Era Yang Mati

By TerraNovus8

8.9K 1.1K 308

Berlatar di awal dekade 2020, Era Yang Mati mengisahkan perjuangan suatu keluarga dalam pandemi yang mengaki... More

PROLOGUE
CHAPTER I: Beginning of an End
Yang Hilang Pt.1
Yang Hilang Pt.2
Worst Day of My Life Pt.1
Worst Day of My Life Pt.2
The Wildfire
All Hell Seems to Break Loose
On The Same Page
Bawa Kami
CHAPTER II: Rights to Live
Guilt
Tyrants
Uprising
Fallen Pt.1
Fallen Pt.2
Truth May Hurt Pt. 1
Truth May Hurt Pt.2
War of Rights Pt.1
War of Rights Pt.2
Death has Arrived
As Death Passes By
Pengumuman Pindah!
Chapter III: The End of Time
Penyintas
Dead End
By The Fire
14 Hari Pt.1
14 Hari Pt.2
Trauma
Malaikat Maut Pt.1
Malaikat Maut Pt.2

Repay Us

118 17 1
By TerraNovus8

Ari

Tiga jam berlalu, hujan badai menyisakan selokan yang meluber ke jalan, ranting-ranting pohon berserakan, dan berbagai macam sampah peninggalan manusia yang berterbangan diterpa angin. Kondisi Ayah dan Wisnu belum membaik dan aku tak berekspektasi mereka akan membaik hari ini, lantaran Rendi dan kedua kawannya menendangi mereka menggunakan sepatu boot. Sementara aku bersama Ibu, Sely, dan Baron sedang berada di halaman rumah, menyaksikan puluhan anggota MaMa hendak pergi.

Anggota MaMa telah melucuti amunisi kami, menyisakan satu magasin untuk setiap senjata api yang kami miliki... Sesuai pernyataan Matias. Aldi dan Arfan berhasil menyembunyikan delapan magasin pistol, anak buah Matias pun sama sekali tak menyadarinya. Untuk sementara, rasanya kami sudah mulai mengatasi sedikit demi sedikit permasalahan ini. Hingga... Matias menuntut kami untuk melakukan setoran pertama hari ini.

"Hari ini? Mana bisa..." ujar Ibu.

"Iya, memang kenapa? Tuntutan pertama saya gak begitu sulit toh?" balas Matias.

"Pak, anda tahu kan sesulit apa menemukan satu dus mie instan? Apalagi dua dus mie dan bubur instan, dalam beberapa jam pula," keluh Baron.

"Lagipula... Tenaga kita berkurang dua orang, dan ditambah dua atau tiga orang lagi buat jaga mereka waktu kita pergi. Itu juga karena ulah kalian sendiri!" omelku.

"Hey, kalian ada di situasi ini juga karena ulah kalian sendiri bukan?" balas Matias.
"Orang kalian ini rebut apa yang bukan milik kalian, renggut nyawa orang juga, ya beginilah konsekuensinya! This is how you repay us." (Beginilah cara kalian menebus kami.)

(Bunyi mesin motor menyala)

"Oh, dan tentu saja kami bakal sita kembali apa yang kalian curi," imbuh Matias

"Tunggu, kalau kalian ambil kembali belasan kaleng bir itu..."–Sely menunjuk dua orang yang mengangkut dus berisi bir–"Bisa gak, setidaknya bebaskan setoran sepuluh bir hari ini?" tawar Sely.

Matias berbisik dengan Rendi dan kedua kawannya, sementara dua anggotanya yang lain memasukan bir itu ke boks motor gede curian Ayah. Rendi tampak mengangguk, sementara Eko meninggalkan rumah ini lebih dahulu.
"Baiklah, untuk hari pertama kami bebaskan. Tapi, tuntutan saya yang lain tak bisa diubah lagi. Dua dus mie instan, dua dus bubur instan, dan empat dus minuman bersoda," tutur Matias.

"Bagaimana kalau kita gak bisa penuhin semuanya hari ini?" tanya Ibu.

"Maka penuhi semua hari ini juga. Kami tunggu paling lambat pukul enam sore, di pos Eko yang kemarin kalian datangi. Saya gak mau tahu, kalian harus datang dengan jumlah yang sesuai tuntutan. Datang dengan jumlah yang tak sesuai, saya suruh balik lagi sampai ketemu hari itu juga... Or else." Tegur Matias, dengan tatapan tajam dan jari telunjuk yang menunjuk ke arah kami.

(Bunyi beberapa mesin kendaraan dinyalakan)

"Saya akan berada di sana, menyambut setoran pertama kalian."
Lanjut Matias, seraya Rendi memberikan sebuah radio handy-talky pada Baron.

"Channel 204.5, sudah saya setel. Nyalakan radio ini pukul lima sore nanti, kami akan menghubungi kalian dari sini," kata Rendi.

"Untuk saat ini... Selamat bekerja, dan selamat bergabung bersama MaMa! Kami pulang dulu, kalian silahkan mulai mencari kapankun yang kalian mau..." ujar Matias.

"Asal jam lima nyalakan radio, dan jam enam antarkan setoran," sahut Rendi.
Mereka berdua melangkah melewati gerbang rumah, menuju kendaraannya masing-masing. Sementara itu, dua anggotanya mengendarai motor gede curian Ayah keluar dari rumah.

"Senang bekerja sama dengan kalian! Hehe." Ledek Matias, sembari menutup pintu mobil oranye yang ia tumpangi.

Blok perumahan ini diramaikan dengan suara belasan kendaraan bermotor, tatkala puluhan anggota MaMa berputar balik dan meninggalkan halaman rumah kami. Beberapa pengendara motor gede dengan sengaja menggeber-geber mesinnya saat meninggalkan kami, aku pun melayangkan jari tengah tanganku pada punggung mereka.

***

"Tok-Tok-Tok!"
Bunyi pintu kaca saat diketuk Aldi.

Aku sedang berada di sebuah toko sembako bergaya mini market, papan kayu melindungi seluruh bagian depan bangunan ini, kecuali pintu masuk yang telah terbuka. Bersamaku saat ini ialah Aldi, dan Dinda. Sementara Ibu dan Sely menetap di rumah untuk berjaga, sisanya pergi dan mencari setoran di tempat lain.

"Udah jelas dibobol orang lain, tetep mau kita cek?" tanya Aldi.

"Gak ada salahnya coba periksa dulu, kan? Lagian, biasanya juga kan ada beberapa makanan yang tersisa di gudang..." balasku.

"Gak ada recs yang muncul nih, masuk ya?" ujar Dinda.

Aku mengangguk lalu membalas,
"Hati-hati aja. Mayat pocong yang di rumah sebelumnya juga baru nongol pas kita udah masuk lumayan lama di rumahnya."
Kami melangkah masuk toko secara bergantian.

"Parah, ludes semua begini," kata Aldi.

"Emang semua toko begini... Lo gak pernah ikut cari bahan makanan si Di," balas Dinda.

"Ya, kan gue kebagian jaga tempat kita mulu biasanya," elak Aldi.

"Oh iya ya? Lo kebagian jaga mulu, atau emang lo yang mau?" ejekku.

"Dia yang mau, tau. Mageran banget sih orangnya, padahal buat asah kesiapan hidup di dunia begini," ujar Dinda.

"Kan sepuluh hari pertama udah mengasah banget, tuh... Istirahat dulu dikit gak apa-apa kali. Lagian kan sejak di rumah yang sekarang, gue ikut cari makan tiap hari," bela Aldi.

"Eh, fair enough." (Cukup adil.) balas Dinda.

"Ada mayat nih!" Seru Aldi saat memeriksa kasir.

Aku dan Dinda menghampirinya. Sesosok mayat lelaki tergeletak di balik kasir, kepalanya remuk ditimpa laci kasir yang terbuat dari besi, darah hitam yang telah mengering menodai lantai di sekitarnya.
"That explains why he didn't wake up and answer our call," (Itu menjelaskan kenapa dia gak bangun dan menjawab panggilanku,) celoteh Aldi.

"What do you think happened?" (Menurutmu apa yang terjadi?) tanya Dinda.

"Mau coba curi sesuatu dari balik kasir, tapi dibunuh sama pemiliknya?" tebakku.

"Atau dia justru pemiliknya?" sahut Aldi.

"Doesn't really matter tho," (Gak penting sih,) ujarku.
"Yang penting itu,"–Jariku menunjuk pintu kayu di sebelah kasir–"Udah pasti gudangnya. Tapi kayaknya kekunci, ya?"

Dinda mendekat ke pintu tersebut, dan aku mengikuti di belakangnya. Ia menatap aku dan Aldi terlebih dahulu sebelum menekan gagang pintu, tangan kananku telah siap mengayungkan pisau, begitupula dengan Aldi.

"Krk."

"Yah, bener kekunci ini sih," kata Dinda.

"Lo bisa dobrak pintu gak?" tanya Aldi.

"I'll try." (Aku coba.) Balasku, lalu memposisikan diri di depan pintu dan memasang kuda-kuda.

***

"Kamu bisa dobrak pintu gak?" tanyanya.

"Gak tau... Tapi aku coba deh," balasku.

"Aduh, bapak kostnya masih di mana lagi!" keluh Dania.

"Ditelepon aja coba," saranku.

"Ini udah, gak nyambung-nyambung. Padahal baru aja tadi bales lagi jalan ke sini," katanya.

"Yaudah, dobrak aja ya?" tanyaku.

Dania menatapku lalu menganggukan kepalanya, aku melihat ketakutan yang tak pernah ku jumpai dari wajahnya saat ia meresponku. Aku pun memposisikan diri dan memasang kuda-kuda, sebelum kaki kanan ini ku terbangkan ke depan.

"Brak!"

"Indri! Ya ampun, Driiii!" Jerit Dania, tatkala ia mengintip dari lubang pada pintu akibat tendanganku. Tangannya menjalar masuk, berusaha meraih kunci dan gagang pintu dari bagian dalam.

"Ri?" panggil Aldi.
Aku menoleh padanya, ia berdiri di sebelah kananku sementara Dinda di kiri.

"Bisa kan? Lo udah diem di posisi gitu hampir semenit," tanyanya.

"Emang lo itungin?" tanyaku.

"Gak sih, tapi tadi jam gue baru berubah 12:48 terus sekarang udah empat sembilan lagi," terangnya.

Aku kembali memandang pintu di hadapanku, lalu menarik nafas.

"Brak!"
"Dug."
Pintu yang terdorong ke dalam menubruk sesuatu.

Sesosok recs tiba-tiba menerkamku, menghilangkan keseimbangan.
"Errgh, errg."
Erang sang mayat wanita, seraya wajahnya menempel di leherku.

"Ari!"

"No, no!"
Ucap Aldi yang segera menarik pundak recs ini, sementara Dinda menjambak rambut panjangnya.

Aku mendengar erangan recs lain dari dalam ruangan yang kami buka, mata Aldi dan Dinda pun menyorot ke ruangan itu.
"Eerrgh!"

"Gue bisa, Di!" ujar Dinda.

Aldi pun melepas genggamannya dari mayat wanita yang menimpaku, lalu mengalihkan perhatiannya pada recs lain di ruangan.

"Krak!"
Bunyi bilah pisau yang menembus kepala recs.

"Aagh! Get her off me, fuck!" (Singkirkan dia, bangsat!) Makiku, setelah Dinda menikam kepala recs yang menempel dengan kepalaku.

Tubuh mayat ini segera tersingkirkan, dengan bantuan Dinda yang ikut menarik tubuhnya. Darah hitam berceceran dari kepalanya, dan mengotori sekujur tubuh bagian kiriku.

Aku segera bangun, dan mendapati sesosok mayat yang telah dimatikan Aldi. Saat ini, ia tengah menahan leher sesosok recs wanita lain, sementara beberapa recs tampak berkerumun dan berusaha keluar dari ruangan itu secara bersamaan.

Aku menghampiri Aldi, lalu melambungkan pisau hitamku ke arah kepala recs yang ia tahan.
"Krak!"
Bilah pisauku menembus kepala recs, tangan kiriku lalu menahan tubuhnya yang tak berdaya.

"Minggir, minggir Di jangan di depan pintu! Gue yang tahan," perintahku.
Aldi melepaskan tangannya dari leher recs yang telah ku tikam, seraya ia menggeser tubuhnya ke samping.

"Gedebug!"
Aku pun menyingkirkan tanganku dari dada recs itu. Tubuhnya terjatuh ke depan dan kepalanya menghantam lantai dengan keras, karena beberapa recs lain di belakangnya yang tak henti mendorong.

"Abisin mereka!" Kata Aldi, sambil mengayung tangannya yang menggenggam pisau ke kepala salah satu recs.

Aku dan Dinda pun menikam satu demi satu recs yang melangkahi pintu ruangan itu. Beberapa dari recs yang keluar tubuhnya hanya setengah sampai tigaperempat tinggi tubuhku, mereka adalah mayat-mayat anak kecil. Kami berhasil mengatasi mereka yang berjumlah delapan recs yang keluar dari sana, dan salah tiganya adalah anak-anak.

"Lo gak apa-apa, Ri?" tanya Aldi.

Aku meraba-raba leher dan pipi sebelah kiriku, dan tak menemukan gigitan. Apa yang terjadi pada mayat-mayat di hadapan kami, mungkin telah menyelamatkan nyawaku.

"Gak apa-apa... Untung mulutnya dilakban tebel semua sial," balasku.

"It's an entire family..." (Ini mereka sekeluarga...) ujar Dinda.

"Iya anjir. Terus, lihat tangan mereka,"–Aldi menunjuk ke bawah–"Semuanya rusak di pergelangan," katanya.

Aku turut mengamati delapan mayat yang baru saja menyerang kami, dan semuanya memiliki kondisi yang sama. Lakban hitam melilit mulut mereka, kulit pada pergelangan hingga telapak kedua tangan terkelupas, bahkan sebagian ada yang kehilangan jemari tangannya.

"Diiket tuh mereka,"–Aku menunjuk ke rak-rak besi di dalam ruangan itu–"Pake kawat pula..." ujarku.

"Oh iya... Ya ampun, sampe darahnya nempel di kawat gitu," kata Dinda.

"Ugh, gue harap mereka nyoba lepasin tangan dari iketannya bukan pas masih hidup..." celoteh Aldi.

"Gak lebih baik juga sih tapi. Gak ada luka berat di tubuh mereka loh, berarti mereka diiket di sana hidup-hidup, dan mati kelaparan," duga Dinda.

"Atau kehabisan udara." Tebakku, sambil melangkah masuk ke dalam ruangan.
"Gak ada ventilasi udaranya ini... Ruangan cuma sekitar empat kali tiga meter, diisi delapan orang, kondisi cuaca panas terus, dan udara cuma bisa masuk dari lubang kecil di plafon sama celah pintu," tuturku.

"Astaga, mati perlahan dan gak enak ya berarti." Kata Aldi sambil ikut masuk, dan mulai memeriksa seisi ruangan kecil ini.

"Jadi... Kayaknya bener kata Ari. Ada sekelompok orang yang mau menjarah, dan mereka ini keluarga pemilik toko yang pengen ngejaga barang-barang mereka," kata Dinda.

"Dan mereka mempertahankan diri, tapi kalah..." sambungku.

"Jahat banget sih... Kayak, apa gak cukup ngejarah mereka? Kan bisa ditinggal hidup bebas aja, kenapa harus dikurung begini? Apa lagi udah ada satu yang dibunuh di kasir," keluh Dinda.

"Orang kalo udah panik kan hampir mirip binatang, Din. Suka gak mau disamain sama simpanse, tapi when shit hits the fan keliatan juga kan kebuasannya," (Ketika hal buruk terjadi,) tuturku.

"Gak begitu terkejut sih gue. Gak ada pandemi dua jilid, dan wabah mayat hidup aja orang kita udah barbarik," ujar Aldi.
"Tapi, yang bikin gue terkejut...."

"Penjarah nyapu bersih seisi toko dan ngurung pemiliknya, tapi ninggalin dus-dus ini yang masih berisi?" potongku.

"For real?" (Beneran?) tanya Dinda.

"Iyap! Hahaha, hoki banget gile!" Sorak Aldi, sambil memegang serenceng permen jelly yang diambil dari salah satu dus.

"Oh tunggu dulu... Ini... Dus terakhir." Ujarku, lalu membuka selotip yang merekat pada tutupnya.

"Yah... Sial kan," celoteh Dinda.
Dia berdiri di sebelahku saat aku membuka dus terakhir yang belum diperiksa, dan isinya rupanya botol air putih kemasan.

"Berarti, kita kurang satu boks bubur, sama dua mie?" tanya Aldi.

"Ampun deh, kenapa mereka gak minta beras aja ya? Kayaknya beras lebih gampang dicari daripada beginian," keluh Dinda.

"Sumber daya manusia mereka banyak, dan mereka udah di sini lebih dulu dari kita. Pasti beras gitu mah udah kekumpul gak sih?" ujarku.

"Terus ini bubur cuma karena pengen aja gitu?" kata Aldi.

"Bisa aja buat distok sih. Mereka kelihatannya terorganisir banget, pasti punya kayak rencana cadangan gitu, ya kan?"

"Iya... Yaudah lah ya, kita bawa yang ada aja dulu," balasku.

"Iya deh, gak apa-apa," balas Dinda.

"Semoga yang lain ketemu yang kita gak temuin..." harap Aldi.

"Semoga... Hey, seenggaknya minuman soda kita surplus dua dus nih. Lumayan buat kita sendiri sisanya." Tutur Dinda, sembari membuka satu botol soda dari salah satu dus minuman karbonasi.

"Hmm... Gue lebih pilih air mineral ini sih. Minum soda gak dingin begitu yang ada tambah haus tau," terangku.

"Apa fungsinya kulkas kalau dibiarkan saja?" Ejek Aldi, lalu meminta botol yang baru diteguk Dinda.

"Ye, ye, ye. Bantu muat ke mobil sekarang deh yuk, sebelom tenggorokan lo pada seret," pintaku.

Kami lalu memindahkan satu demi satu, sembilan dus berisi makanan instan, snack, dan minuman ke dalam mobil. Rasa iba timbul di hatiku saat melangkah keluar dari toko...
"Apakah di dunia yang telah berubah, keberuntungan bagi seseorang selalu merupakan petaka bagi orang lain?" pikirku.

***

(Bunyi sirine berputar)

"Tahan Dri, tahan! Kita udah sampe di rumah sakit ini... Tahan dikit lagi lo udah di IGD Dri!" Ujar Dania, sambil menggoyang-goyangkan pipi Indri yang berbaring di atas ranjang lipat. Sementara pengemudi ambulans yang kami tumpangi dan tenaga kesehatan membuka pintu belakang.

"Waduh, darahnya mengalir terus ini." Kata pengemudi, sambil menarik keluar ranjang lipat dari dalam ambulans.

Dania segera menyusul Indri, menyaksikan kawannya memucat dan tak bergerak sama sekali. Akupun ikut memucat dan tak bergerak, untuk beberapa saat tak bisa mengangkat tubuhku keluar dari mobil.

"Ari! Ayo turun!" Panggil Dania dari balik kaca samping mobil, menatap tepat ke dua mataku.

"Ri!"

"Ha?"

"Lo yakin siap buat jalan lagi?" Tanya Baron yang mengemudi mobil.

"Emang kenapa? Gas aja," jawabku.

"Alright, tapi jangan bengong melulu." Ujar Baron, lalu menggeser posisi gigi mobil.

"Kenapa, Ri?" tanya Sely.

"Tadi pas jarah mini market juga dia begitu..." adu Aldi.
Dia dan Sely duduk di belakang, kami menggunakan mobil kapsul untuk mencari sisa setoran yang belum terpenuhi.

"Kalo mau istirahat, gak apa-apa kita bertiga aja Ri... Mumpung masih di komplek nih." Kata Baron, sambil tetap memacu mobil.

"Iya, we can handle it. Lagipula, tinggal cari satu boks mie doang di warung-warung biasa juga..." ujar Aldi.

"Gak apa-apa, santai. Cuma lagi suka tiba-tiba keinget sama masa lalu aja, hehe..." balasku.

"Kriit!"

"Anjir." Ucap Baron, kala ia menginjak pedal rem.

"Mau apa lagi mereka?" kata Sely.

"Gak tau dah, kan jam lima sore aja belum?" sahutku.
Kami hampir bertabrakan dengan tiga mobil MaMa yang tiba-tiba berpapasan dengan kami di belokan.

Continue Reading

You'll Also Like

7.2K 703 18
Raja Fandricko yang meninggal akibat diracuni oleh ratunya sendiri, tiba-tiba saja jiwanya terlempar ke zaman modern, dan terbangun dalam tubuh seora...
1.9M 213K 74
Berawal dari ayahku yang memasukkan ku ke sekolah khusus yang mengajarkan murid nya untuk menjadi seorang agent. Mendapatkan misi pertamaku yang ter...
25.5K 1K 23
Tentang anak berandalan yang di jodohkan dengan CEO yang sangat amat terkenal di kota nya. Ini tentang MARKNO ‼️ Jangan salah lapak‼️ BXB‼️ BL‼️ ga s...
334K 17.6K 38
"maafkan aku Violetta" Tentang Damian yang begitu menyesal atas segalanya yang dia lakukan kepada istrinya. Menyesal telah mengabaikannya, menyesal...