CITO. [COMPLETED]

بواسطة Michimitha

491K 34.2K 1.9K

[SPIN OFF SUNSHINE] bisa dibaca terpisah :) CITO : /swiftly/ swif(t)lē dengan cepat. Highest Rank : #1 : Shee... المزيد

Prolog
01 - Encounter
02 - Just a Friend
03 - He Cares of Me?
04 - About Her
06 - Her Kindness
07 - This Feeling
08 - How To Not Fall In Love?
09 - A Mixed Feeling
10 - Should We?
11 - When You Love Someone
12 - A Hug
13 - Unforgettable Moment
14 - That's Okay
15 - She Knows Everything
16 - Meet Alyne
17 - Friday Night
18 - The Secrets Was Opened
19 - The Secrets Was Opened (2)
20 - What If
21 - It's The Best Thing For Now
22 - A Distance
23 - Day by Day
24 - It's Just Too... Grateful!
25 - Home
26 - Meet Again
27 - Leica : Love & Let Go
28 - This Is How You Fall In Love
29 - A Step Towards You
30 - Happy Birthday To You
31 - The Proposal
32 - A Little Throwback
33 - Final : One Step Closer
Epilog
After CITO : Ineffable
An Additional : My Everything
SIDE STORY CITO : INEFFABLE
Prelude : MIDNIGHT RAIN

05 - Avoidance

13.6K 1K 81
بواسطة Michimitha

SHEENAZ

Weekend kedua di bulan Januari dengan cuaca yang sedikit tidak bersahabat karena sedari semalam hujan tak kunjung berhenti.

Pagi ini aku sedang berada di Pondok Indah, tepatnya menginap di sini untuk menghabiskan waktu weekend-ku dengan bersantai bersama kedua orang tuaku.

"Kak Ando kapan ke Jakarta, Mah?" Tanyaku ke arah Mama yang sedang menyiapkan sarapan bersama dengan Mbak Nana asisten rumah tangga yang bekerja di sini.

Alejandro atau biasa aku panggil Kak Ando, dia adalah kakakku yang saat ini sedang berada di Swiss selama kurang lebih dua tahun untuk menyelesaikan penelitiannya di sana

"Lusa. Kamu yang jemput ya, Naz. Mama sama Papa ada seminar kesehatan di Senayan dan kayaknya jadwalnya sama kayak Kakakmu pas landed di CGK." Jawab Mama seraya menata makanan di atas meja makan.

"Okay. Lusa nanti jadwal aku juga cuma visite doang." Ucapku menyanggupi.

"Bawa mobil Mama aja. Mobil kamu masih diurus surat-suratnya, kan?" Tanyanya yang aku jawab dengan anggukan kepala. "Atau kamu mau di antar sama Pak Didi ke bandaranya?" Tanyanya lagi yang kali ini Mama menyebut nama supir kami.

"Nggak usah soalnya aku kan dari rumah sakit." Ucapku seraya mendudukkan diri di kursi meja makan.

"Ya udah kalau gitu. Pah sarapan dulu!" Ucap Mama memanggil Papa yang sedang sibuk dengan ikan-ikannya di kolam belakang.

Tidak lama kemudian Papa muncul dengan setelan olahraganya dan langsung menuju wastafel untuk mencuci tangannya.

Kami bertiga pun langsung menyantap sarapan yang menu hari ini adalah scrambled egg, avocado toast, dan juga oatmeal.

"Kamu beneran baik-baik aja selama di Ascott?" Papa bersuara di tengah kunyahan avocado toast-nya.

Aku mengangguk lalu tersenyum meyakinkan. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Kamu nggak mau pindah ke sini aja?" Tanyanya lagi menatapku dengan khawatir.

Papa dan Mama memang awalnya menolak kalau aku tinggal di apartemen. Alasannya karena mereka khawatir kalau-kalau gangguan kecemasan yang aku derita datang kembali.

Aku mempunyai pengalaman yang buruk sewaktu kecil. Aku pernah diculik dan disekap di tempat yang gelap dan sempit disaat aku berumur 8 tahun, karena kejadian itu aku mengalami yang namanya avoidance.

Avoidance adalah suatu tindakan penghindaran dan juga salah satu gejala awal dari gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder atau PTSD).

Sebagai contoh, aku selalu mengalami sesak napas ketika aku berada di tempat yang gelap dan sempit, bukan hanya itu ketika menaiki lift yang di mana di dalam lift tersebut penuh dengan orang, tubuhku akan gemetar hebat.

Oleh karena itu, aku selalu menghindari tempat-tempat seperti yang aku sebutkan di atas dan untuk kasusku yang selalu gemetar setiap menaiki lift yang penuh, aku akan meminum obat anti-depresan untuk menghilangkan kecemasan yang berlebihan sebelum aku menaikinya atau kalau tidak ada hal yang mendesak aku akan menunggu lift yang berikutnya datang.

Hal ini yang di khawatirkan oleh keluargaku, sebab unit apartemenku berada di lantai 26 yang dengan pastinya setiap aku menuju unitku berada mau tidak mau aku akan naik lift karena tidak mungkin kalau aku naik tangga sampai ke lantai 26.

"Nggak baik kalau terus-terusan minum anti-depresan, Naz." Ucap Papa lagi mengingatkan.

"Pah, I really fine. Aku juga kan nggak setiap hari pulang ke apart bahkan seminggu bisa cuma 2 kali aku pulang ke sana, selebihnya ya di rumah sakit terus. Kalau weekend aku selalu nginap di sini, kan? Dan juga lift di sana nggak pernah penuh sama orang kok karena lift di sana ada limit maximum-nya." Ucapku menatap Papa dan Mama.

Mereka berdua diam tidak menjawab lalu aku melanjutkan ucapanku. "Obat anti-depresan dari dokter Satria juga udah dikurangi dosisnya karena gangguan kecemasanku udah jarang datang. Setiap kali aku naik lift juga udah biasa aja. Jadi kalian berdua jangan khawatir ya?" Kataku tersenyum meyakinkan.

Aku menghela napas pelan lalu melanjutkan ucapanku ketika mereka berdua masih terdiam. "Pah, Mah, kalau-kalau kalian lupa we agreed since the beginning perihal aku tinggal di apartemen, lho?"

"Okay, we lose. Tapi ingat kalau ada apa-apa kabarin kami." Ucap Papa pasrah dan aku langsung mengangguk mengiyakan.

***




ALVINO

Jarang sekali aku bisa menghabiskan waktu weekend-ku di luar rumah sakit seperti ini. Aku memutuskan untuk pergi ke Pondok Indah Mall 2 untuk membeli hadiah untuk keponakanku yang minggu depan akan pulang ke Indonesia.

Namun, langkahku terhenti ketika mataku menangkap keberadaan seseorang yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Aku hampiri dia lalu menepuk pundaknya pelan.

"Naz." Panggilku seraya menepuk pundaknya.

Dia membalikkan tubuhnya dan seketika terkejut melihatku.

"Lho, Vin lo kok ada di sini?" Tanyanya yang masih terkejut.

Aku tertawa geli mendengarnya, "Nggak boleh emang kalau gue di sini?"

"Eh? No... I mean, tiba-tiba aja gue ketemu lo di sini. Mengingat lo anak Sudirman banget. Kaget aja lihat lo di Pondok Indah kayak begini." Ucapnya meringis geli. "Sendiri?"

Aku mengangguk. "Abis beli hadiah buat keponakan gue dan kebetulan store-nya emang cuma ada di sini. Mumpung gue juga nggak ada calling-an." Kataku seraya menunjukkan paper bag yang sedang kubawa. "Lo sendiri juga?" Lanjutku lagi.

"Iya abis dari Charles & Keith."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Lo langsung balik atau gimana?"

"Actually, gue belum lama sampai sih. Paling mau muter-muter dulu. Lo sendiri?"

"Same here. By the way, Naz, lo udah makan siang? " Tanyaku melirik jam di pergelangan tangan kiriku yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit.

Sheenaz menggelengkan kepalanya. "Should we?" Tanyaku mengajaknya kemudian.

"Sure. Mau di mana?" Tanyanya tersenyum mengiyakan.

"Bakerzin? Atau mau Shaburi?" Tanyaku meminta rekomendasinya.

"Bakerzin oke sih. Kalau Shaburi jam segini suka waiting list."

"Oke. 3rd floor right?" Tanyaku memastikan.

Sheenaz mengangguk. Lalu, aku melangkahkan kakiku menuju lift yang berada di sebelah kananku, namun suara Sheenaz seketika menghentikan langkahku.

"Vin." Panggilnya.

Aku menoleh ke arahnya yang berada di belakangku. "Kenapa?"

"Kalau kita ke sananya naik eskalator aja lo keberatan nggak?" Tanyanya pelan serta menatapku sedikit memohon.

Aku mengernyitkan dahiku sesaat ketika mendengar pertanyaannya. Melihat tatapan serta wajahnya yang menunjukkan keputusasaan aku memilih mengangguk dan mengiyakan ucapannya. Lalu, kami berdua menuju eskalator yang berada di ujung sebelah kiri kami.

Sesampainya di Bakerzin dan mendapatkan tempat, kami langsung memesan makanan dan minuman pada waiterss.

"Vin." Panggil Sheenaz ketika waiterss pergi dari meja kami.

"Ya?" Jawabku mengangkat wajah dan kembali menaruh handphone di atas meja.

"Don't you want to ask something?" Tanyanya seketika yang membuatku kembali mengerutkan dahiku sesaat. "I mean... soal gue lebih memilih naik eskalator dibanding naik lift." Lanjutnya ketika melihatku terdiam.

"Ah... I see." Kataku mengerti. "You have a reason, right?" Tanyaku lalu Sheenaz mengangguk. "Kalau gitu, gue nggak akan nanya." Ucapku tersenyum menatapnya.

"Kenapa?"

"Because it's your privacy. So, don't think about it. Mau naik eskalator atau naik lift sama aja buat gue. Toh, sama-sama bisa sampai ke tempat ini kan? " Ucapku menjawab pertanyaannya.

Sheenaz tersenyum. Wajahnya kini sudah rileks kembali. "Thank you."

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Lalu, tidak lama kemudian makanan dan minuman kami berdua diantarkan oleh waiterss dan kami langsung menikmatinya dengan sesekali diselingi obrolan seputar pekerjaan.

***



Aku menghampiri Sheenaz yang berdiri di luar restoran setelah aku selesai membayar makanan di kasir.

"Yuk!" Ajakku ketika sudah berada di sampingnya.

Kami berjalan bersisian menuju eskalator yang pada saat itu terdapat beberapa petugas keamanan.

"Maaf, Mas, Mbak, eskalator ini sedang tahap perbaikan. Mas dan Mbak-nya bisa turun melalui lift yang berada di sana." Ujar salah satu petugas keamanan seraya menunjuk lift yang dimaksud.

"Kenapa ya Mas dengan eskalatornya? Tadi masih baik-baik aja." Sheenaz bersuara. Aku bisa mendengar suaranya sedikit bergetar.

"Ada salah satu pengait yang terlepas, Mbak." Salah satu petugas keamanan yang lain menjawab pertanyaan Sheenaz.

"Gimana? Atau mau nunggu aja?" Tanyaku ke arah Sheenaz yang saat ini sudah memucat di tempatnya berdiri.

Sheenaz diam tak menjawab.

"Mas kalau nunggu eskalatornya selesai diperbaiki berapa lama ya?" Aku menghampiri salah satu petugas keamanan itu dan bertanya kepadanya.

"Wah saya kurang tahu, Mas. Mungkin bisa sampai 2-3 jam." Katanya mengira-ngira.

Aku menoleh ke arah Sheenaz yang masih berdiri diam dengan tangan yang saling bertautan.

Aku kembali hampiri dia yang pada saat itu sudah tersenyum menatapku.

"Kita naik lift aja, Vin. Yuk!" Ajaknya setelah aku berada di hadapannya.

"Are you okay?"

Sheenaz tersenyum lalu mengangguk. "Yeah." Lalu, kami berdua langsung menuju lift yang berada di ujung sebelah kanan.

Sesampainya di depan lift sudah ada sekitar 6 orang yang menunggu lift terbuka. Aku menoleh ke samping kiriku untuk melihat Sheenaz yang terlihat gusar.

Lift terbuka dan 6 orang tersebut memasuki lift satu persatu. "Mau naik yang selanjutnya aja?" Tanyaku ketika melihat Sheenaz ragu untuk masuk.

Sheenaz menggeleng, "Kita naik yang ini aja." Ucapnya seraya melangkahkan kakinya ke dalam lift lalu aku mengikutinya dari belakang.

Pintu lift menutup lalu aku segera memencet tombol lift menuju parkiran basement.

Aku benar-benar tidak bisa memalingkan tatapanku dari Sheenaz. Aku khawatir dengan keadaannya. Tubuh gadis ini sudah gemetar, ditambah peluh memenuhi dahinya.

Aku raih tangan kanannya untuk aku genggam. Tangan kanannya sudah berkeringat dan juga dingin. Aku menggenggam tangannya bermaksud untuk menghilangkan kecemasan yang dirasakannya.

Sheenaz mengangkat wajahnya tampak terkejut dengan sikapku yang tiba-tiba seperti ini.

"It's okay. It's gonna be okay, percaya sama aku." Bisikku ke telinganya.

Sheenaz mengangguk lalu mengeratkan genggaman tanganku di tangannya.

Aku tersenyum menenangkan dan tidak lama kemudian lift terbuka yang menandakan tujuan kami telah sampai. Aku segera menuntun Sheenaz keluar dan mengajaknya duduk di salah satu kursi yang tersedia di dalam parkiran basement.

Sheenaz terduduk lemas dengan napas yang tersengal-sengal. Keringat kembali bercucuran di dahinya.

"It's okay, Naz. Breathe... Breathe." Ucapku sembari berjongkok di hadapannya lalu mengelus punggungnya pelan.

"Nggak apa-apa kamu udah aman sekarang. Ada aku." Kataku menenangkannya.

Sheenaz mengangguk dan kembali mengatur napasnya dengan teratur.

Setelah lima belas menit, aku lihat Sheenaz sudah mulai tenang dan napasnya sudah kembali teratur.

"Gimana? Udah mendingan?" Tanyaku seraya duduk di sampingnya memastikan bahwa Sheenaz sudah baik-baik saja.

Sheenaz mengangguk dan tersenyum, "Iya. Lagi-lagi berkat kamu. Terima kasih banyak ya, Vin." Ucapnya berterima kasih.

"No, ini semua bukan karena aku. Tapi karena diri kamu sendiri yang bisa melewati ini semua dengan sangat baik." Kataku meralat ucapannya.

Sheenaz kembali tersenyum. "Kamu udah terlalu sering bantuin aku. Mulai dari ngobatin tanganku yang bengkak, nganterin aku pulang, sampai nenangin aku sekarang. I owe you a lot. Bahkan aku nggak tahu how do I repay your kindness."

"Dengan melihat kamu baik-baik aja sekarang, it's enough for me." Balasku tersenyum menatapnya.

Hening.

Baik aku dan juga Sheenaz sama-sama terdiam.

Hanya terdengar suara detak jantung yang seirama yang memenuhi indera pendengaran kami masing-masing.

"Kamu pulang ke rumah orang tua atau ke apart, Naz? Aku antar ya?" Tanyaku memecah keheningan tersebut.

"Aku pulang ke rumah dan kebetulan aku bawa mobil, Vin."

"Beneran udah nggak apa-apa? Kamu masih agak pucat soalnya." Ucapku khawatir membayangkan Sheenaz menyetir dalam keadaan seperti ini.

Sheenaz tertawa pelan. "Beneran udah nggak apa-apa. Rumahku dekat kok dari sini. Jadi, no worries."

Mau tidak mau aku mengangguk. "Mobil kamu di parkir di mana?"

"Itu mobilku." Tunjuknya ke arah mobil yang berwarna putih, yang tidak jauh dari tempat kami berada. "Mobil kamu?"

Aku menunjuk tempat mobilku berada yang tidak jauh dari mobil Sheenaz yang terparkir.

Sheenaz mengangguk lalu berdiri dari duduknya. Aku pun ikut berdiri. Lalu, kami berdua berjalan bersisian menuju mobil kami yang terparkir.

"Aku pulang ya, Vin." Katanya ketika sudah berada di depan mobil Rush berwarna putih tersebut.

"Safe drive." Balasku yang diangguki olehnya.

"Kamu juga." Ucapnya lagi ketika hendak membuka mobilnya.

Setelah Sheenaz masuk ke dalam mobil, aku langsung menuju mobilku berada yang letaknya tidak jauh dari mobil Sheenaz terparkir.

Tidak lama kemudian mobil Sheenaz melewati mobilku dan aku langsung mengikutinya dari belakang.

Setelah keluar dari basement, mobil yang aku kendarai bukannya menuju arah Kuningan di mana apartemenku berada, aku malah mengikuti mobil yang dikendarai oleh Sheenaz dari belakang.

Hal ini aku lakukan untuk memastikan Sheenaz baik-baik saja dan selamat sampai rumahnya.

Lima belas menit aku mengikuti mobilnya, aku lihat mobil Sheenaz memasuki kompleks perumahan Pondok Indah dan tidak lama mobil tersebut berhenti di depan rumah bertingkat dua dengan pagar hitam yang menjulang tinggi.

Aku menghentikan mobilku beberapa meter dari rumahnya ketika melihat Sheenaz memasuki mobilnya ke dalam rumah tersebut.

Tanpa sadar aku tersenyum lega ketika melihat kondisi Sheenaz baik-baik saja dan sampai di rumahnya dengan selamat. Lalu, tanpa membuang waktu lagi, aku kembali menjalankan mobilku menuju apartemen yang jaraknya lumayan jauh dari tempatku berada sekarang.

***


CITO part five has been ended :)
Happy friday and happy reading teman-teman semuanya 🌺🌟

See you on next part 🌺🌟

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

2.2M 21.4K 26
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
16.7M 728K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
Sepulang dari Semeru بواسطة nyai

القصة القصيرة

31.2K 2.4K 22
Cinta datang tepat waktu. Refan Alfiansyah butuh ketenangan dalam hidupnya, Ia selalu pergi ke tempat dimana tidak ada kebisingan kota. Hanya ada ang...
1.9M 27.4K 26
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...