Hot Duda [VERSI INDIE DARI IN...

بواسطة Zeeyazee

2.2M 14.6K 129

TELAH TERBIT INTOXICATING LOVE Judul sebelumnya: Hot Duda Harapan, cinta, keyakinan dan pilihan. Bagi Abigai... المزيد

Hello Again ( Part I )
Hello Again ( Part III )
The Plan is Begin ( Part I )
The Plan Is Begin ( Part II )
Info

Hello Again ( Part II )

89.4K 3.3K 28
بواسطة Zeeyazee

Usai mengikuti upacara penyambutan, Abbey masuk ke kelas umum pertamanya; biologi. Kelas itu terletak tidak jauh dari kantin tempatnya dan Sandy mengobrol setelah sebelumnya bertemu di taman tadi. Sesuai dengan standar universitas bergengsi, kelasnya memiliki desain interior yang elegan. Sederhana layaknya sebuah tempat menuntut ilmu, sekaligus tetap terlihat menakjubkan. Luas ruangannya tidak terlalu besar, tapi penataan kursi dan beberapa barang lainnya mampu membuat kelas ini terkesan sangat lebar.

Abbey mengambil tempat duduk di barisan tengah. Begitu duduk, ia melihat sekeliling, tidak banyak yang seumuran dengannya, ada yang lebih tua, ada juga yang lebih muda. Gadis itu lalu mengeluarkan notes dan alat tulisnya, kemudian memakai kacamata.

Di saat itulah, seorang laki-laki dengan setelan semi formal, memasuki kelas. Pembawaannya begitu berwibawa dan berkharisma. Pria itu memakai kemeja biru muda yang nyaris berwarna putih dipadupadankan dengan celana jeans berwarna krem. Setelan itu tampak sangat cocok membalut tubuh tinggi tegapnya. Beberapa helai rambutnya yang tidak terlalu cepak, sedikit turun menutupi dahinya. Sesaat setelah menaruh buku-buku tebal yang ia bawa, pria itu menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jari tangannya.

Abbey menajamkan penglihatannya, berusaha mengamati sosok- yang dilansir adalah dosen mata kuliahnya sekarang – itu dengan seksama. Meski garis-garis wajahnya sedikit berubah lebih tegas, Abbey tidak mungkin salah. Abbey kenal betul siapa dia.

Dadanya terasa sesak kemudian, saat dosen itu memperkenalkan diri...

"Perkenalkan, saya Calvin Anthony."

Abbey menutup mulutnya takjub. Ia tak menyangka akan bertemu Calvin di sini. Setelah lima belas tahun lamanya tak bersua—astaga—bahkan cinta pertamanya itu makin terlihat tampan. Begitu mempesonanya seorang Calvin, sampai-sampai semua kaum hawa di kelas itu berdecak kagum menatapnya.

Abbey masih terpaku diam saat Calvin memulai kelasnya. Butuh waktu beberapa menit untuk menarik kembali kesadaran gadis itu ke dalam kepalanya setelah sebagian dari dirinya yang dulu sempat mengajaknya berputar-putar mengelilingi ingatan pertemuan pertamanya dengan Calvin dulu. Ingatan ketika Abbey masih seorang anak ingusan berumur 8 tahun.

Saat itu musim panas hampir berakhir, tugas sekolahnya belum ia kerjakan satupun dan Calvin lah yang membantunya menyelesaikan tugas-tugas itu selama 5 hari sebelum liburan musim panas Abbey benar-benar berakhir. Jhonny hanya bisa mengomelinya saja ketika ia meminta untuk diajarkan rumus matematika, dan Calvin melakukan hal yang berkebalikan juga menjadi percikan awal Abbey jatuh hati padanya.

Calvin bukan hanya membantunya menyelesaikan semua tugasnya, tapi juga mengajarinya rumus matematika, memberinya jurus jitu menghafal banyak teori fisika, dan materi sejarah dunia. Sejak saat itulah ia bertekad untuk rajin belajar agar bisa menjadi pedamping yang tepat bagi Calvin yang memang sangat pintar.

Abbey mengeluarkan perlengkapan mencatatnya, lalu mulai mendengarkan penjelasan Calvin dengan penuh perhatian. Ia tidak bisa sepenuhnya mencatat, karena terkadang celotehan Calvin mengenai mata kuliah yang sedang ia ajarkan itu terdengar seperti alunan lagu yang menggugurkan rerumputan liar yang tumbuh menutupi sebagian bunga perasaan cinta pertamanya.

Abbey sangat terkejut ketika tiba-tiba Calvin melirik ke arahnya lalu melempar senyum. Ia berusaha untuk terlihat biasa saja, meski jantungnya mulai berdetak tidak karuan. Ia terlalu bahagia dengan kejutan kalau pria itu masih mengingatnya.

***

Abbey menjinjing tas punggungnya. Lalu ikut menerobos kerumunan teman-temannya yang juga ingin segera keluar kelas. Ini sudah lewat 20 menit dari waktu janjiannya dengan Sandy, dan ini sama sekali salah karena tadi ia sudah mengancam sahabatnya itu, dan malah dia sendiri yang terlambat.

"Abbey."

Langkah Abbey spontan berhenti. Ia merinding ketika menoleh ke belakang, mendapati dugaannya akan suara yang memanggilnya itu benar. Calvin, pria itu sudah semakin dekat berjalan ke arahnya sambil tersenyum lebar. Abbey bisa melihat kedua mata pria itu berbinar-binar saat mereka berhadapan. Melihatnya dengan jarak sedekat ini hanya membuat Abbey semakin berdecak kagum karena menyadari tidak banyak perubahan yang terjadi pada Calvin meski umurnya sudah tidak lagi muda.

"Hai! Lama tak jumpa," sapa Abbey, berusaha terlihat santai. Ia berdoa agar jantungnya tidak tiba-tiba melompat keluar dari mulutnya karena sekarang ia benar-benar kehilangan kendali akan organ tubuhnya itu.

"Ya, kau sudah tinggi sekarang." Calvin terkekeh.

Abbey cemberut, "Tentu saja, aku bukan bocah 8 tahun lagi, Calvin," katanya sambil melepaskan kacamatanya, lalu menaruhnya di celah kancing teratas kemeja yang ia kenakan.

"Kau benar...dan aku tak menyangka kalau kau sekarang menjadi mahasiswiku. Aku terkejut saat bertemu Jhonny di sini. Ternyata benar, yang tertera di daftar itu adalah Abbey yang ini." Calvin mengacak-acak rambut Abbey.

Abbey meringis. Antara senang dan malu diperlakukan Calvin seperti itu. Senang karena ternyata Calvin masih seramah dulu, dan malu karena beberapa pasang mata memperhatikan kegiatan mereka.

Abbey harus membuat perhitungan dengan kakaknya. Pantas saja kakaknya itu yakin sekali kalau Abbey diterima di kampus ini. Baginya ini tidak adil karena kakaknya tidak memberitahukan soal Calvin. Coba saja kalau Abbey diberitahu, paling tidak dia lebih prepare dengan penampilannya.

"Baiklah, sampai ketemu besok, Abbey." Calvin mulai berbalik. "Semoga sukses untuk master's degree mu." Calvin melenggang pergi meninggalkan Abbey.

Abbey mengangguk, melepas kepergian Calvin dengan lambaian tangan. Ia bisa rasakan pergerakan sayap kupu-kupu yang tengah berterbangan di dalam perutnya. Ia rasa, mungkin ini adalah jawaban yang Tuhan tunjukkan padanya atas semua alasan memungkinkan tentang dirinya yang tidak bisa mencintai orang lain selain Calvin; mungkin mereka memang ditakdirkan untuk bersatu.

Abbey masih memandangi punggung Calvin ketika tiba-tiba ia teringat akan Sandy yang sedang menunggunya di gerbang utara kampus. Sial! Abbey mengumpat di dalam pikirannya sendiri. Gadis itu segera berlari menyusuri lorong dan tanga yang ia lewati saat menuju kelas ini, lalu memutari setengah taman tempat ia memakan bekal makan siangnya bersama Sandy tadi, sebelum akhirnya berhenti di depan kantin karena mendengar seseorang memanggil namanya.

"Abbey!" Sandy berteriak dari meja paling pinggir yang terletak di sisi luar wilayah kantin. "Aku di sini kalau kau mencariku," katanya nyinyir.

Abbey menyeringai mendengar itu, kemudian berjalan cepat melewati celah pembatas kantin dengan lorong yang berupa pagar besi berbentuk sulur-sulur bunga berwarna tembaga, lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan Sandy. Tidak ada apa-apa di atas meja itu selain tas dan ponsel milik Sandy.

"Kau tidak memesan apa-apa?" tanya Abbey sok penasaran.

Sandy tahu sahabatnya itu hanya basa-basi, "Kau pikir aku ke sini karena ingin makan? Aku lelah berdiri di luar sana menunggu orang yang mengancamku agar tidak terlambat itu."

Abbey tertawa, "Baiklah, maafkan aku..." katanya. "Kau tidak akan percaya dengan apa yang akan kukatakan padamu."

"Apa?" sergah Sandy bertanya. Dalam sekejap Abbey bisa membuat rasa kesal gadis itu berubah menjadi rasa penasaran yang sangat besar.

"Barusan aku bertemu dengan cinta pertamaku."

"Jadi, pangeranmu ada di sini?!" tanya Sandy setengah berteriak.

Abbey kelabakan menyuruh Sandy mengecilkan volume suaranya, "Sst! Jangan keras-keras!" hardiknya. "Bagaimana kalau ada yang mendengar?" Untung saja kantin sedang sepi. Abbey menghela napas lega. Ini bukan pembicaraan yang pas dikonsumsi khalayak umum, meskipun sepertinya orang lain juga tidak peduli dengan topic pembicaraan mereka.

"Ya, dia salah satu dosen di sini." Abbey menjawab pertanyaan Sandy, sambil mencondongkan badannya ke tengah meja. Begitupun Sandy yang kini tengah membuka halaman foto-foto pengajar dari buku pengenalan universitas, yang baru saja ia ambil dari dalam tasnya.

"Tunjukkan yang mana," pinta Sandy. Alangkah kagetnya ia saat Abbey menunjuk salah satu foto. "Dia?!" Sandy berteriak lagi. Abbey frustrasi sekarang. Harusnya dia tahu, Sandy ini gemar sekali berteriak di saat-saat tertentu.

"Iya, dia. Calvin Anthony."

Sandy menggelengkan kepalanya, "Jangan dia!" tiba-tiba dia jadi galak.

Abbey mengernyitkan dahinya, "Kok kau bilang begitu?"

Sandy mengusap wajahnya kasar, lalu menatap Abbey serius. "Abbey sayang.. dia itu—" Ia menggigit bibirnya, berusaha menemukan kata lain yang tepat tapi gagal. "Duda..., duda beranak satu."

***

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

265K 18.9K 30
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
1.1M 58.9K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
4.8M 36.1K 30
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
2.1M 183K 29
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...