Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]

By dinasaputri530

2.3M 179K 21.4K

Mantan. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk seseorang yang pernah mengisi kekosongan relung hati kita, tetap... More

Prolog
Putus
Di sini siapa bosnya?
Hukuman
Gara-gara Terlambat
Inikah Karma?
Goresan luka
Luka lama
Gebetan baru
Suapan pertama
Kemarahan Devano
Mood Booster
Gagal profesional?
Dijemput Kiano
Pendapat Silvi
Kejailan Devano
Pertengkaran
Tiga Pangeran Tampan
Bercanda versi Devano
Masa lalu atau masa depan?
Bimbang
Aku, kamu, dan dia
Perasaan sesungguhnya
Tiga bodyguard kepercayaan
Sakit tak berdarah
Permintaan maaf
Tangisan pilu
Kejadian tak terduga
Kemarahan Kiano
Flashback
Rumit
Tuyul dewasa?
Alana VS Gavin
Alana vs Gavin 2
Squishy
Harus kuat!
Hukuman
Perkelahian
Waktu yang tidak tepat
Serba Salah
Mengakui kesalahan
Kecurigaan Alana
Gavin & Silvi
Tantangan
Logika atau Hati?
Calon Mantu
Kejujuran Kiano
Kecewa
Gudang
Kata Hati
Rencana rahasia dua sekawan
Hujan
Hujan 2
Ingin memiliki?
Sahabat Dan Cinta
Dilamar?
Balikan?
Penyemangat kedua
Tentang Kita
Biang kerok Gavin
Malam Mingguan
Pasar Malam 1
Pasar Malam 2
Pura-pura?
RetakπŸ’”
Belum Terlambat
Butuh Waktu
Suka Duka
Ujian Terberat
Peduli
Siuman
Berpisah, lagi?
Suka Dan Luka
Perubahan
Keputusan
Lagi, lagi, dan lagi!
Memaafkan
Perpisahan
Sahabat selamanya
Akhir

Cinta Bersemi Kembali?

19K 1.7K 642
By dinasaputri530


Halo ... apa kabar?

Semoga sehat dan bahagia selalu ya 😁

Jangan bosen nunggu, dan baca cerita ini yak.

[Jangan lupa vote, komentar, dan krisannya]

Happy reading ....

•••

"Maaf, Pak, saya terlambat," ujar Alana dengan napas tersengal-sengal, seraya menyeka keringat yang mengucur di dahinya.

Bagaimana tidak, setelah begadang semalaman karena menjadi teman curhat Silvi, ia juga harus menunggu ponselnya yang dicharger untuk memastikan apakah benda itu rusak atau tidak. Untungnya, masih bisa digunakan walau layarnya sedikit retak. Dan yang paling menyebalkan adalah, dia terlambat datang ke kantor, karena sahabat laknatnya itu pergi begitu saja tanpa membangunkannya. Sedangkan sang ibu tengah berada di luar kota, untuk menghadiri acara pernikahan salah satu kerabatnya.

Tak hanya sampai di situ, tetapi dirinya juga harus berlari menaiki tangga hingga kakinya terasa sakit, karena tidak mau mengantri untuk naik ke dalam lift. Meskipun hanya sampai lantai tiga, dan memilih mengantri dengan rekan kerja yang lain. Ah ... pagi yang melelahkan.

"Kerjakan berkas-berkas ini."

Pria tampan berjas hitam itu menyodorkan beberapa berkas di atas meja. Netra tajamnya menatap Alana dingin, sama seperti saat dulu gadis itu terlambat masuk kantor. Bedanya, kali ini auranya semakin mencekam dan menakutkan.

"B-baik, Pak." Alana segera mengambil berkasnya, kemudian berjalan menuju meja kerjanya sebelum Devano mengomelinya seperti yang sudah-sudah.

"Tunggu!"

Langkah gadis itu langsung terhenti saat mendengar perintah Devano, dengan jantung yang semakin berdebar kencang. Takut jika pria itu akan marah dan menghukumnya, tanpa mempedulikan alasan di balik keterlambatannya bekerja. Jika saja punya ilmu menghilangkan diri, maka dia pasti akan segera menggunakannya untuk menghindari sang bos.

Sejenak menghela napas panjang, guna menetralisir rasa gugup lalu memutar tubuh secara perlahan. Tak lupa, ia juga menunjukkan senyum semanis mungkin pada bosnya.

"Iya, ada apa, Pak?" tanyanya, berusaha untuk tetap tenang.

"Sudah sarapan?"

Alana melotot. "Hah?!"

"Kamu sudah sarapan?"

Devano kembali mengulangi pertanyaannya, masih dengan ekpresi datar dan dingin yang membuat siapapun enggan beradu pandang dengannya. Takut.

"Be-belum, Pak," jawab Alana jujur.

Ya, dia memang belum sarapan, karena terburu-buru berangkat ke kantor tadi.

"Sarapan dulu, saya tidak mau kamu sakit."

"Hah?!"

"Maksudnya, saya tidak mau kamu sakit. Itu akan menyusahkan!" sahut Devano cepat, seolah dia paham apa yang ada di benak sekretarisnya itu.

Namun, memang benar apa yang Alana pikirkan. Ia tidak mau gadis itu sakit, karena akan membuatnya tidak tenang. Khawatir.

"Tapi, pekerjaan say--"

"Sarapan, atau saya hukum?" potong Devano.

Gadis itu menghela napas berat, lalu memutar bola matanya malas. Menatap jengah pria yang duduk di kursi kebesarannya. Sungguh, sikap Devano saat di kantor dan di rumah benar-benar berbeda. Seperti langit dan bumi. Bahkan saat ini rambutnya sudah kembali seperti semula, warna hitam legam, tertata rapi. Beruntung kemarin ia sempat mengabadikan momen bersama di ponsel milik pria itu, karena sang bos mengatakan jika kamera ponselnya tidak cerah dan akan terlihat jelek. Mengesalkan, tetapi ia menyukainya.

"Baik. Saya akan sarapan, Pak."

Dan setelah mati-matian berlari menaiki tangga, ia harus kembali ke lantai dasar untuk sarapan. Jika tahu pria itu akan memintanya makan, maka dia tidak akan selelah ini sekarang.

•••

Pukul 12.30 siang. Devano bersandar di sudut meja seraya bersedekap dada, memperhatikan gadis cantik yang tengah sibuk menata berkas-berkas yang ada di rak ruangan. Sesekali  senyum samar mengembang di bibir manisnya, melihat sang sekretaris harus berjinjit saat hendak menaruh berkas di rak yang cukup tinggi.

Rasanya, dia ingin mengangkat tubuh mungil itu agar tidak kesulitan lagi, tetapi urung dilakukan karena mengerjai Alana selalu menjadi kepuasan tersendiri baginya. Apalagi saat mendengar omelan dan sumpah serapah yang dilontarkan sang pujaan hati, hal itu justru terdengar seperti nyanyian yang begitu merdu. Ya, katakanlah dia lebay, alay, budak cinta, atau apapun, yang jelas dirinya akan melakukan apa yang membuatnya bahagia.

"Pak Dev!" tegur Alana.

"Hah?!" Pria itu langsung membuyarkan lamunannya, dan sedikit terkejut saat mendapati Alana sudah berdiri di hadapannya seraya mendengkus kesal. Menggemaskan. "Sejak kapan kamu berdiri di sini?" tanyanya datar.

"Sejak Bapak ngelamun sambil senyum-senyum sendiri. Ngelamunin apa, sih? Penasaran saya tuh," jawab Alana, sambil menggerakkan alisnya naik-turun. Lucu.

"Kamu--"

Brugh.

Devano langsung terjatuh, saat Alana yang salah tingkah tiba-tiba mendorong bahunya hingga kehilangan keseimbangan. Karena dalam posisi tidak siap.

"Hakh! Maaf, Pak ... nggak sengaja! Ayo saya bantu." Gadis bersurai panjang itu segera mengulurkan tangannya, dengan wajah panik karena tak sengaja mendorong Devano. Sungguh, ia hanya melakukannya secara spontan.

Devano menghela napas, setelahnya menerima uluran tangan Alana. "Tarik," titahnya.

"Semongko!" Alana langsung menepuk mulutnya menggunakan tangan kiri, lalu tersenyum kikuk. "Maaf, Pak, refleks itu barusan. Saya kira, Bapak, bilang, 'Tarik Sis'. Makanya, saya jawab 'Semongko', gitu," celotehnya memberi alasan, agar tidak dimarahi.

"Ya sudah, cepat tarik!"

"Iya, Semongko---eh, maksudnya, iya, Pak."

Gadis itu langsung menarik tubuh Devano dengan sangat kuat, karena pria itu tidak mengeluarkan tenaga sama sekali. Sialan. Lagi-lagi ia dijaili. Jika saja ini bukan di kantor, sudah pasti dirinya akan membalas perbuatan laknat bos paling menyebalkan itu.

Beberapa menit kemudian, Devano akhirnya berdiri setelah puas menjahili sekretaris polosnya. Bahkan ia bersikap tenang seolah tak berdosa, walau Alana menatapnya dengan tajam.

"Kayanya, Pak Dev, emang udah nggak waras ya? Waktu itu Bapak ngechat saya pake kata-kata super lebay, dan sekarang bikin saya darah tinggi. Mau Bapak, apa sih, huh?!" geram Alana.

Devano mengerutkan dahi. "Kapan saya mengirim pesan ke kamu?"

"Waktu, Pak Dev, jatuh dari kursi!"

"Mimpi. Saya tidak memegang ponsel hari itu," elak Devano.

"Oh ... jadi, Bapak, nggak percaya?! Nih saya tunjukin!"

Gadis itu mengambil ponselnya, lalu menunjukkan pesan WhatsApp tepat di depan wajah Devano. Hingga membuat pria itu terbelalak setelah membacanya.

"Apa-apaan ini?!" Devano merebut ponsel dari tangan sekretarisnya, kemudian mendengkus kesal. Sedangkan Alana tersenyum penuh kemenangan, seraya bersedekap dada.

"Kenapa? Malu ya?" ledeknya.

"Maksud kamu apa, huh?!"

"Es naga!" pekik Alana.

Seketika jantungnya seakan berhenti berdetak, saat Devano menunjukkan nama kontak di ponselnya. Sungguh, rasanya ia ingin pingsan, atau hilang ingatan saat ini juga, agar tidak kembali diomeli oleh pria menyebalkan itu.

"Maksud kamu, saya adalah perusak mood, begitu?" CEO muda itu menatap Alana tajam.

"Maaf, Pak, saya nggak tahu kenapa nama kontaknya bisa kaya gitu. Mungkin keyboardnya yang eror, serius. Liat tuh, layarnya aja retak kan. Mungkin namanya bisa ganti sendiri. Maafin HP saya ya, Pak," kilah Alana.

"Oh, saya tahu ... semalam kamu memutuskan telpon dari saya, karena kamu menganggap saya ini perusak mood, iya? Oke baiklah, mulai sekarang saya tidak akan--"

"Jangan! Kemarin HP saya lowbat, jadi nggak sempet jawab pertanyaan Bapak. Dan ini nggak ada hubungannya sama nama kontak Bapak di HP saya kok ... beneran, saya nggak bohong. Apa perlu saya jawab sekarang, soal pertanyaan Bapak tadi malam?"

Alana menatap Devano sendu, tidak ingin jika pria itu salah paham terhadapnya. Sudah cukup lima tahun lalu hubungan mereka berakhir akibat kesalahpahaman, tetapi tidak dengan masa kini. Ia akan berusaha menjelaskan apa yang harus dijelaskan, untuk menjaga hubungan baik dengan sang mantan.

Beberapa detik suasana menjadi hening, sampai akhirnya Devano menghela napas panjang, kemudian tersenyum tipis seraya mengacak akar rambut gadis di depannya. Gemas. Ya, walaupun sempat menyangka jika Alana mencoba menghindari pertanyaannya, tetapi ia mempercayai penjelasan gadis cantik itu. Untunglah, semalam dirinya tidak menghancurkan barang-barang di rumah, akibat terlalu tertekan. Sayang juga kan, jika harus membeli barang-barang baru hanya karena emosi? Begitu pikirnya.

Dan inilah yang menjadi pilihannya sekarang, yaitu memperjuangkan Alana dan akan bersaing secara sehat dengan Kiano. Ia tidak akan lagi memaksakan diri merelakan gadis yang dicintainya, atau akan menyesal dikemudian hari.

Alana mendongak, menatap Devano lekat. "Pak Dev, percaya kan sama saya?" tanyanya memastikan.

"Hm." Seperti biasa, Devano hanya menjawab dengan deheman. Tangannya masih terulur mengacak rambut Alana, diiringi tatapan teduh serta senyuman yang begitu manis.

Gadis berparas ayu itu menundukkan kepala, guna menutupi rona merah yang menyeruak di pipinya. Tersipu malu. Entah mengapa, perlakuan kecil Devano selalu mampu membuat hatinya berdesir hangat, dan jantung berdetak kencang seperti tengah menaiki loller coaster. Mungkin inilah yang dinamakan ... tunggu dulu, apakah dia kembali jatuh cinta pada Devano?

Mendongakkan wajah, menatap setiap inci wajah tampan milik Devano. Kemudian tersenyum lebar, hingga membuat pria itu ikut tersenyum.

"Ada apa?" tanya Devano.

"Apa, Bapak, mau tau jawaban saya? Saya milih Pak Dev," jawab Alana.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Pria itu terkekeh kecil, kemudian mencubit hidung Alana. Hingga si empunya mencebikkan bibir. Imut sekali. "Kenapa memilih saya?"

"Mmm ... karena Pak Dev itu laki-laki paling nyebelin, jutek, galak, tapi anehnya saya suk--"

"Al!"

Alana dan Devano langsung menoleh ke sumber suara. Keduanya terkesiap saat mendapati Kiano berdiri di ambang pintu, seraya menunjukkan senyum manis di wajahnya yang dipenuhi luka memar. CEO muda itu segera mengalihkan pandangan, kala sang sahabat berjalan menghampirinya. Tidak. Lebih tepatnya, menghampiri gadis di sampingnya.

"Al, makan siang bareng yuk, gue bawain nasi goreng kesukaan lo, loh. Soalnya, waktu itu Gavin pernah bilang, kalo lo suka masakan gue," ajak Kiano.

"Maaf, tapi aku nggak mau makan siang sama cowok brengsek, kaya kamu," tolak Alana.

"Kali ini aja, Al. Gue mohon, lo mau ya makan siang bareng sama cowok brengsek ini? Please ...."

"Tapi--"

"Gue mohon, cuma kali ini aja, hm?"

Gadis itu mendongak. Entah mengapa, hatinya langsung berdesir perih seolah tersayat belati tajam, saat melihat Devano menatap lurus ke depan seolah tidak ada niatan untuk mencegahnya pergi.

"Iya," lirihnya pelan.

"Yes!" Kiano merengkuh bahu Alana, lalu berjalan keluar dari dalam ruangan setelah sebelumnya melemparkan senyum tipis pada sang sahabat.

Perlahan tatapan datar Devano berubah setajam elang, rahangnya mengeras, napasnya memburu, dan tangannya terkepal kuat menahan rasa panas di hatinya. Bahkan Ia sampai melonggarkan dasi, yang terasa seperti mencekik leher. Membuat dada semakin sesak. Ya, dirinya marah, Alana mengiyakan ajakan Kiano. Namun, tidak bisa mengungkapkan secara terang-terangan. Ah! Ia benci situasi ini. Sangat.

•••

Bersambung ....

[Jangan lupa vote, komentar, dan krisannya 🙏]

Satu kalimat buat Devano.

Satu kalimat buat Alana.

Satu kalimat buat Kiano.

BTW, ada yang kangen sama Gavin, nggak nih? 🤧😂

Spam next sebanyak-banyaknya 😁

Setelah part ini, mungkin kalian akan bernapas lega. Eh🙊😂

Sampai jumpa di part selanjutnya 😁







Continue Reading

You'll Also Like

5.6M 58.9K 10
Banyak typo❗ Mohon di ingatkan apabila kalian menemukan typo. Aliza Adinda Azzura. Di umur yang ke 23 tahun dia sudah menyandang status janda anak 1...
1.6K 238 35
Cover by Syafara NQ "Tangan lo cantik banget, apalagi kalo cincin ini ada di jari manisnya." - Sandi Prayoga "Gak perlu pake cincin, pake make up jug...
1.8M 15.9K 24
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
290K 13K 37
Cinta memang butuh perjuangan. Tapi apa masih harus bertahan di saat perjuangan itu bahkan tak di hargai? Melody lelah. Tapi dia tak ingin menyerah...