulitmu. Jika sampai menembus kulitmu maka seperti yang dikatakan oleh Raden Panji Kenengkung padaku tadi malam padaku. Kau akan mati dalam hitungan jam... Oh, bukan hitungan jam tetapi mungkin hitungan menit, Rengganis!"

Kepalaku yang sudah pusing bertambah pusing mendengar kenyataan yang disampaikan oleh Sawitri "Mereka ingin membunuh Pangeran Anusapati maksudmu? Panah itu... panah itu diarahkan padanya bukan?"

"Sepertinya memang itu tujuan mereka!"

Giliran aku yang menarik napas menahan kesal "Buang - buang tenaga karena belum saatnya Pangeran Anusapati mati!"

"Huuuss, sembarangan!"

"Ngomong - ngomong di mana para Pangeran saat ini? Mereka tentu tidak berburu seperti dugaankukan?"

"Mereka sudah kembali ke istana malam itu juga. Berada di hutan lebih lama terlalu berbahaya karena bisa saja ada pasukan pembunuh lainnya yang akan datang dan menyerang lagi." jawab Sawitri pelan sekali bahkan nyaris tak terdengar.

"Lalu mengapa Raden Panji Kenengkung masih ada di sini? Bukannya dia seharusnya menjaga Pangeran Anusapati?" tanyaku penasaran.

"APA KAU TAK MENDENGAR KATA - KATAKU, SAWITRI. AKU MEMINTAMU MENJAGANYA DAN BIARKAN DIA TIDUR. BUKAN MALAH BERBINCANG DENGANNYA!!!" ucapan Raden Panji Kenengkung cukup keras terdengar menggelegar. Hal itu otomatis membuat kami kaget dan tentu obrolanpun terhenti. Ternyata dia berjalan masuk lagi ke dalam gua.

Sangking asiknya bergosip aku sampai tidak sadar sekitar. Mungkin itu juga sebabnya ucapan Sawitri tadi makin pelan. Lagian katanya mau tunggu di depan gua, ngapain juga masuk lagi ke dalam. Dasar Raden Panji Kenengkung aneh.

"Ma... maaf, Raden," ucap Sawitri terbata karena takut.

Memandang Raden Panji Kenengkung yang kini tengah berdiri di samping tempat pembaringanku, kemudian memberanikan diri untuk berkata,"Hamba yang salah, Raden. Hamba yang terus bertanya pada Sawitri sehingga dia tidak ada pilihan lain selain menjawab pertanyaan itu. Hamba minta maaf."

Raden Panji Kenengkung Berdecak sebelum berkata "Aku tahu. Sejak kapan kau mau menuruti perintahku, Rengganis?" Menghembuskan napas pelan kemudian melanjutkan, "Kau perlu mengembalikan tenagamu, jadi tidurlah dulu untuk beberapa jam. Kita harus menempuh perjalanan cukup jauh sebentar lagi!"

"Maaf, Raden," ucapku sambil mengerucutkan bibirku kesal. Sementara Sawitri yang salah tingkah memilih untuk meminum air dari buluh bambu yang tadi, guna mencari kesibukan.

"Haruskan aku yang menemanimu tidur Rengganis, haaah?" tanya Raden Panji Kenengkung sambil melotot memandangku, sedangkan aku mendadak merasa panas lagi tetapi bukan di dahiku melainkan di pipiku.

"Uhuuuk... Uhuuuk..." Suara Sawitri yang sepertinya tersedak air yang diminumnya akibat kaget akan kata - kata dari Raden Panji Kenengkung barusan yang ambigu.

Sumpah, aku ingin pingsan lagi saja.

---------------Bersambung -----------------

15 Januari 2021

------------------------------------------------------


Nggak usah mikirin jodohnya Rengganis lah... keluarganya bukan... saudaranya bukan...
Mikirin jodoh untuk dirimu sendiri aja, Sob!
🥱

Jumpa lagi di Jumat malam, Kawan!!!

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

1.3K 109 35
Bagimana jika kamu yang awal nya takut dengan pria yang hanya bisa kamu lihat tetapi semakin berjalan nya waktu kamu malah mecintainya. Pria itu t...
The Past [MAJAPAHIT] ✔ letta's universe द्वारा

ऐतिहासिक साहित्य

366K 35.2K 40
Mungkin, masa lalu yang dapat menyembuhkannya Book I Start: 26 Maret 2020 End : 19 Mei 2020
KASHMIR B.O.S🚀 द्वारा

ऐतिहासिक साहित्य

381K 24.9K 121
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...
Koala Bulet Agustinus Leo द्वारा

किशोर उपन्यास

33K 1.7K 8
Kisah Klasik tentang cinta masa SMA yang dialami seorang cewek gendut nan jutek bernama Kintara ini cukup unik ia tak mengira dengan penampilan fisik...