I SHALL EMBRACE YOU

By Toelisan

21.8K 1.7K 91

[FOLLOW SEBELUM BACA] "Kita itu cuma dua orang yang saling kenal terus tinggal satu atap." ucap gadis itu. ... More

ISEY || CHAPTER SATU
ISEY || CHAPTER DUA
ISEY || CHAPTER TIGA
ISEY || CHAPTER EMPAT
ISEY || CHAPTER LIMA
ISEY || CHAPTER ENAM
ISEY || CHAPTER TUJUH
ISEY || CHAPTER DELAPAN
ISEY || CHAPTER SEMBILAN
ISEY || CHAPTER SEPULUH
ISEY || CHAPTER SEBELAS
ISEY || CHAPTER DUA BELAS
ISEY || CHAPTER TIGA BELAS
ISEY || CHAPTER EMPAT BELAS
ISEY || CHAPTER LIMA BELAS
ISEY || CHAPTER ENAM BELAS
ISEY || CHAPTER TUJUH BELAS
ISEY || CHAPTER DELAPAN BELAS
ISEY || CHAPTER SEMBILAN BELAS
ISEY || CHAPTER DUA PULUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER DUA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DELAPAN
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SEMBILAN
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN

ISEY || CHAPTER DUA PULUH SATU

457 41 0
By Toelisan

[I Shall Embrace You]

-

-

Hai jangan bosan ya...

Happy reading~

-

-

-

Setelah sarapan, Cia kembali ke kamar untuk mengecek keadaan Vian. Pasalnya saat Cia sarapan, laki-laki itu masih tidur. Cia membuka pintu kamar. Ia melihat Vian yang sudah bangun tetapi masih setia bergelung di dalam selimut.

Cia mendekat, berniat mengecek suhu tubuh Vian. Gadis itu menempelkan telapak tanganya pada dahi laki-laki itu. Sudah mendingan, tidak sepanas kemarin.

"Mau aku bawain sarapan ke sini?" Cia memberi penawaran.

"Nggak usah. Aku sarapan di bawah aja."

"Mau mandi? Aku siapin air hangat, ya?" tanya Cia.

Vian bangkit dari tidurnya. Ia menatap Cia sekilas lalu membuang muka.

"Tumben," ujar Vian.

Cia mengerinyit tidak paham. Ia abaikan ucapan Vian dan memilih berlalu ke kamar mandi. Setelah selesai ia kembali menghampiri Vian.

"Airnya udah siap. Aku tunggu di bawah," ucap Cia yang hanya mendapat anggukan lesu dari Vian.

Cia menunggu beberapa saat hingga akhirnya Vian menghampirinya di meja makan. Cia tersenyum ke arah Vian. Laki-laki itu terlihat lebih segar dibandingkan kemarin. Vian segera duduk sedangkan Cia mulai menyiapkan makanan untuk Vian.

"Mama sama Papa mana?" tanya Vian ketika ia menyadari kalau kedua orang tuanya itu tidak ada.

"Ada, di belakang."

Vian mengangguk-anggukkan kepalanya. Laki-laki itu mulai menyantap makanan yang sudah tersaji di hadapannya.

"Kamu nggak sarapan?" tanya Vian.

"Aku udah bareng Mama sama Papa tadi."

"Ranti jadi kesini?" tanya Vian.

Cia mengangguk sembari membalas beberapa pesan yang masuk di ponselnya.

"Gimana sayang? Udah mendingan?" tanya Ratna saat ia menapakkan kakinya masuk dari pintu belakang.

Sontak Cia dan Vian menoleh ke arah Ratna yang sudah lebih dulu berjalan ke arah mereka.

"Udah, Ma."

Ratna mengangguk. "Hari ini Mama sama Papa mau ke rumah Tante Mila," ucap Ratna.

"Ada acara apa, Ma?" tanya Vian.

"Itu lho. Dena lamaran hari ini." Vian hanya mengangguk saja.

"Yaudah. Mama sama Papa mau siap-siap dulu," ujar Ratna berjalan ke arah kamar.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara Cia dan Vian. Vian menenggak habis minumannya. Cia tersenyum saat mengetahui kalau Vian menghabiskan sarapannya pagi ini.

Tokk ... tokk ... tokk.

Seseorang mengetuk pintu dari luar. Vian menatap Cia yang masih nampak acuh dengan ketukan itu. Hingga akhirnya gadis itu sadar kalau dirinya ditatap.

"Siapa sih pagi-pagi udah bertamu?" tanya Cia bergumam.

Cia bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah pintu utama. Ia mengintip sebentar dari balik jendela. Setelah itu ia menghela nafas lalu membukakan pintu.

"Kepagian," ujar Cia pada gadis yang sudah menunggu di depan pintu.

"Pagi apanya? Udah jam sebelas kali. Bentar lagi juga udah jam makan siang." sewot Ranti menanggapi.

"Siapa, Cia?" tanya Ratna dari dalam.

Cia berbalik menatap mertuanya itu. "Itu...Ma. Temen Cia."

"Oh ya? Disuruh masuk dong, sayang," ujar Ratna setelah itu.

"Disuruh masuk dong, sayang." Ranti mengejek Cia dengan memberi penekanan pada kata 'sayang'.

Cia kembali menatap Ranti. Gadis itu tersenyum penuh arti padanya. "Masuk," ujar Cia yang mendapat kekehan pelan dari Ranti.

"Nih," ucap Ranti sembari menyodorkan paper bag pada Cia.

"Apa nih? Tumben." Cia meraih paper bag itu. Lalu meletakkannya di dekat meja makan.

"Sayang. Mama sama Papa pergi dulu, ya," pamit Ratna pada Cia.

"Iya, Ma." Cia meraih tangan Ratna dan Fery lalu menciumnya.

"Temen kamu siapa namanya?" tanya Fery.

Ranti tersenyum lalu mendekat. "Ranti, Om." Ia menjabat tangan Fery dan Ratna guna memperkenalkan diri.

Ratna hanya mengangguk lantas tersenyum.

"Vian tadi mana?" tanya Ratna.

"Mungkin udah ke kamar, Ma," jawab Cia asal.

"Yaudah kalau gitu. Mama pergi dulu ya," pamit Ratna lalu berjalan keluar rumah.

-

-

-

"Hahaha...seriusan kamu?" tanya Ranti setelah mendengar cerita Cia. Gadis itu mengangguk tidak suka. Sangat menyebalkan mendengar gelak tawa dari mulut Ranti hari ini.

"Ketawanya bisa ditahan dikit nggak sih?" tanya Cia sebal.

"Nggak bisa. Habisnya lucu, ya ampun. Hahahaha...." Ranti masih tertawa terpingkal-pingkal. Cia menghela nafas namun tatapannya tertuju pada pintu kamar di lantai dua. Kamar Vian.

Gadis itu takut kalau tawa Ranti yang nyaring ini akan mengganggu Vian yang sangat sensitif.

"Aku bilang juga apa, ada di sana ketat banget. Bandel sih dibilangin," ucap Ranti menyalahkan Cia. Gadis itu mencoba menahan tawanya. Membuat pipinya mengembung lucu.

"Kamu pikir aku mau kayak gini?" tanya Cia yang masih menatap sebal ke arah Ranti.

"Lah kenapa enggak? Nikahnya juga bareng Vian, kan?" tanya Ranti masih disertai tawa.

"Kalau aku jadi kamu sih, mau ceritanya kayak gimana pun, asal nikahnya bareng Vian, yaa...aku mau-mau aja." Ranti mencoba meraih makanan ringan yang tersaji di hadapannya.

"Kamu nggak tahu aja Vian aslinya kayak gimana," ucap Cia sambil menyeruput jus mangga.

"Emangnya Vian aslinya kayak gimana?" tanya Ranti penasaran. Cia membuang muka ke samping lalu menghela nafas.

"Kamu sendiri gimana? Kenapa bisa jadian sama Dimas?" tanya Cia mengalihkan. Meski ia sudah tahu jika Dimas menyukai sahabatnya ini.

Ranti nampak berpikir. "Nggak tahu juga kenapa bisa jadian sama Dimas. Karena awalnya, aku pikir dia sukanya ke kamu," jelas Ranti.

"Aku?" tanya Cia sembari melotot. Ranti mengangguk.

"Habisnya dia kayak ngedeketin kamu gitu."

"Itu karena dia nanya-nanya tentang kamu ke aku," ujar Cia.

"Lho...kamu tahu dia suka sama aku?" tanya Ranti heran.

Cia mengangguk.

"Kenapa nggak bilang sih?!" sebal Ranti sambil memukul lengan Cia. Cia yang dipukul ikut terdorong ke samping karena tidak mengantisipasi pukulan dari Ranti. Setelah itu ia mengaduh meski tidak sakit.

"Dia yang larang. Katanya kamu nggak boleh tahu dari siapa pun. Harus dari dia langsung."

Ranti terdiam.

"Kenapa?" tanya Cia yang melihat Ranti mendadak diam.

"Padahal aku nerima Dimas biar bisa deket sama Vian. Secara mereka 'kan sahabatan," jelas Ranti.

Cia melotot tidak percaya.

"Ran, awas ya kalau kamu nyakitin Dimas. Dia cowok baik-baik." Cia menatap Ranti memberi peringatan.

"Aku tahu. Makanya aku ngerasa bersalah sama Dimas." wajah Ranti merubah lesu.

"Kamu nggak beneran suka 'kan sama Vian?" tanya Cia memastikan.

Ranti memalingkan wajah menatap Cia. Ia mengamati wajah sahabatnya itu lantas tertawa. Cia mengerutkan kening tanda tak paham.

"Takut banget ya, kalau aku beneran suka sama Vian?" tanya Ranti yang membuat Cia semakin tidak paham.

"Ya...enggaklah. Gila suka sama suami sahabat sendiri. Kamu kan tahu aku cuma kagum aja sama Vian."

Hening beberapa saat.

"Lagian aku juga nggak ada niat buat nyakitin Dimas. Bener kata kamu, Dimas itu spek laki-laki langka. Pacar able." Ranti menatap Cia dengan binar di matanya.

"Kamu beruntung bisa dapetin cowok kayak Dimas," ujar Cia sembari menghayalkan sesuatu.

"Kamu juga beruntung dapetin suami kayak Vian," sambar Ranti tepat ketika Cia menyelesaikan kalimatnya.

"Oh iya, udah berapa lama nikah sama Vian?" tanya Ranti penasaran dengan hubungan Ci dan Vian.

Matanya Cia berkeliaran guna mengingat sesuatu. "Minggu depan udah empat bulan," jawab Cia.

"What?! Udah empat bulan aja? Dan selama itu kalian nyembunyiin hubungan kalian?" tanya Ranti tidak percaya.

Cia hanya mengangguk malas.

"Empat bulan nikah, udah ngapain aja sama Vian?" tanya Ranti jahil sembari menaik-turunkan kedua alisnya.

"Apa sih Ran. Jangan mikirin yang jorok-jorok ih," sanggah Cia.

"Lho...emangnya ada yang salah sama pertanyaan aku? Kamu kan bisa jawab pergi makan malam, bantu dia ngitungin beras di dapur, nemenin dia kemana gitu. Kamu itu yang jorok!" ujar Ranti.

Cia menghela nafas. "Iya...iya...aku yang salah udah mikir yang jorok-jorok. Puas?" tanya Cia sebal.

"Trus Alvin gimana, Ci? Dia udah tahu?" tanya Ranti akhirnya.

Cia menghela nafas lesu. "Aku takut ngasih tahu Alvin. Aku belum siap kehilangan dia," ujar Cia menatap Ranti dengan tatapan memelas.

"Tapi gimana pun, Alvin harus tahu, Ci. Trus kalau kamu nggak ngasih tahu Alvin, kamu pikir dia bakalan jadi milik kamu? Enggak juga kan. Kamu udah punya Vian, dan nggak mungkin kamu ninggalin status yang udah pasti demi yang enggak."

"Ibaratnya ni ya, kalau pun kamu milih buat mempertahanin Alvin, nggak ada jaminannya juga dia bakal mempertahanin kamu balik. Aku nggak ngedoain kalian buat putus. Tapi status kamu sama Alvin nggak sekuat status kamu sama Vian."

Cia menatap kosong ke ujung kakinya.

"Perasaan kamu ke Vian gimana?" tanya Ranti.

"Jangan nanya yang aneh-aneh deh, Ran." tegur Cia mulai Malas meladeni sahabatnya itu.

"Udah empat bulan tinggal bareng, masa nggak ada apa-apa," ucap Ranti tidak percaya.

Cia memilih memalingkan wajahnya. Agaknya gadis itu terlalu malas menjawab ucapan Ranti. Ponsel Ranti bergetar. Nama Dimas tertera di layarnya.

"Halo Dim," ujar Ranti.

"Kamu udah di depan? Yaudah aku keluar sekarang." Ranti memutuskan sambungan telepon.

"Cie...sekarang udah ada yang jemput." Cia melirik Ranti dari ekor matanya.

Ranti hanya terkekeh saja menanggapi ucapan dari sahabatnya itu.

"Kalau gitu aku pulang dulu, ya."

Cia mengangguk lalu ikut bangkit mengantar Ranti ke depan rumah. Laki-laki dengan jaket kulit hitam itu sudah menunggu di depan rumahnya.

"Dari tadi, Dim? Nggak masuk dulu?" tanya Cia basa-basi.

"Nggak deh. Takut nganggu. Si batu 'kan lagi sakit," jawab Dimas sembari tersenyum.

"Vian sakit?" tanya Ranti kaget. Cia mengangguk.

"Pantesan nggak kelihatan batang hidungnya. Yaudah aku pulang dulu," pamit Ranti sembari memeluk Cia.

"Hati-hati," ujar Cia.

Cia kembali masuk saat motor yang ditunggangi Dimas melesat pergi, menjauh dari kediaman Vian. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju kamar. Memastikan keadaan Vian. Sebab sejak Ranti di sini laki-laki itu seolah mengurung diri di kamar.

"Udah pulang?" tanya Vian saat Cia membuka pintu kamar.

"Udah," jawabnya.

"Ngapain aja? Lama banget." protes Vian.

"Lama? Nggak kok. Sekarang masih jam...." ucapan Cia terhenti saat matanya menatapa jam yang terpatri di dinding kamar.

"Jam empat." Vian memperjelas.

Cia terkekeh merasa bersalah lalu berjalan menghampiri Vian yang duduk bersandar di tempat tidur. "Maaf," ucap Cia.

"Mau makan lagi?" tawar Cia.

"Nanti aja."

Tokk ... tokk ... tok.

Suara ketukan pintu terdengar hingga ke kamar. Membuat Cia dan Vian saling bertatapan.

"Siapa?" tanya Vian spontan.

Cia mengangkat kedua bahunya. "Mungkin Mama," jawab Cia asal.

"Aku turun dulu," ujar Cia lalu segera pergi menuju pintu utama.

Cia membukakan pintu. Ia melihat seorang gadis yang berdiri membelakangi pintu.

"Ya?" ucap Cia hati-hati.

Gadis itu berbalik menatap Cia. Nampak kaget melihat kehadiran Cia namun beberapa detik setelahnya ia nampak santai.

Gadis berambut panjang itu tersenyum ke arah Cia.

"Siapa, ya?" tanya Cia.

Gadis itu kembali tersenyum. Wajahnya yang anggun membuat Cia terkesima.

"Aku Dila," ucapnya memperkenalkan diri.

Cia mematung di tempat kala mendengar nama itu. Dila? Jadi ini pacar Vian? Ya Tuhan, secantik ini? Seketika Cia merasa rendah diri. Tidak mampu bersanding dengan gadis bernama Dila ini.

"Kamu Cia, ya?" tanya Dila dengan senyum manis miliknya.

Cia tersentak dari lamunannya. Ia mengejap beberapa kali hingga akhirnya menjawab, "Iya."

"Vian ada?" tanya Dila ramah.

"Ada kok. Masuk aja," jawab Cia semakin membukakan pintu. Memberi akses untuk gadis bernama Dila itu masuk. Gadis itu nampak menyusuri setiap sudut rumah dengan matanya. Seakan mencari keberadaan Vian.

"Vian ada di kamar. Dia lagi sakit. Mau aku panggilin?" tanya Cia.

Gadis itu tersenyum. "Aku tahu kok. Nggak usah dipanggilin, biar aku yang ke sana."

Gadis itu melangkah anggun menaiki tangga. Sedangkan Cia masih mematung di tempat. Dari sikap Dila, Cia bisa tahu jika jauh sebelum kedatangannya ke rumah ini. Gadis bernama Dila itu jauh lebih leluasa dengan rumah ini.

"Siapa, Cia?" tanya Vian saat pintu terbuka. Namun, bukan Cia yang datang melainkan gadis lain yang sangat familiar bagi Vian.

"Kapan balik?" tanya Vian saat gadis itu tersenyum melangkah masuk ke dalam kamar. Vian memperbaiki posisi duduknya agar terlihat lebih tegap.

"Baru tadi pagi."

Vian hanya mengangguk saja.

"Aku bawain makanan kesukaan, Kak Vian." Dila menyerahkan paper bag cokelat itu pada Vian. Laki-laki itu tersenyum lalu mengintip isinya.

"Kak Vian udah makan atau belum? Mau makan sekarang?" tanya Dila lembut.

"Boleh," jawab Vian.

Dila menatap Cia yang ikut masuk ke dalam kamar. "Cia ada mangkuk nggak? Kak Vian mau makan soalnya."

Cia menatap Vian yang juga menatapnya. Gadis itu memaksakan senyumnya. 'Kak Vian?' Heh! Sialan! Gadis itu bahkan tidak memanggilnya dengan embel-embel 'kak' di depan namanya. Bukankah Cia lebih tua darinya? Dasar tidak sopan!

"Bentar ya, aku ambilin."

Dila mengangguk lalu fokusnya kembali pada Vian.

"Cia tahu soal kita?" tanya Dila.

"Cia tahu kita sahabatan. Cuma itu." Vian berbohong, ia menatap Dila. Gadis itu menghela nafas lantas tersenyum.

"Berarti Kak Vian nggak cerita semuanya ke dia? Dia kan istri Kakak," ujar Dila.

"Buat apa? Dia juga nggak nanya. Dan aku juga nggak ingin dia tahu masalah kita."

Dila kembali tersenyum. Langkah kaki mengusik keheningan diantara mereka. Gadis berpostur mungil itu masuk membawa mangkuk serta sebuah sendok. Ia memberikan mangkuk itu pada Dila.

"Makasih, Cia," ucap Dila menerima mangkuk itu dari Cia. Cia mengangguk lalu memilih duduk agak jauh dari Vian. Seolah ingin memberi ruang untuk Vian dan Dila. Namun juga tidak rela kalau membiarkan mereka berduaan di sana.

"Aku suapin, ya?" tawar Dila lalu menyuapi Vian. Laki-laki itu tidak menolak, ia membuka mulutnya. Membiarkan Dila menyuapinya. Cia melotot melihat hal itu. Pasalnya Vian menolak saat ia menawarkan diri untuk menyuapi laki-laki itu. Tapi...Vian malah menerima saja saat disuapi oleh Dila.

"Cepat sembuh, ya." Dila menggenggam tangan Vian.

Cia berdeham pelan saat menyaksikan hal itu. Namun, agaknya mereka tidak terusik dengan keberadaan Cia di dekat mereka.

Cia juga tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Hatinya terasa dicubit saat melihat Vian lebih leluasa dengan gadis lain. Cemburu? Entahlah. Anggap saja begitu.

Cia memilih bangkit dari duduknya lalu melenggang keluar kamar. Namun suara Vian menghentikan langkahnya.

"Mau kemana?" tanya Vian tanpa merasa berdosa.

"Mau ke bawah. Minum. Haus," jawab Cia ketus. Vian hanya mengangguk berpura-pura tidak peka. Padahal dalam hatinya ia tersenyum melihat Cia yang cemburu pada Dila.

Cia menghempaskan tubuhnya pada sofa. Terjebak diantara dua sejoli yang sedang berpacaran itu sungguh tidak enak. Ingin rasanya ia membawa Alvin ke rumah ini lalu memamerkan pada Vian betapa mesranya mereka berdua.

Kalau dipikir-pikir, Dila sangat cantik. Jauh sekali perbedaan gadis itu dengannya. Pantas saja Vian betah berlama-lama di rumah Dila saat gadis itu sendirian. Cia menghela nafas jengah.

Ia memeriksa pesan masuk. Sudah tiga hari ini ia tidak menerima pesan dari Alvin. Kemana laki-laki itu?

Kemudian Cia mencari kontak Alvin lalu menelponnya. Hanya suara operator saja yang terdengar. Cia kembali menghela nafas jengah. Apa yang harus ia lakukan?

Ia merasa sangat bosan hingga rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia memejamkan mata, setelahnya hanya gelap dan damai.

-

-

-

Cia mengerinyit saat merasa tenggorokannya begitu kering. Ia membuka matanya lalu bangkit dari tidurnya. Ia merasakan pegal di sekitar lehernya. Meregangkan badan guna mengurangi rasa penat yang menjalar di tubuhnya.

"Sampai ketiduran di sini?"

Cia menolehkan kepalanya mendapati Vian yang duduk di dekat sofa menatapnya. Setelah itu ia memutar matanya jengkel.

"Pacar kamu udah pulang?" tanya Cia sambil melirik Vian dari ekor matanya.

"Udah."

Cia hanya ber 'oh' saja menanggapi ucapan Vian.

"Udah sembuh?" tanya Cia memastikan keadaan Vian. Laki-laki itu hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah Cia. Membuat Cia semakin kesal.

"Itu apa?" tanya Vian menunjuk paper bag yang terletak di atas meja.

Cia ikut melirik ke arah paper bag itu. "Oh itu, dikasih Ranti. Tapi nggak tahu isinya apaan," jelas Cia yang tidak tertarik dengan paper bag itu.

"Boleh aku buka?" tanya Vian.

"Buka aja," jawab Cia fokus pada layar ponselnya.

Vian mengambil paper bag itu. Ia penasaran dengan isinya. Vian mengerinyit heran menatap isi paper bag itu. Ia memandanginya cukup lama hingga akhirnya tersenyum juga. Vian mengeluarkan isinya hendak menunjukkannya pada Cia.

"Cia, kamu yakin ini bakalan berguna?" tanya Vian sembari memamerkan isi paper bag itu pada Cia.

Cia menoleh menatap Vian, hingga akhirnya matanya membelalak sempurna melihat benda yang sedang Vian pegang itu.

"Ya ampun Ranti!" pekik Cia langsung merebut benda itu dari tangan Vian. Buru-buru ia memasukkan kembali benda itu ke dalam paper bag yang dibawa Ranti tadi pagi.

Wajah Cia memerah menahan malu.

"Jadi kapan mau kamu pakai?" tanya Vian ikut menjahili Cia.

"Vian!!" bentak Cia dengan wajah yang semakin merah. Vian hanya terkekeh pelan lalu pergi meninggalkan Cia.

-

Segitu dulu aja

See you...




Vv, Nov 2020

Toelisan,-

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 280K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
290K 27K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
4.2M 319K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...