SINGASARI, I'm Coming! (END)

By an11ra

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... More

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

26 - PAST

25K 4.5K 171
By an11ra

Sejak siang tadi Pangeran dan rombongan kecilnya tentu beserta para pengawal minus Wasa sudah memasuki hutan untuk berburu hewan entah apa. Mungkin seperti kata Sawitri, Pangeran akan berburu harimau lagi. Jika benar yang diburu adalah harimau putih itu artinya untuk pertama kali aku melihat langsung hewan ini di alam liar bukan di Taman Safari ataupun kebun binatang.

Apakah kami berleha - leha sambil menunggu kepulangan mereka, jawabannya pastinya tidak. Pesta arak semalam menyebabkan ruangan pondok sudah mirip kapal pecah dengan banyak kendi bertebaran di lantai beserta makanan yang tercecer ke mana - mana.

Namun, anehnya hanya ruangannya yang berantakan tetapi keadaan para pelakunya alias tuan - tuanku itu tampak baik - baik saja dan terlihat tidak mabuk sama sekali. Heran, mungkin benar mereka minum arak untuk kebutuhan, apalagi tingkat toleransi terhadap alkohol mereka cukup baik sepertinya. Tapi apapun alasannya alkohol tetap haram untuk diminum.

Sebenarnya aku tidak tahu pasti mereka mabuk sampai level mana sebab setelah mengantarkan makanan, aku dan Sawitri tidak diizinkan kembali ke pondok depan. Untuk bagian itu, aku sampai ingin sujud syukur walau hanya bisa aku lakukan dalam hati, karena Wasa diperintahkan menjaga kami di depan bilik. Bahaya jika ada lagi orang selain Sawitri yang melihat caraku beribadah. Mungkin di pikiran mereka aku akan digolongkan sebagai anggota aliran sesat dan menyesatkan. Bisa - bisa aku diarak massa ... Amit - amit.

"Sawitri, apa kita tidak akan memasak ?" Tanyaku setelah kami membereskan ruangan dan berjalan ke luar pondok.

"Mereka akan makan hasil buruan yang didapat. Jadi kita memasaknya setelah mereka datang." Jawab Sawitri

"Jika mereka tidak mendapat hewan buruan bagaimana ?"

Sawitri tidak sempat menjawab pertanyaanku, karena Wasa yang sedang memotong kayu di luar pondok terlebih dahulu menjawabnya "Jangan meremehkan mereka, Rengganis. Jika hanya untuk mendapatkan makanan saja, aku jamin para pangeran bisa memanah hewan dengan mudah walau dalam keadaan gelap sekalipun. Bahkan Raden Panji bisa memanah tepat sasaran walau matanya ditutup kain. Aku pernah melihatnya berkali - kali saat latihan. Orang sakti tidak hanya butuh mata untuk melihat." Tersenyum sebentar lalu melanjutkan "Mereka berburu bukan untuk mendapat makanan, tetapi untuk mendapat kesenangan, Rengganis."

"Nah, benar yang dikatakan Wasa, Rengganis." Sambar Sawitri sambil menjentikkan jarinya di depan mukaku.

"Iya ... iya aku mengerti. Aku bertanya karena aku tidak paham, lagipula kata orang malu bertanya sesat di jalan" Balasku sebal

"Sesat di hutan !" Jawab Sawitri sambil mendengus

"Terserah ... terserah." Ucapku tambah sebal, tapi ada hal lain yang menggangguku "Apakah Raden Panji sesakti itu ? Dia sebenarnya siapa sih ? Jika sangat sakti mengapa dia tidak menjabat sebagai panglima utama kerajaan ? Heeem ... atau panglima utama kerajaan yang sekarang lebih hebat lagi jika dibandingkan dengan Raden Panji Kenengkung ?"

"___" Tak ada suara yang menjawab pertanyaanku karena Sawitri dan Wasa malah perpandangan dan gelagat mereka terlihat tidak nyaman.

"Sebaiknya aku ke sungai sekarang karena hari sudah sore" Ucap Sawitri mengalihkan pembicaraan sambil memandang semburat jingga di langit.

Mengangguk - anggukan kepalaku tanda mengerti "Aku tidak boleh menanyakan hal itu rupanya." Tebakku sambil tersenyum.

"Bagus, jika kau menyadarinya. Kalau begitu aku pergi ke sungai dulu !" Ucap Sawitri segera sedangkan Wasa mulai membereskan kayu - kayu bakar yang telah selesai dipotong lalu berjalan ke arah bilik belakang tempat kami memasak.

"Ayo kalau begitu !" Ucapku bersemangat karena semenjak aku terdampar ke masa lalu ini, aku belum pernah sekalipun mengunjungi sungai. Pasti sungainya lebih jernih tanpa sampah dan limbah.

Sawitri memincingkan matanya memandangku "Apa yang ingin kau lakukan, Rengganis ? Aku punya firasat buruk."

"Issshhh ... kata - katamu, membuat aku tampak sebagai pembuat onar saja. Aku hanya ingin melihat sungai, karena sudah lama tidak melihatnya secara langsung terutama di ekosistem yang masih bebas polusi dan pencemaran" Jawabku diplomatis, lagipula itu memang tujuanku.

"Tolong gunakan bahasa yang bisa dimengerti manusia, Rengganis" Ucap Sawitri sebal lalu melanjutkan "Pokoknya kau tunggu di pondok, biar aku dan Wasa yang mengambil air karena berat. Tidak mungkin jika aku dan kau yang pergi karena akan membutuhkan waktu lebih lama mengangkat airnya. Lagipula harus ada orang yang menunggu di sini, siapa tahu Pangeran tiba. Beliau akan murka bila tidak ada orang !" Lanjutnya saat Wasa kembali membawa bambu - bambu besar tempat kami biasa menampung air. Wajar saja ember masih belum dibuat, bahkan terpikir saja sepertinya belum. Lagipula siapa sih pencipta ember ?

Menggelengkan kepala guna menghilangkan pikiran anehku "Kalau begitu biarkan aku dan Wasa yang mengambil air, aku takut jika di sini sendirian. Kau ingatkan kata - kataku kemarinkan, Sawitri ?" Kataku sambil mengedip - ngedipkan mata berharap dia ingat perkataanku bahwa hutan ini angker ... Hiiiiih.

"Mengapa matamu mengedip - ngedip begitu ? Kemasukan debu atau penyakitmu kumat, hm?" Tanya Sawitri yang tampak sedikit kesal.

"Hadeeeh ... bercanda juga ada batasnya, Sawitri. Ayolah, aku janji tidak akan macam - macam. Lagipula di sungai memang ada apa ? Tidak mungkin juga aku mencari masalah dengan ikan atau batu sungai ?" Jawabku sambil melipat tangan di dada.

Menghembuskan napas pasrah lalu menengok pada Wasa yang terlihat sedang menahan tawa "Wasa, tolong awasi perempuan satu ini. Jika dia membuat masalah, langsung saja kau tenggelamkan di sungai !" Perintah Sawitri kejam.

"Wasa tidak mungkin menengelamkanku, karena dia tidak sadis macam kau !" Ucapku sambil mendengus kemudian menengok pada Wasa yang sudah mengalungkan tali pengikat bambu ke pundaknya agar mudah dibawa "Ayo Wasa, berang - berang bawa sikat, BERANGKAT !!!"

Berjalan ke arah kanan dan tak aku hiraukan Sawitri yang mendengus keras maupun Wasa yang menggeleng - gelengkan kepalanya mendengan percakapan absurd yang terjadi di hadapannya.

"Ke arah kiri, Rengganis. Sungainya ada di sana." Ucap Wasa sambil menunjuk arak berkebalikan dengan arah yang aku ambil

"Eeeeh"

***

Meregangkan tubuhku yang rasanya kaku karena berada di atas kuda berjam - jam. Paling tidak berburu selalu menjadi cara ampuh menyalurkan emosi ataupun pikiran yang penat. Benar kata orang bahwa manusia akan terus - menerus menghadapi masalah hingga akhir hayatnya. Kadang kala masalah bahkan datang berbarengan atau hal itu hanya terjadi padaku ... Entahlah

Kembali dari peperangan yang menyita tenaga dan pikiranku sekaligus. Ternyata kemampuan pasukan Daha memang meningkat pesat sejak terakhir kali pasukan kami saling berhadapan di medan perang. Siasat yang mereka gunakan juga sangat berbeda.

Perkataan Ayahanda sepertinya benar, bahwa Daha telah mendapat bantuan dari pihak luar. Entah dari Kerajaan Kediri atau malah Kerajaan Mataram. Tetapi jangan panggil aku Anusapati, jika tidak bisa menyusun siasat yang lebih baik dari mereka. Apalagi perang ini sebagai pembuktian kemampuanku di hadapan Ayahanda dan lebih penting lagi yaitu bagi rakyat Tumapel. Seberapa besar kekuasaan Ayahanda tak ada bisa menutup mulut seluruh rakyat Tumapel.

Bukan terobsesi dengan tahta, hanya penasaran saja apa yang akan Ayahanda lakukan untuk mengelak ketika harus memberi tahta padaku. Jauh di dalam hatiku, sebenarnya aku ingin meninggalkan istana dan menyepi di pegunungan. Namun aku tahu jika aku benar - benar melakukannya, maka Bunda Ratu mungkin akan meninggal di tempat karena kaget.

Aku ingat, dulu saja saat aku meminta untuk pindah dari kawasan istana utama menuju kediamanku sekarang, Bunda Ratu sakit selama seminggu. Mungkin lebih tepat jika Bunda Ratulah yang terobsesi menjadikan aku duduk di atas tahta Tumapel. Wajar sebenarnya karena beliau Ratu dan aku Pangeran tertua Tumapel. Akan ditaruh di mana harga dirinya jika yang naik tahta adalah anak selir. Apalagi aku sehat walafiat sehingga tidak mungkin ada alasan menggantikanku. Memang yang tidak wajar di sini adalah sikap Raja alias Ayahandaku itu sendiri. Memikirkan dia membuat kepalaku pening seketika.

"Kanda, sayang sekali tadi panahku meleset. Sedikit lagi aku pasti bisa memanah harimau itu. Kenapa pula harimau itu berbelok, jadi panahku malah mengenai batang pohon" Ucap Tohjaya kesal dan berhasil membuyarkan lamunanku.

"Apa menurut Kanda Tohjaya, harimau akan berdiri diam dan menunggu dipanah oleh Kanda, hm ?" Tanya Pangeran Mahisa Wong Anteleng jahil.

"Bukan itu maksudku Mahisa, tetapi jika tidak ada pohon itu maka panahku bisa mengenainya, Benar tidak Sadawira ?" Tanya Pangeran Tohjaya memastikan.

"Benar, Pangeran. Mengapa juga hutan ini penuh dengan pohon ? Aneh sekali bukan ?" Balas Raden Sadawira yang berpura - pura heran.

"Iiiissshh ... kau sama saja dengan Mahisa. Bisa tidak kau membelaku sekali saja ?" Ucap Pangeran Tohjaya kesal

"TIDAK"

"TIDAK"

Jawab Pangeran Mahisa Wong Anteleng dan Raden Sadawira bersamaan lalu mereka berdua tertawa sedangkan Pangeran Tohjaya mendengus mendengar jawaban adik dan sepupunya tersebut.

Heran, mengapa adik - adikku selalu berdebat tak jelas entah di istana maupun di luar istana ? Tetapi itu juga menjadi hiburan tersendiri bagiku. Sepertinya aku harus ke sungai nanti, karena badanku rasanya lengket semua. Melihat seekor elang yang terkulai lemas karena sayap kirinya tertembus panahku. Walau badannya terlihat tak berdaya tetapi matanya tetap menyorot tajam. Aku harap dia bisa kembali sehat setelah diobati. Memelihara seekor elang sepertinya tidak buruk.

Ternyata cukup lama kami di dalam hutan. Langit mulai berubah gelap saat kami mendekati pondok. Dahiku mengeryit ketika melihat dari jauh Sawitri berjalan bolak - balik di depan pondok. Pandangan kami saling bertemu sehingga dia buru - buru menyambut kedatangan kami sambil memberi hormat.

Turun dari kuda kami masing - masing. Lalu Madra mengambil alih tali kekang kudaku untuk menambatkannya di palang kayu di pingir pendopo. Begitupun para prajurit mengurus kuda - kuda kami lainnya. Namun perhatian kami teralih saat mendengar obrolan dari dua orang yang mendekati pondok. Terdengar pula samar tawa saat menanggapi ucapan salah satunya.

Dahiku mengeryit kala menyaksikan Wasa dan Rengganis berjalan mendekati kami. Sesaat mereka memandang ke arah kami dan seketika itu pula mereka menghentikan obrolan. Bahkan kedua ekspresi mereka berubah terutama raut muka Rengganis. Mendengus pelan, memangnya mukaku semengerikan itu apa ? Memiliki ibu yang merupakan wanita tercantik di Tumapel, tentu aku mewarisi kerupawanannya. Ah, aku mulai pahan akan sikap aneh Sawitri tadi "Dari mana kalian berdua ?" Tanyaku pada Wasa dan Rengganis.

"Kami dari sungai untuk mengambil air, Pangeran." Jawab Wasa tenang sambil memberi hormat kemudian menurunkan bambu - bambu berisi air.

"Dan apa yang kau bawa, Rengganis ?" Tanyaku agak mengeryit sekali lagi karena heran untuk apa dia membawa - bawa hewan itu.

Mengangkat beberapa ekor ikan cukup besar yang terikat buluh bambu "Tadi Wasa yang menangkapnya untuk hamba. Apa Pangeran tidak tahu bahwa ini namanya ikan ?" Tanyanya dengan muka polos yang membuat aku ingin sekali mengambil panahku lagi. Memang ikan jarang disajikan di istana, tetapi apakah menurutnya aku sebodoh itu sehingga tidak tahu itu ikan ? Parahnya Tohjaya kelepasan hampir tertawa yang kemudian dia samarkan menjadi batuk - batuk. Sialan ...

"Kau pikir aku bodoh ? Maksudku mengapa kau menangkap ikan karena kami pasti membawa hewan buruan, Rengganis. Apa kau meninggalkan otakmu di istana, haah ?" Makiku kesal

"Mohon beribu maaf, Pangeran" Jawabnya pelan tapi gagal menyembunyikan kejengkelannya.

"Aku tidak perlu maafmu. Aku perlu PEN - JE - LA - SAN ! " Kata - kataku tak sabar.

Mengerucutkan bibirnya, heran mengapa dia selalu berhasil membuatku jengkel. Ada - ada saja tingkahnya yang di luar kebiasaan perempuan normal. Namun di lain waktu dia bisa amat sangat cerdas, bahkan hanya dia yang bisa membaca segala taktik yang aku jalankan. Siapa sebenarnya dia ???

Mencoba tersenyum walau tetap terlihat tidak tulus, kemudian menjawab "Maaf Pangeran, hamba minta Wasa menangkapkan ikan karena hamba kira Pangeran akan memburu babi hutan. Heeem ... Hamba tidak bisa makan daging babi, Pangeran." Ucapnya

Nah, benarkan ? Mana ada pelayan yang memilih - milih daging yang akan dia makan. Diberi kesempatan untuk makan daging saja seharusnya mereka sudah bersujud di kakiku, sedangkan perempuan satu ini malah ... ckckck ... aku sampai kehabisan kata untuk mengambarkan keanehan seorang Rengganis.

Makin hari aku makin yakin dia bukan perempuan biasa, terlalu mencurigakan. Walau entah kenapa aku masih yakin dia juga tidak memiliki niat jahat terutama padaku. Mungkin benar tuduhan Praya bahwa aku sudah kehilangan kewarasanku karena Rengganis.

"Jadi ... ?" Tanyaku penasaran akan kelanjutan penjelasannya walaupun aku yakin pasti lebih tidak masuk akal lagi.

Tersenyum lebar salah tingkah dan melirik hewan buruan kami, sebelum melanjutkan "Hamba tidak tahu jika Pangeran membawa rusa sebagai hewan buruan. Padahal hamba penasaran bagaimana rasanya daging rusa ? Hamba belum pernah makan daging rusa karena tidak umum dimakan, apalagi rusa terlihat lucu jadi tidak tega memakannya." Mengerucutkan bibirnya sekali lagi "Tapi rusanya juga sudah mati, hamba juga ti___"

"Apa kau ingin memakan rusa hidup - hidup, Rengganis ? Apa kau benar - benar siluman, haaah ?" Tanyaku dengan nada naik karena sudah tak sanggup menahan jengkel padanya.

"JADI ITU BENAR ?" Pekik Sawitri sebelum dia buru - buru menutup mulutnya dan menunduk, sepertinya dia menyadari ketidak sopanannya karena ikut campur. Sedangkan semua mata memandang ke arah Rengganis yang makin salah tingkah.

-----------------Bersambung--------------------

20 November 2020
-----------------------------------------------------------

Sampai jumpa di Jumat

Biarkan Rengganis mencari jawabannya sendiri, sebagai bahan penyusunan 'Pledoi' alias pembelaan
karena
Mbah Google belum ada yaa
🤭

Continue Reading

You'll Also Like

33K 1.7K 8
Kisah Klasik tentang cinta masa SMA yang dialami seorang cewek gendut nan jutek bernama Kintara ini cukup unik ia tak mengira dengan penampilan fisik...
1.3K 109 35
Bagimana jika kamu yang awal nya takut dengan pria yang hanya bisa kamu lihat tetapi semakin berjalan nya waktu kamu malah mecintainya. Pria itu t...
112K 6.2K 31
Ketika ia secerah matahari kemudian menjadi sedingin es. Ketika ia bisa menjadi Ratu kenapa harus menjadi rakyat biasa. Nb: Cerita ini hanya cerita f...
12.6K 2.5K 35
Penulis bahkan tidak tau mengapa memberikan judul demikian, silakan dibaca. Semoga suka, jika tidak suka juga tidak apa-apa. Terimakasih banyak sudah...