I SHALL EMBRACE YOU

By Toelisan

21.8K 1.7K 91

[FOLLOW SEBELUM BACA] "Kita itu cuma dua orang yang saling kenal terus tinggal satu atap." ucap gadis itu. ... More

ISEY || CHAPTER SATU
ISEY || CHAPTER DUA
ISEY || CHAPTER TIGA
ISEY || CHAPTER EMPAT
ISEY || CHAPTER LIMA
ISEY || CHAPTER ENAM
ISEY || CHAPTER TUJUH
ISEY || CHAPTER DELAPAN
ISEY || CHAPTER SEMBILAN
ISEY || CHAPTER SEPULUH
ISEY || CHAPTER SEBELAS
ISEY || CHAPTER DUA BELAS
ISEY || CHAPTER TIGA BELAS
ISEY || CHAPTER EMPAT BELAS
ISEY || CHAPTER LIMA BELAS
ISEY || CHAPTER ENAM BELAS
ISEY || CHAPTER DELAPAN BELAS
ISEY || CHAPTER SEMBILAN BELAS
ISEY || CHAPTER DUA PULUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER DUA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DELAPAN
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SEMBILAN
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN

ISEY || CHAPTER TUJUH BELAS

471 42 1
By Toelisan

[I Shall Embrace You]

-

-

Happy reading

jangan lupa vote dan komen

-

-

-


"Bunda udah tahu kalau kita mau ke rumah?" tanya Cia sambil melirik Vian yang fokus mengemudi.

"Hmm."

Cia memutar bola matanya. Ingin sekali rasanya ia mencakar wajah laki-laki itu sekarang.

"Mama sama Papa?" tanya Cia lagi setelah hening beberapa saat.

Vian melirik ke arah Cia sekilas lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.

"Orang ngomong itu dijawab!" ketus Cia menatap Vian sebal.

Laki-laki itu menghela nafas, melirik ke arah spion lalu menatap gadis di sampingnya.

"Udah, Cia," jawab Vian dengan nada lembut. Meskipun Cia tahu nada itu dibuat-buat. Tapi hatinya ikut senang, setidaknya laki-laki itu sabar menanggapinya.

"Aku nggak mungkin tiba-tiba bawa kamu tanpa sepengetahuan Mama sama Papa," ujar Vian tanpa ada niat untuk melirik lawan bicaranya.

"Kenapa? Takut dimarahin, ya?" tanya Cia melirik Vian sejenak. Raut wajah laki-laki itu mengeras. Entah apa yang salah dengan ucapan Cia. Karena Cia yakin, siapapun yang mendengar ucapannya pasti tahu jika dia sedang bercanda. Tapi, kenapa laki-laki itu menanggapinya serius?

Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara Cia dan Vian.

Laki-laki itu mematikan mesin mobilnya lalu keluar. Meninggalkan Cia yang masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Buru-buru Cia keluar dari mobil menyusul langkah Vian yang membuatnya tertinggal di belakang laki-laki itu.

Pintu diketuk. Suara nyaring dari dalam rumah terdengar menyuruh Vian dan Cia menunggu.

Vian tersenyum ramah saat perempuan paruh baya menampakkan diri dari balik pintu kayu itu.

"Sore, Bunda," sapa Vian sembari mencium tangan mertuanya.

"Iya, sayang. Ayo masuk," ajak Aini lembut.

Vian dan Cia langsung masuk ke dalam rumah bernuansa putih itu. Sudah lama rasanya Cia tidak menginjakkan kaki di rumah itu. Karena biasanya, kalau sedang rindu, ayah dan bundanya lah yang akan datang berkunjung ke rumah Vian.

"Ayah ada, Bun?" tanya Vian lansung. Sepertinya laki-laki itu tidak ingin berlama-lama, ia ingin segera membicarakan hal penting itu pada ayah mertuanya.

Aini mengangguk lantas tersenyum. "Ada, di belakang."

Vian mengangguk, berjalan ke arah belakang rumah. Disusul oleh Cia yang mengekor di belakang Vian.

"Mau kemana?" tanya Aini mencekal tangan anaknya.

Cia menatap bundanya lalu kembali menatap punggung Vian yang semakin menjauh. "Nemenin Vian, Bun."

"Udah, kamu nggak perlu ikut. Di sini aja sama Bunda. Itu urusan laki-laki."

Cia menghela nafas pasrah. "Kalau gitu Cia ke kamar aja deh, Bun."

Aini mengangguk setuju.

Sudah satu jam lebih dan Vian belum juga menyusulnya ke kamar. Apakah mereka belum selesai? Apa sebenarnya yang Vian bicarakan? Apakah itu sesuatu yang penting? Sehingga laki-laki itu hanya ingin bicara empat mata dengan ayah Cia? Kalau hanya membicarakan masalah kemarin, bukankah dia juga berhak untuk ikut?

Cia mulai menebak-nebak. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan dagunya. Ia menghirup nafas dalam-dalam sehingga dadanya mengembang. Pintu terbuka membuat gadis itu sontak berdiri. Tapi setelah tahu siapa yang membuka pintu ia kembali duduk dengan wajah lesu.

"Berharap banget ya, kalau yang buka pintunya Kak Vian?" tanya Dinda yang berdiri di ambang pintu.

"Kak Vian nggak akan kesini. Kan lagi dimarahin abis-abisan sama Ayah di bawah," ucap Dinda terlampau santai.

Cia melotot kaget. Membuat matanya hampir saja keluar. Wajahnya mendadak pucat. Ia berdiri lalu menghampiri adiknya yang masih berdiri di ambang pintu.

"Maksudnya?" tanya Cia hati-hati.

Dinda memutar matanya.

"Masa Kakak nggak tahu sih? Bahkan Ayah sampai nampar Kak Vian lho." Dinda menatap perubahan raut wajah Cia.

Tubuh Cia seakan kaku. Vian ditampar? Tangannya bergetar.

"Oh, ya. Disuruh kebawah tuh, makan sa--"

Ucapan Dinda terpotong karena Cia lebih dulu berlari menuruni tangga. Dinda menatap punggung kakaknya lalu berjalan santai menuruni tangga ke arah meja makan menyusul kakaknya itu.

Nafas Cia memburu. Gadis itu panik.

Ia bisa melihat jika di sana sudah ada Ayah, Bunda, dan Vian duduk di kursi meja makan.

"Ayah kenapa tega sih?" tanya Cia saat gadis itu sudah berdiri di dekat meja makan.

Bambang menatap putrinya itu dengan raut heran. Begitu juga dengan Aini.

"Cia, kamu kenapa? Ayo duduk kita makan malam sama-sama," kata Aini tidak mengerti dengan tingkah putrinya itu.

Cia menatap Vian. Laki-laki itu tidak menoleh sedikit pun ke arahnya. Dan hal itu membuat Cia yakin tentang apa yang sedang terjadi.

Dinda berjalan melewati Cia yang berdiri mematung menatap kesal ke arah ayahnya. Lantas duduk di kursi lalu menatap ke arah kakaknya.

"Kalau Ayah anggap Vian gagal buat jagain aku, nggak apa-apa. Tapi disini Vian nggak salah sepenuhnya Ayah," ujar Cia memelas.

Bambang berkerut dahi menatap putri sulungnya itu.

"Aku yang nggak dengerin Vian, waktu dia larang buat pulang malem. Aku yang salah di sini bukan Vian. Dia udah berusaha buat jaga aku. Dia ngelakuin semuanya, Ayah. Aku yang salah." Nafas Cia memburu.

Kini Vian ikut menatap Cia heran. Kenapa dengan gadis itu? Vian masih menatap gadis itu, menunggunya melanjutkan apa yang ingin dia katakan.

"Harusnya Ayah marahin aku. Bukan malah marah dan nampar Vian." bibir Cia bergetar. Ini pertama kalinya dia bicara seperti itu pada ayahnya. Air matanya mulai turun.

Semua atensi di rumah itu terarah pada Cia. Vian menaikkan sebelah alisnya. Aini tersenyum menatap putri sulungya. Sedangkan wajah Bambang melunak, tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Siapa yang nampar Vian?" tanya Bambang lembut.

Alis Cia menyatu heran. Ia menatap semua orang yang tengah memperhatikannya.

"Bukannya Ayah nampar Vian? Bukannya Ayah habis marahin Vian?"

Aini tertawa ringan begitu juga dengan Bambang.

"Siapa juga yang nampar Vian. Ayah nggak punya alasan buat lakuin itu."

"Kamu itu ngomongnya ngawur aja. Pulang malem? Nggak dengerin Vian? Apa benar?" Ayah melanjutkan.

Bibir Cia mendadak kelu. Berarti ayahnya tidak tahu masalah ini? Lalu apa yang dibicarakan Vian dengan ayahnya kalau begitu? Ia melirik ragu ke arah Dinda yang tersenyum jahil ke arahnya.

"Dindaaa!!!" geram Cia saat itu. Sedangkan yang dipanggil hanya terkekeh saja.

"Ketahuan kan sekarang, kalau sebenarnya Kakak tuh sayang sama Kak Vian," ujar gadis berambut ikal itu santai.

Cia menghela nafas kasar. Menghentakkan kaki lalu berbalik menaiki tangga.

"Sayang, makan dulu!" teriak Aini.

"Udah nggak nafsu, Bunda." Cia berlari menuju kamar. Adik sialan. Membuatnya malu saja. Apa yang harus ia katakan pada Vian setelah ini?

Aini melirik Dinda yang masih terkekeh kegirangan melihat kakaknya terjebak olehnya.

"Dinda, kamu nggak boleh gitu," tegur Aini lembut.

Dinda menegakkan kepalanya menatap Aini. "Habisnya dia nggak pernah mau jujur tiap Dinda t⁷anya."

Vian berdeham pelan. Menenggak habis air di dalam gelas miliknya lalu bangkit berdiri. Ia menatap wajah mertuanya yang teduh.

"Vian nyusul Cia dulu, Bunda." Aini mengangguk setelah itu Vian melirik Bambang.

Cia mencak-mencak di atas tempat tidur. Memalukan.

Gadis itu menutupi wajahnya dengan bantal. Ia masih ingat bagaimana ekspresi bingung Vian menatapnya beberapa saat yang lalu.

Pintu terbuka. Menampilkan laki-laki tinggi yang baru saja masuk menghampiri gadis yang tengah menutupi wajahnya dengan bantal itu.

Cia bisa merasakan sisi tempat tidur bergerak. Yang menandakan bahwa Vian baru saja duduk di sana.

"Kalau kamu kesini cuma buat ngetawain aku, mending nggak usah!" sebal Cia.

Vian hanya menatap punggung gadis itu. Ia menghela nafas pelan. "Kalau wajahnya ditutup bantal, bakalan pengap," ujar Vian masih menatap punggung gadis itu.

Vian masih menatapnya. Menunggu sampai punggung itu bergerak melepaskan bantal yang sedari tadi menutupi wajahnya.

"Nggak usah mikir yang enggak-enggak. Aku udah punya pacar. Kamu tahu itu." Cia kembali bersuara, berusaha membangun harga dirinya yang sudah lenyap beberapa saat yang lalu.

Vian tidak menanggapi ucapan gadis itu. Ia malah menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Sorot matanya menatap lurus ke depan.

Cia heran, kenapa laki-laki itu tidak meresponnya. Apakah dia sengaja? Sengaja mengabaikannya? Memalukan. Cia ingin segera lenyap saat itu juga.

Memutar badanya pelan menghadap Vian. Ia memperhatikan wajah itu dengan seksama. Tidak ada yang salah memang dengan wajah itu. Tampan.

"Udah keselnya?" tanya Vian tiba-tiba. Ia menatap gadis itu tepat di mata. Membuat Cia salah tingkah.

"Aku ngelakuin yang tadi--"

"Aku tahu. Jadi nggak perlu dibahas." Vian memberi penekanan.

Cia menghela nafas. Takut-takut ia menatap wajah Vian. "Kamu nggak makan?" tanya Cia hati-hati.

"Buruan tidur. Pagi-pagi kita harus balik, Bunda minta kita nginap malem ini." Vian mulai membaringkan tubuhnya membelakangi Cia. Menghela nafas tanpa menjawab pertanyaan dari gadis itu.

Cia mengusap wajahnya kasar lalu ikut berbaring membelakangi Vian.

Ia bertanya-tanya tentang perubahan sikap Vian padanya. Laki-laki itu berubah dingin sejak di mobil tadi sore. Ia membalikkan badan sedikit kasar hingga tempat tidur itu bergerak agak keras.

Menatap punggung itu lama. Menimbang apa yang akan dia tanyakan.

"Vian, kamu udah tidur?" tanya Cia takut mengganggu laki-laki itu. Sebab Vian mudah sekali terusik tidurnya.

"Udah," jawab laki-laki itu.

Cia tersenyum geli mendengar jawaban dari laki-laki itu. Pasalnya mana ada orang tidur bisa bicara.

"Kamu marah sama aku?" tanya Cia lagi.

Kali ini tidak ada jawaban. Cia menghela nafas pelan. Cukup lama menatap punggung berbalut kaos putih itu hingga akhirnya sang empu berbalik menatapnya.

Vian menggeleng.

Dahi Cia mengerinyit heran. Ia menatap lekat bola mata hitam itu. Berusaha menafsirkan sesuatu.

"Trus kenapa sikap kamu berubah?" tanya Cia lagi. Kali ini giliran Vian yang menatap heran.

"Atau cuma perasaan aku aja?" tambah Cia menebak sebelum Vian menjawab.

"Aku sama aja. Lagian kalau memang sikapku berubah, nggak akan memberi pengaruh apa-apa ke kamu 'kan?" tanya Vian dengan nada datarnya.

"Bukannya kamu punya pacar." sarkas Vian lalu mengamati perubahan raut wajah Cia yang mendadak masam.

"Aku nggak suka ya kalau kamu mulai nyinggung soal Alvin." Cia memberi penekanan. Membuat batasan yang tidak boleh Vian lewati.

"Kalau aku minta kamu putusin Alvin. Apa kamu mau?" tanya Vian serius. Raut wajah Cia menegang.

Vian tersenyum getir menatap gadis yang berbaring di hadapannya. Keduanya terganggu karena dering ponsel yang ada di atas nakas. Vian segera bangkit lalu mengambil ponsel itu. Menggeser tombol hijau lalu membawanya ke salah satu telinga.

"Kenapa, Dil?" tanya Vian.

Cia tersenyum mengejek. Ia tahu siapa yang menelpon saat ini.

"Aku lagi nggak di rumah. Maaf malem ini nggak bisa" ucap Vian. Terdiam beberapa saat lalu panggilan itu terputus.

"Manja banget sih jadi cewek!" ketus Cia berkomentar.

Ucapan Cia sontak mendapat tatapan tajam dari Vian. Sedangkan yang di tatap malah memutar bola mata.

"Apa-apa minta ditemenin. Suruh pacarnya mandiri. Jangan manja ke suami orang!" ucap Cia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi Vian.

"Kenapa? Cemburu?" tanya Vian.

Cia tidak menjawab. Ia malah menarik selimut lalu menutupi seluruh tubuhnya.

-

-

-

Perjalanan menuju kampus terasa sangat lama pagi ini. Terjebak dengan laki-laki itu di dalam mobil membuat Cia muak. Apalagi setelah kejadian kemarin.

Cia duduk sedikit menyamping membelakangi Vian yang tengah mengemudi. Gadis itu asik menatap jalanan dari jendela kaca.

Vian melirik ke arah Cia sebentar lalu berdeham pelan. Berusaha mendapatkan atensi dari gadis itu.

"Nanti pulang bimbingan nggak usah tunggu aku. Aku ada urusan," ujar Vian memulai percakapan.

Cia menghela nafas. Memutar bola matanya jengah.

"Bilang aja pergi pacaran. Sok ada urusan segala." ketus Cia menanggapi.

Dahi Vian berkerut mendengar jawaban dari Cia. Kenapa lagi dengan gadis itu?

"Iya." Vian menatap spion sebentar lalu melirik Cia yang masih memunggunginya.

"Tuh, kan. Benar. Dasar batu!" umpat Cia dalam hati.

Mobil berhenti di area parkir fakultas. Buru-buru Cia keluar ingin segera melepaskan diri. Ia bernafas lega saat suasana di parkiran sedikit sepi. Sehingga tidak ada yang menyadarinya turun dari mobil Vian.

Ia melenggang menuju gedung jurusan. Meninggalkan Vian yang menatapnya acuh tak acuh.

Selama menunggu dosen pembimbing skripsinya datang, Cia duduk di depan laptop di depan ruangan kepala departemen jurusan. Ia mulai membolak-balik lembar skripsi yang diprint. Pikirannya mulai menerawang hingga ia hanya sibuk mencoret-coret buku catatannya.

Tanpa sadar ia menulis nama 'Dila' di buku catatannya. Ranti yang melihat itu sontak berkerut dahi. Mencondongkan badannya ke arah Cia lalu bertanya, "Dila siapa?"

Cia tersentak dari lamunannya. Ia menatap Ranti yang sedang menatap buku catatan miliknya. Hingga akhirnya Cia terbelalak menatap lembaran catatan yang penuh dengan nama 'Dila'.

Gadis itu tidak sadar apa yang sedang ia lakukan. Buru-buru ia merobek kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di sana.

Ia menatap wajah Ranti yang berubah heran. Menghela nafas, serta memilih memfokuskan diri.

"Mau pesen apa?" tanya Ranti ketika dua gadis itu sudah berada di kantin fakultas. Cia mengedarkan pandangannya menatap etalase lalu menunjuk etalase yang berada di pojok kantin.

"Itu aja, deh." Cia tersenyum ke arah Ranti lalu melenggang pergi memesan makanan.

Ia kembali duduk setelah membawa satu mangkuk berisi bakso. Tersenyum ke arah Ranti lalu mulai mengaduknya dengan tenang.

"Kemarin kamu nggak masuk kenapa? Sakit?" tanya Ranti tiba-tiba.

Cia hampir saja tersedak mendengar pertanyaan dari Ranti.

"Kenapa emangnya?" Cia balik bertanya.

"Enggak. Cuma aneh aja," ucap Ranti yang sukses membuat Cia menatap bingung.

"Aneh kenapa?" tanya Cia penasaran.

"Kamu nggak tahu?" Ranti balik bertanya. Cia menggeleng pelan. Menatap Ranti seolah mengharapkan penjelasan dari gadis itu.

"Kemarin waktu kamu nggak masuk. Tiba-tiba aja Vian ke kelas ngasih surat izin ke Prof Herman." Ranti menatap Cia yang tersedak salivanya sendiri.

Uhukk ... uhuk ... uhukk.

Cia meraih gelas berisi air minum lalu meminumnya hingga menyisakan setengah.

"Vian?" tanya Cia tidak percaya.

Ranti mengangguk. Cia menggigit bibir bawahnya.

"Padahal Alvin aja nggak tahu kamu izin. Oh, ya. Pesan aku kenapa nggak dibalas sih?" Ranti mulai sebal.

"Pesan?" tanya Cia yang mulai lega karena Ranti mengalihkan topik pembicaraan.

Ranti mengangguk.

"Ponsel aku hilang," jawab Cia yang kembali memasukkan bakso ke dalam mulutnya.

"Hilang? Kok bisa?" tanya Ranti sedikit kaget.

Gadis itu terdiam sejenak lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel berwarna hitam itu.

"Rasanya enggak deh. Pesan aku aja kamu baca, cuma nggak dibales." Ranti menyodorkan layar ponsel itu ke arah Cia.

Cia mengamati layar itu dengan seksama. Benar. Pesan itu dibaca. Cia langsung bangkit, melangkah pergi ke luar kantin. Menghiraukan Ranti yang memanggilnya dengan suara nyaring miliknya.

Kalau pesan itu dibaca. Pasti ponselnya ada di tangan seseorang. Vian.

-

See yaa~


Vv, Nov 2020

Toelisan,-

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 42.7K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
9M 955K 65
[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yang rela membakar jari-jari tanga...
800K 95.8K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
1.7M 77K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...