CERITA AMIR

By Ramdan_Nahdi

217K 27.1K 1K

Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa... More

Pintu Gerbang
Teror Penunggu Pohon Kersen #1
Teror Penunggu Pohon Kersen #2
Kuntilanak Waria
Numpang Lewat
Terjerat Pinjaman Online
Jangan Kau Menabur Garam di Atas Luka
Salah Jalan - Nyasar ke Kandang Jin
Nasi Goreng Berdarah
Berteman Dengan Genderuwo
Tuyul Kiriman
Aku Yang Terbaring di Bawah Bangku Taman
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #1
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #2
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #3
Anak Kecil di Kuah Soto
Portal Gaib di Pemandian Air Panas #4
Rambut di Mangkuk Mie Ayam
Jambak Rambut Kuntilanak
Memutus Jerat Pesugihan #1
Memutus Jerat Pesugihan #2
Hantu TikTok
Memutus Jerat Pesugihan #3
Aku Hanya Ingin Sehelai Benang
Memutus Jerat Pesugihan #4
'Boneka Mampang' di Taman Rumah Sakit
Lambaian Tangan Kuntilanak di Depan Warung Makan
Memutus Jerat Pesugihan #6
Wanita di Tengah Rel Kereta
Kakek di Gerbang Pemakaman
Memutus Jerat Pesugihan #7
Apa Salah Saya?
Mati Sendirian
Sosok Hitam di Kedai Kopi
Lupa Lepas Susuk #1
Lupa Lepas Susuk #2
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #1
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #2
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #3
Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #4
Anak Tumbal Pesugihan #1
Anak Tumbal Pesugihan #2
Anak Tumbal Pesugihan #3
Anak Tumbal Pesugihan #4
Anak Kecil di Pinggir Pantai #1
Anak Kecil di Pinggir Pantai #2
Anak Kecil di Pinggir Pantai #3

Memutus Jerat Pesugihan #5

4K 540 7
By Ramdan_Nahdi


Aku masih menggenggam tiga inti sukma dukun itu. Terus berpikir langkah apa yang harus diambil.

"Jadi, bagaimana keputusanmu, Amir?" tanya Kakek.

"Sepertinya aku tidak sanggup, Kakek." Kuulurkan tangan untuk mengembalikan tiga inti sukma.

"Coba sekali lagi, kamu pandangi anak itu. Berandai-andai, bagaimana jika nasib dia sama seperti ibunya. Apakah dukun itu akan berpikir dua kali untuk mengambilnya? Semua yang dia lakukan hanya untuk uang dan keselamatannya."

"Iya juga, Kek. Tapi apa aku bisa menghancurkannya?"

"Kamu pasti bisa."

"Bagaimana caranya?"

"Tetapkan hati, membaca doa dan fokuskan energi. Lalu hancurkan dengan tangan kirimu."

"Baiklah." Aku pindahkan salah satu inti sukma itu ke tangan kiri. Kupandangi cahaya bulat bercahaya itu, lalu mulai membaca doa.

"Jangan ... jangan hancurkan. Saya akan bertaubat," ucap Dukun itu mengiba. Sukmanya masih terjebak di dalam tubuh Ilham.

"Konsentrasi, Amir. Biarkan saja dia."

Aku kuatkan genggaman. Semakin kuat rasanya semakin panas.

Dush!

Inti sukma itu hancur. Diikuti suara teriakan dari si Dukun.

"Ampun ... ampun," ucap si Dukun, ketika melihatku memindahkan inti sukma keduanya ke tangan kiriku.

"Kenapa baru sekarang?" tanyaku.

"Kemana saja kamu selama puluhan tahun?" tanyaku lagi. Dia tidak menjawab, hanya terus merengek meminta agar inti sukma itu dikembalikan.

"Apa aku harus menghancurkan semuanya, Kek?"

"Ikuti kata hatimu."

Tekadku sudah bulat. Kuremas inti sukma itu dengan kencang.

Dush!

Inti sukma kedua hancur berkeping-keping. Si Dukun kembali menjerit kesakitan.

"Tolong, jangan bunuh saya." Si Dukun memohon agar aku tidak menghancurkan inti sukma yang terakhir.

Kini, nyawa dukun itu sudah ada di ujung tanduk. Aku hanya perlu menghancurkannya, tidak lama pasti dia akan mati.

Namun ... entah kenapa tangan ini mulai bergetar. Ada perasaan tak tega. Padahal hanya tinggal satu langkah lagi untuk mengakhiri semuanya. Kutatap wajah Kakek yang daritadi tampak tenang, tanpa ekspresi.

Kuambil nafas panjang, "Kakek, sepertinya aku tidak bisa menghancurkan yang ketiga."

"Kenapa?"

"Jika aku hancurkan, maka aku akan sama dengannya."

"Bagus, sejak awal Kakek yakin kamu tidak akan mengancurkan semuanya."

"Fiuh ... saya sampe deg-degan, Mir," ucap Si Kingkong.

"Aku takut ke depannya menjadi terbiasa membunuh. Sekarang dukun itu sudah kehilangan akalnya. Tinggal menunggu takdir akan membawanya kemana."

"Kamu jauh lebih berani dibandingkan ayahmu dulu. Rasa kasian membuatnya sering membebaskan para dukun. Dia berharap mereka segera bertaubat. Nyatanya, mereka malah balas dendam dan terus-terusan menyerang. Hingga ayahmu tak kuat lagi."

"Iya, Kakek."

"Bagus, Mir." Si Kingkong mengusap rambutku.

"Lagian, inti sukma itu sudah dikunci Kakek. Jadi kamu memang tidak akan bisa menghancurkannya," sambungnya.

"Benarkah itu, Kakek?"

"Kakek hanya ingin mengujimu saja," balas Kakek sambil tersenyum.

"Sekarang semuanya sudah selesai." Kakek mulai menarik sukma si Dukun dari tubuh Ilham. Lalu, memasukan kembali sukma Ilham ke tubuhnya.

"Sekarang kamu harus lebih berhati-hati dalam melangkah. Jangan sampai kebaikan kamu malah mencelakaimu atau keluargamu," ucap Kakek lalu menghilang dengan kuda putihnya.

Tidak lama kemudian, Ilham langsung tersadar dan menangis. Perjalanannya di alam lain pasti membuatnya sangat ketakutan.

*

"Makasih, Kak," ucap Ilham yang berusaha bangun dari tidurnya.

Namun aku tak bisa membantunya. Bahkan untuk bangkit pun tak sanggup. Sepertinya energiku sudah terkuras habis. Efek pertempuran malam ini sungguh luar biasa. Tubuhku terasa pegal, panas, pusing dan lemas sekali.

"Kamu istirahat dulu aja, tiduran. Jangan ke mana-mana!" Di sisi lain, aku sedang mengatur nafas dan me-recharge energi. Setidaknya hanya untuk pulang ke rumah.

"Den ... Deni," teriakku.

"Apa, Mir?" sahutnya dari luar.

"Bantuin dong!"

"Udah boleh masuk?" balas Deni dari balik pintu.

"Iya."

Deni masuk ke dalam kamar.

"Udah kelar?"

"Liat aja sendiri." Aku menunjuk Ilham yang sedang tiduran. Deni langsung menghampiri Ilham.

"Ilham?" tanya Deni.

Ilham membuka matanya, "Iya, Kak."

"Alhamdullilah, parah tadi, Mir. Di luar juga ...."

"Stt ... nanti aja ceritanya. Mending bantu gw bangun nih. Lemes banget," selaku.

"Pantesan daritadi cuman duduk di situ doang." Deni tertawa, lalu membantuku berdiri.

Kami pun berjalan ke luar kamar. Dari balik pintu, Pak Mul dan guru pesantren sudah menunggu. Dengan cepat mereka berdua masuk ke dalam, melihat kondisi Ilham. Pak Mul langsung memeluk anak semata wayangnya itu, sambil menangis.

"Makasih ya, Dek," ucap Pak Mul terisak.

"Iya, Pak," balasku.

Guru pesantren itu melihat setiap sudut kamar, seperti orang kebingungan.

"Ada apa, Pak?" tanyaku.

"Mereka udah bener-bener pergi. Kok bisa?"

"Ya diusir, Pak," balasku singkat. Deni pun tertawa pelan mendengar ucapanku.

"Emang tadi Bapak liat apa?" sambungku.

"Bapak liat ada Macan gede warna item. Terus banyak Genderuwo di sudut-sudut kamar."

"Owh, udah saya usir, Pak." Aku melirik ke arah Si Hitam. Ternyata itu cara dia mengerjai guru itu. Pantas sejak tadi Si Kingkong terus tertawa.

"Den, balik yuk! Capek banget nih gw," bisikku.

"Ya udah, gw pamitan bentar," balasnya.

"Pak, saya sama Amir pulang dulu ya," ucap Deni.

"Gak makan atau minum dulu?"

"Gak usah, Pak," balasku.

"Makasih banyak ya, Dek." Pak Mul menghampiri dan memelukku.

*

Di luar rumah, sudah tidak seramai tadi. Hanya ada Pak RT dan beberapa warga lain.

"Sudah, Dek?" tanya Pak RT.

"Sudah," balas Deni.

"Alhamdullilah."

"Saya pulang dulu ya, Pak."

"Iya, Dek."

Deni masih menuntunku ke rumahnya.

"Tadi gw gak sengaja liat, ada kakek-kakek naek kuda putih. Itu siapa, Mir?"

"Penjaga utama."

"Baru liat gw. Jarang muncul ya?"

"Iya."

"Terus tadi gimana perang lawan tuh Dukun?"

"Aduh, lu nanya mulu. Nanti aja gw ceritain."

"Ish, kan penasaran. Soalnya tadi gw bantu jaga di sekeliling rumah. Itu aja banyak banget."

Tak terasa, kami sudah sampai di halaman depan rumah Deni.

"Lu langsung balik?" tanya Deni ketika melihatku sedang menyalakan motor.

"Iya, Den. Asli gw butuh istirahat nih."

"Yakin kuat? Lemes gitu, ntar kenapa-kenapa di jalan."

Aku berpikir sejenak. Benar juga, walaupun jarak dari sini ke rumah tidak terlalu jauh. Tetapi akan sangat bahaya harus mengendarai motor di saat kondisi seperti ini.

"Gw nginep tempat lu aja ya?"

"Siap, Bos."

*

Setelah subuh, kondisi tubuhku sudah mulai pulih. Setidaknya hanya menyisakan sedikit pegal di bagian pinggang.

"Ini, Mir. Sarapan dulu." Deni membawa dua bungkus nasi uduk. Satu untuknya, satu lagi untukku.

"Beuh, tumben."

"Kasian lah, dari semalem lu tepar, gak makan."

"Iya, aslinya laper sih, Den. Cuman bener-bener mual aja semalem." Dengan cepat kubuka bungkus nasi uduk itu. Langsung menyantapnya tanpa aba-aba.

"Mir, lu gak takut apa, kalau nanti tuh Dukun bales dendam."

"Kenapa harus takut?"

"Ya kan, kondisi orang itu gak selamanya fit. Kaya lu semalem deh, jalan aja sempoyongan, musti gw tuntun. Kalau tadi malem lu balik, terus si Dukun nyerang gimana? Bisa tamat."

"Gak akan."

"Yakin amat?"

"Beneran deh, percaya. Gak akan dia bisa bales dendam."

"Argh, curiga gw lu nyembunyiin sesuatu."

"Nanti juga lu tau kok, sabar aja."

"Tuhkan maen rahasia-rahasiaan."

Kami pun mengobrol sebentar. Sebenarnya hanya obrolan satu arah. Deni terus bercerita tentang kejadian semalam. Bagaimana dia untuk pertama kalinya itu bertarung melawan puluhan Kuntilanak.

"Padahal cuman Kuntilanak," pikirku sambil menyeruput teh hangat.

"Den gw balik dulu ya," ucapku menyela ceritanya.

"Dih buru-buru amat."

"Makasih udah dikasih penginapan plus sarapan gratis."

"Ah, biasanya juga lu begadang di sini."

Aku berjalan ke luar rumah dan menyalakan sepeda motor. Kemudian pulang ke rumah. Perjalanan pulang ini cenderung aman, tanpa ada sedikit pun gangguan.

*

Sesampainya di rumah. Ibu dan Kakak sedang ada di ruang TV, menonton berita. Aku langsung ikut bergabung, duduk di sofa.

"Mam, dulu abah pernah ke daerah *sini* gak?" tanyaku pada Ibu yang sedang menyelupkan biskuit ke dalam gelas kopi.

"Pernah, pas sebelum nikah. Abah sering ke sana, buat ngobatin temen-temennya yang kena santet gitu."

"Oh pantesan." Sejak awal aku sudah curiga kalau Dukun itu sudah mengenal Kakek. Pantas dia langsung lari ketakutan ketika Kakek datang.

"Emang kenapa?" tanya Dani, kakakku.

"Jadi gini ...." Aku menceritakan secara detail tentang kejadian semalam.

"Wuih Raksasa, segede apa?" tanya Dani.

"Segede tiang sutet samping rumah tuh."

"Keren juga ya, Si Kingkong. Kirain cuman bisa narikin buntut kucing doang. Sekarang Kakek Yamannya masih ada?"

"Udah gak ada. Emang jarang banget datang kan."

"Yah ... padahal pengen denger cerita dia pas jaga abah."

"Ngarep amat, paling ujung-ujungnya kaya Si Belang. Kalau ditanya gak tau mulu atau gak mau jawab."

"Bener juga."

*

Selang seminggu setelah kejadian. Aku mendapatkan kabar dari Deni. Katanya, Pak Mul kemarin sempat pulang kampung. Setibanya di kampung, dia mendengar berita mengejutkan.

Si Dukun yang melakukan pesugihan dengannya mendadak gila. Pak Mul sempat melihat langsung ke rumahnya. Si Dukun itu sedang bersujud, sambil teriak-teriak minta ampun.

Aku hanya tersenyum membaca pesan WhatsApp dari Deni.

"Jangan senang dulu, Amir," ucap Si Kingkong yang tiba-tiba muncul di sampingku.

"Kenapa?"

"Semua anak didiknya sudah tau perbuatanmu."


BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

349K 3.2K 18
18++ Bukan konsumsi anak2 Sekian lama menjanda, kau mendapatkan kabar jika ibumu akan menikah. Mungkin bagi sebagian anak. Ia akan bahagia. Namun tid...
61.5K 3.9K 34
Cerita ini melanjutkan dari Jingga 1 dan Jingga 2. Berawal dari tiga sahabat dan tiga mahasiswa bernama Yasa, Indra dan Evan yang menempati kostan d...
14.4K 500 90
Kumpulan "kepingan memori" random yang terkadang gaje Dpt berupa, potongan scene, oneshots, ide cerita, atau hanya sekedar quotes numpang lewat dan t...
217K 27.1K 48
Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan s...