Kok putus? Kalian kan lucu bgt:'3
Luna menghela napas jengah. Baru saja ia membuka akun-akun social medianya dan ternyata sudah dipenuhi ucapan-ucapan berkaitan dengan putusnya ia dan Juna.
Kok putus? Kalian kan lucu bgt:'3
Gue cewek, bisa apa?
Yg mutusin siapa?
Juna
Raka pakabar Lun?
gue harap buruk
Ciee Adrian ciee
Luna mengerutkan kening. Adrian? Siapa yang tiba-tiba tanya tentang Adrian?
Ia memilih untuk mengabaikan pertanyaan itu.
Kok bisa putus?
You better go ask him
Tumben lo putus pathetic gitu. Emg udh ngapain aja sm Juna? :v
Pertanyaan lo menganu, lo kira gue cewek apaan-_-
Akhirnya lo diputusin jg haha enak?
Nggak
Introspeksi dong. Juna risih kali sm lo
Kaya idup lo udh bener aja
Suka bgt liat kalian diinsta, lucu :(
Gue jg suka
Gue bingung mau ngeship siapa lg:(
NGESHIP LUNA ADRIAN AJA BIAR LANGGENG HAHAHAHAHHHA
Luna tertawa hambar membaca jawabannya sendiri. Langgeng? Langgeng terdengar seperti ia dan Adrian sudah pacaran.
"Cie yang lagi galau."
Luna menoleh ke arah pintu. Ia menemukan Zahira, kakaknya yang kini sedang kuliah psikologi di Yogyakarta.
"Kajah! Kangen banget, Ya Allah!" Teriaknya sembari mendekati Zahira yang berdiri di ambang pintu. Mereka berpelukan untuk waktu yang lama.
"Cerita?" Tanyanya langsung.
Senyum sumringah Luna pudar seketika. Ia memajukan bibirnya beberapa senti dan mengangguk lemah.
*****
Diandra menumpukan tangannya pada meja. Ia menutup buku-buku yang sedari tadi dipelajarinya. Sayang, pikirannya melayang-layang.
Awalnya Juna begitu jauh dan tidak terlihat. Ia populer, tapi tidak bagi Diandra. Kagum? Jujur, iya. Tapi tidak pernah ada sebersit pikiran untuk kenal apalagi dekat dengan cowok itu. Tiba-tiba saja cowok itu hadir dihidupnya dan mengubah warna-warna yang ada.
Ia belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Ia juga tidak pernah berekspektasi bahwa ia akan jatuh pada cowok yang cenderung badboy itu. Sejak itu, Diandra menetapkan Juna sebagai objek fotografinya.
"Belajar, apa belajar?"
Diandra menoleh ke arah pintu kamarnya. Ayahnya kini bersandar di kusen pintu dengan kedua tangan dilipat. Ia hanya tersenyum dan kembali menghadap ke buku yang sudah tertutup rapi.
"Lagi seneng, ya?" Tanya ayahnya sembari mendekat dan duduk di tepi ranjang.
"Kasih tau nggak, ya?"
"Papa tau kok," sahut Ayah, "Kamu lagi suka sama orang, ya? Yang nganterin pulang kemarin?"
Diandra memanyunkan bibirnya. Ia tahu ia tidak bisa membohongi Ayahnya. 16 tahun dibesarkan oleh Ayahnya seorang, hubungan mereka begitu dekat.
"Mata kamu, Di," ujar Ayah memberi jeda, "Persis seperti waktu Mama menatap Papa."
Diandra terkekeh pelan.
"Kemarin Papa ngapain ke sekolah?"
Ayahnya hanya menghela napas, kemudian tersenyum lebar.
"Guru mapel mipa kamu rebutan kamu. Katanya suruh kamu ikut olimpiade, yang matematika pengin kamu ikut, yang biologi pengin kamu ikut, fisika sama kimia pun gitu. Papa bilang Papa terserah Diandra. Diandra nggak mau ikut pun nggak masalah."
"Kimia aja, Pa. Nggak mau nyia-nyiain kesempatan buat banggain Mama," tanggapnya yakin.
"Kamu lahir aja, udah jadi kebanggaan buat Mamamu, Di."
Hening. Keduanya sama-sama diam. Sama-sama memikirkan sesuatu.
"Sebenernya cita-cita kamu, apa, Di?"
Diandra tersenyum tipis, menyisakan guratan kecewa di dalam senyumnya.
"Mau kuliah di teknik Kimia. Kaya Mama, Pa," selagi aku mampu, kenapa tidak mewujudkan impian Mama?
"Papa kira kamu mau jadi dokter?"
Diandra menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Matanya mengabur, berkaca.
"Tadinya aku mau jadi dokter, Pa. Membantu kelahiran seorang bayi pasti menyenangkan. Tapi," Diandra memberi jeda, "Diandra takut, Pa. Diandra takut kalo karena kesalahan Diandra, bayi yang lahir itu bernasib sama kaya Diandra."
"Jangan menyalahkan dokter. Jangan menyalahkan kamu juga," tanggap Ayahnya bijak.
Diandra tersenyum lemah menyambut tepukan dan usapan di bahunya. Ia meraih ponsel yang tergeletak di sudut meja. Lagu itu mengalun ketika Diandra menekan-nekan layar ponselnya.
Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku lengkapi diriku
Oh, sayangku kau begitu
"Sempurna," lanjut Ayah sembari mengusap puncak kepala Diandra.
Itu rekaman suara Mama. Mama yang tidak pernah ia temui. Mama yang hanya hadir selama sembilan bulan dalam seumur hidupnya.
Diandra menggigit bagian dalam pipinya. Berharap menghadirkan rasa sakit yang melebihi sakit hatinya. Ia ingin melihat Mama. Ia ingin mengenal Mama. Ia ingin mendengar suara Mama langsung. Sekali saja. Sekali saja, dalam mimpi pun sudah cukup.
*****
Sedari tadi, Juna hanya berguling-guling di ranjang ditemani adiknya yang sedang asyik mengerjakan PR matematikanya. Niatnya ingin minta diajari, tapi sekali ia bersuara, Juna malah menimpuknya dengan bantal.
"Lo kenapa, sih?" Tanyanya tidak tahan melihat Juna yang uring-uringan.
"Bacot. Lagian lo sok-sokan ngerjain PR, ulangan aja nyontek!"
"Gue kan bercermin sama lo, Bang," sahut Revan sambil tetap mencorat-coret bukunya. Menyadari Abangnya tidak paham, ia mengangkat wajah.
"Liat aja, lo nggak pernah belajar jadi bego gitu. Gue belajar dari kesalahan lo. Makasih ya, Bang."
Juna mendengus kesal, meskipun ia membenarkan pernyataan Revan.
"Capek gue pedekate sama anak pinter. Malem-malem nggak bisa diganggu," cetusnya tiba-tiba.
"Ck, nyesel lo mutusin Luna?"
Satu timpukan mendarat kembali. Akhirnya ia, Revan, memilih untuk menutup bukunya.
"Curhat sama gue aja, Bang."
"Najis, homo banget."
"Lo liat ask.fmnya Luna, deh, Bang," sarannya sebelum beranjak meninggalkan kamar Juna.
"Kaya' penting aja," tanggap Juna malas.
Setelah memastikan pintu tertutup dan Revan sudah kembali ke peradabannya, Juna memainkan ponselnya, membuka jejaring sosial ask.fm dan mencari akun Lunnaura. Ia berdecak kesal pada dirinya sendiri. Munafik.
Ia tidak terkejut melihat pertanyaan-pertanyaan seputar hubungannya dengan Luna. Hanya saja, ada satu pertanyaan yang membuatnya terkejut. Pertanyaan dari Radinkadita, adik sepupunya yang sekolah di mantan SMP Luna. Ia tahu, Luna akrab dengan Dinka, apalagi setelah ia pacaran dengan Juna. Juna men-scroll kebawah dan mulai membaca semuanya dari bawah ke atas. Agar lebih jelas.
Curhat dong Kak. Masa gue diputusin sama cowok gue :( - Radinkadita
LO CURHAT APA NYINDIR KAMPRET
Ahaha sori sori. Tp seriusan ih. Kok kita sweet bgt diputusin aja barengan gini:( gue harus gmn kak? Doi tuh brengsek bgt nemu yg beningan dikit gue ditendang. Gue msh sayang tp masa begging2 sih:( - Radinkadita
Ah must qtime as jomblo kita{}
Kalo gue sih gamasalah. Better kali. Dia udh nemu yg lbh baik dr gue, harusnya gue bersyukur, kalo gue syg sm dia. Emg susah buat nata ulang hati krn putus bkn karena konflik intern. Tinggal kita aja yg nyari pengganti dia. Anjir lah bacot kan gua din:(
Juna mengulang-ulang membaca kalimat itu. Agak menjijikkan rasanya karena dia merasa dia yang cewek, yang diperjuangkan Luna, yang perasaannya dijaga Luna mati-matian, yang stalking mantan pascaputus. Dan cewek itu, kenapa dia bisa bijak begitu? Batinnya. Ia membaca lagi, masih dari Radinka, sepupunya.
Pap pic sm mantan yg plg lo suka:p - Radinkadita
din lo knp sih:(
[Picture]
Juna masih ingat jelas foto itu. Di foto itu, Luna menenteng bola basket dan mengenakan seragam cheerleader, sementara Juna mengenakan kaos basket bernomor punggung 9. Tangannya menekan bagian poni Luna yang matanya tersenyum dan menjulurkan lidah pada kamera.
lun, diputusin gitu aja marah nggak?
Nggak kok. Cuman.... sakitnya tuh disini....
Juna menggeleng sambil terkekeh pelan. Luna tetaplah Luna.
*****
TFR!