Code Atma - A Fanfiction Comp...

By IreneFaye

533 53 11

CODE ATMA adalah game bergenre RPG dengan mekanisme idle, asli buatan Indonesia. CODE ATMA terinspirasi dari... More

Sebelum Membaca ...
KANDITA
SOMAWARI

Malam Kejahilan

88 10 8
By IreneFaye

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Nathan selesai mengenakan seragamnya dan berjalan menuju UGD, tempatnya harus bekerja malam ini.

Nathan tak biasanya bekerja di UGD, tapi kurangnya staf dikarenakan salah satu rekannya yang mengambil cuti melahirkan, menyebabkan rotasi tim perawat untuk sementara berubah.

Ritual rotasi tim berjalan seperti biasa. Tim perawat sebelumnya mengoperkan pekerjaan apa saja yang telah dilakukan dan yang masih harus diselesaikan; mengoperkan pasien-pasien mana yang masih membutuhkan perhatian, atau sudah dapat dipindahkan ke bangsal; dan tentu saja mengoperkan daftar dokter jaga, dan dokter spesialis siap panggil yang bertugas malam itu. Masa kerja Nathan berlangsung selama delapan jam, dan pekerjaan dibagi rata pada tiga perawat.

Tidak sampai setengah jam berlalu, hujan deras mengguyur rumah sakit dan membuat kaca-kaca jendela UGD bergetar. Hampir seluruh pasien yang masih tersisa di UGD telah dipindahkan ke bangsal, dan Nathan dapat melihat dua orang rekannya tampak duduk santai di meja perawat sambil sedikit bersenda gurau dengan dokter jaga. Tak begitu banyak pasien yang datang ke rumah sakit di cuaca seperti ini. Itu artinya tim kerjanya dapat sedikit beristirahat dan menarik napas lega.

Nathan melirik sekilas ke satu-satunya pasien yang tersisa di ruangan itu. Seorang anak perempuan yang jelas sekali adalah keturunan orang asing dengan rambut pirang dan mata hijau. Ini bukan pertama kalinya rumah sakit tempat Nathan mendapat pasien orang asing, tapi tetap saja kedatangan orang asing di rumah sakit mereka bukanlah pemandangan yang umum.

Dari yang Nathan tahu, anak itu terjatuh dan mematahkan tangannya saat ia bermain arcade di mal. Ia dijadwalkan untuk menjalani operasi besok pagi, dan kini orang tua anak itu sedang mengurus keperluan administrasi agar anak itu dapat segera dipindahkan ke bangsal. Anak itu tampak menatap gelisah ke arah jendela UGD yang berderak dihantam siraman hujan.

Nathan memandang sisa cairan infus yang mengalir ke selang yang terhubung ke tangan gadis itu dan memutuskan kalau ia harus segera mengganti botol cairan infusnya. Nathan mengambil botol cairan infus baru dari lemari obat sebelum berjalan menghampiri gadis itu dan menyapanya.

Anak itu tampak tersentak saat menyadari keberadaan Nathan. Selama beberapa saat mata mereka bertemu, dan Nathan dapat melihat ketakutan tergambar di kedua pupil hijaunya. Nathan tak menyalahkannya, tentu saja. Bagaimanapun juga Nathan tahu kalau ia memiliki perawakan yang sedikit menyeramkan di mata anak-anak. Tubuh kurus, kulit putih pucat disertai kantung mata menghitam membuatnya cukup mirip dengan hantu atau mahluk gaib yang sering ditampilkan di televisi. Ditambah lagi, sebagai orang asing, anak itu jelas tidak nyaman dengan keberadaan orang yang belum tentu dapat memahami bahasanya.

Berdasarkan pengalaman, Nathan memilih untuk tidak menenangkan anak perempuan itu dengan senyuman. Ia tahu di mata anak-anak senyumnya lebih terlihat mengganggu ketimbang memberi ketenangan, jadi Nathan hanya menunjukkan botol infus yang dibawanya dan menunjuk ke arah cairan infus yang harus digantinya. Anak itu mengikuti arah jari Nathan sebelum kemudian mengangguk. Memberi tanda bahwa ia tahu bahwa Nathan bukan bahaya untuknya.

Nathan dengan sigap mengganti cairan infus anak itu sebelum kemudian menyadari bahwa anak itu kini kembali menatap ke arah jendela yang terus berderak. Mata hijau gadis itu tampak cemas.

Nathan menatap ke arah meja administrasi, dan melihat bahwa butuh waktu sedikit lebih lama bagi orang tua anak itu untuk menyelesaikan proses pindah ruangannya. Di meja perawat ia dapat melihat dokter dan rekan-rekannya masih sibuk bersenda gurau dan tidak terlalu memperdulikan kegusaran yang jelas tergambar pada wajah anak itu.

Nathan membaca sekilas gelang pasien yang melingkar di tangan sehat anak itu. Nama 'Rachel Murphy' tercetak jelas di gelang itu, dan dari gelang itu juga Nathan tahu kalau Rachel berusia sembilan tahun. Perlahan ia menarik bangku plastik yang berada di dekat brankar sang anak, sebelum duduk di sampingnya.

"Itu hanya hujan," ujarnya pelan dalam bahasa inggris yang cukup fasih. Rachel serta merta menoleh ke arahnya dengan mata membesar. Gadis itu jelas terkejut mendapati Nathan berbicara padanya.

"Namaku, Nathan. Apa kau keberatan jika aku menemanimu sampai orang tuamu menyelesaikan urusan mereka?" tanyanya sambil memperbaiki aliran cairan dalam selang infus yang dilihatnya sedikit tersendat. Anak itu langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Apa kau takut dengan hujan, Rachel?" tanya Nathan pelan. Rachel kembali menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak takut dengan hujan, tapi malam ini Halloween, dan Mom bilang kalau di malam Halloween, hantu dan monster akan melintas dari dunia mereka dan mengusili dunia kita," jelas Rachel seraya kembali menatap ke luar jendela UGD. "Halloween kali ini aku tidak mengenakan kostum, dan Dad tidak menyiapkan bonbon. Tapi ini bukan salahku, Mom bilang tahun ini kita tidak perlu menyamar, karena para hantu dan monster tidak akan mengikuti kita ke negara ini. Tapi Mom jelas sekali salah, karena salah satu dari mereka mengusiliku di arcade, dan aku bisa melihat kalau mereka kini mengetuk-ngetuk kaca dari luar jendela."

Nathan mengerutkan dahi mendengar penjelasan Rachel yang lebih terdengar bagai racauan itu. Pria itu meraba ponsel yang berada di saku celananya seraya menatap ke arah jendela. Ia tak melihat apa-apa di sana.

"Kau bisa melihat mereka di luar jendela?" tanyanya memastikan. Rachel menjawabnya dengan anggukan.

Nathan baru akan bertanya lebih lanjut, tapi kedua orang tua Rachel kini telah kembali dan salah satu rekan Nathan di meja perawat memberi sinyal agar Nathan segera kembali ke meja perawat. Nathan segera pamit pada Rachel dan orang tuanya sebelum mencari tahu apa yang diinginkan kedua rekannya, sekalipun, tanpa mendengarkan mereka pun, Nathan tahu apa yang mereka ingin Nathan lakukan.

Dokumentasi dan administrasi selesai, itu artinya sudah saatnya Rachel dipindahkan ke bangsal, dan sebagai satu-satunya perawat pengganti yang bukan anggota asli tim jaga mereka, tentu saja tugas untuk mengantarkan Rachel dan orang tuanya ke bangsal jatuh pada dirinya.

Tak sampai lima belas menit setelah mereka menyelesaikan dokumentasi terakhir berkas Rachel, Nathan kini mendorong kursi roda Rachel dengan kedua orang tua gadis itu di sisinya. Rachel akan dirawat di bangsal VIP, dan bangsal itu berada di lantai teratas bangsal perawatan, tepat di bawah kantor administrasi rumah sakit tempatnya bekerja.

Orang tua Rachel fasih berbahasa Indonesia. Dalam perjalanan mereka menuju lift mereka bercerita kalau mereka sebenarnya berasal dari Philadelphia, Amerika Serikat. Mereka pindah ke kota ini karena ayah Rachel ditugaskan oleh kantornya untuk meninjau dan mengawasi kinerja kantor cabang baru perusahaan tempatnya bekerja. Mereka adalah pasangan yang ramah dan tampak bahagia, namun satu-satunya hal yang mengganggu Nathan adalah, tidak satu pun dari mereka yang menyadari kegusaran yang jelas tergambar di wajah Rachel. Gadis itu tampak ketakutan dan terus melirik ke arah tiap-tiap suara kecil yang disebabkan oleh angin saat pintu terbuka, atau denyit roda kursi rodanya yang terkadang berderik lebih kuat dari seharusnya.

Suara denting mengiringi terbukanya pintu lift menuju lantai teratas. Salah satu lampu penerang lift tampak berkedip rusak, membuat aura yang terpancar dari lift tampak ganjil. Rachel terisak saat melihat lampu lift yang tak berhenti berkedip. Ibu Rachel yang menyadari isakan itu, salah mengartikan isak ketakutan putrinya sebagai isak kesakitan. Wanita itu meminta Nathan untuk memberikan gadis itu obat pereda sakit saat mereka tiba di kamar nanti. Nathan berjanji akan menyanggupi permintaan wanita itu sebelum mendorong kursi roda Rachel masuk ke dalam lift, namun janji Nathan, jelas sekali tidak menenangkan Rachel.

Kedua orang tua Rachel masuk ke dalam lift setelah Nathan dan memencet tombol menuju lantai tujuan mereka. Selama beberapa saat mereka menunggu pintu lift mereka menutup, namun seolah ada yang menahan, pintu lift tak juga kunjung tertutup.

Ayah Rachel menekan tombol tutup paksa pintu lift. Pintu lift sempat menutup separuh jalan namun kembali terbuka lebar dengan suara yang sedikit lebih kuat. Kini tak cuma Rachel namun kedua orang tuanya dan Nathan pun ikut tersentak. Kedua orang tua Rachel serta merta menoleh ke arah Nathan dengan tatapan bingung.

Tak nyaman mendapat perhatian berlebihan yang didapatkannya, pria itu langsung melemparkan alasan asal tentang rumah sakitnya yang mulai tua sambil memencet tombol tutup paksa pintu lift beberapa kali berulang-ulang. Kali ini pintu lift menutup sempurna dan lift pun mulai bergerak naik.

Perlahan Nathan kembali meraba ponsel dalam saku celananya. Ia menggenggam erat peranti itu sampai pintu lift kembali terbuka di lantai bangsal perawatan teratas. Tepat di depan meja perawat bangsal VIP. Salah satu rekan Nathan yang bertugas di tempat itu telah menantinya. Nathan diam-diam menghela napas lega. Tugasnya hampir selesai. Dalam hati ia berharap tak ada pasien baru yang menunggunya di UGD, karena ia belum siap berurusan dengan masalah baru malam ini.

Urusan serah terima pasien selesai tanpa masalah berarti. Rachel dan orang tuanya tampak senang dengan kamar perawatan mereka yang semewah kamar hotel. Nathan sementara itu memastikan tidak ada masalah pada gips dan saluran infus Rachel.

"Mereka tidak ikut masuk ke sini," bisik Rachel riang saat Nathan memasang pagar pembatas ranjang gadis itu.

Nathan menoleh sekilas ke arah kedua orang tua gadis itu. Ayah Rachel tampak sibuk meletakkan barang-barang bawaan mereka ke dalam lemari, sementara ibunya berada di kamar mandi. "Siapa mereka, Rachel?" tanya Nathan pelan.

Rachel menatap Nathan dengan tatapan sedikit ragu. "Para monster. Mereka mengikuti kita sampai ke dalam lift, tapi saat kita sampai di lantai ini, mereka berhenti," bisik gadis itu akhirnya. Nathan kembali meraba ponsel dalam sakunya.

"Mereka tidak ikut masuk ke dalam ruangan ini?" tanya Nathan memastikan. Rachel menggeleng dengan penuh semangat.

"Mereka berhenti di pintu lift," jawab gadis itu riang. Nathan tersenyum kecil sebelum kemudian undur diri dari kamar perawatan itu.

Ia mencuci tangannya, menyelesaikan sisa berkas serah terima pasien di meja perawat, sebelum kemudian kembali berjalan ke arah lift. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan membuka aplikasi Code Atma dan mengarahkan kamera ponsel tersebut ke arah pintu lift sebelum menekan tombol turun pada panel dinding untuk memanggil lift ke lantainya.

Pocong, atma milik Nathan tampak melayang membelakangi Nathan. Atma itu tampak menatap pintu lift dengan sorot mata serius. Sesuatu yang jarang dilihat Nathan pada wajah atmanya. Ia kini tahu, apapun yang mengganggu Rachel, bukanlah imajinasi yang dibuat-buat gadis itu.

Jam digital di ponsel Nathan menunjukkan waktu yang mulai mendekati tengah malam. Bangsal perawatan VIP berada tepat satu lantai di bawah kantor administrasi, yang pada jam seperti ini, tak memiliki penghuni manusia. Ia tahu ada satu atma yang kekuatannya menyaingi Kuntilanak lantai ICU di lantai itu. Jadi kemungkinan, apapun itu yang mengikuti Rachel, tak berani mendekat ke bangsal perawatan VIP karena dihalangi aura kekuatan atma itu. Tapi atma itu jelas tidak takut dengan atma Nathan, dan karena itu ia harus siap menghadapinya.

Pintu lift kembali terbuka dan Nathan masuk ke dalamnya sambil mengarahkan ponselnya ke arah lampu lift. Lampu itu tak lagi berkedap-kedip. Tak ada atma lain di dalam lift yang dapat dilihat Nathan melalui layar aplikasi Code Atmanya. Nathan menekan tombol menuju lantai dasar dan menunggu pintu lift kembali tertutup.

Saat pintu itu tertutup. Lampu di dalam lift tiba-tiba padam dan Nathan pun dikelilingi kegelapan. Hanya cahaya dari layar ponselnya yang menampilkan tampilan kamera aplikasi Code Atma yang menjadi satu-satunya sumber penerangan di dalam lift itu. Suara tawa anak kecil tiba-tiba menggema di kepala Nathan.

"Trick or Treat!" suara anak perempuan menggema di kepala Nathan. Suara itu mirip suara Pocong, atmanya, namun Nathan tahu kalau atmanya tidak bisa berbahasa Inggris. Atmanya yang bersifat kekanak-kanakan itu bahkan tak sepenuhnya mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Lampu di dalam lift tiba-tiba menyala terang seolah membutakan Nathan. Suara anak perempuan yang menggema di kepalanya pun tiba-tiba berubah menjadi jeritan. Nathan merasa kepalanya akan pecah, namun tidak ada serangan langsung ke arah tubuhnya. Ia mengarahkan kamera Code Atmanya ke seluruh penjuru lift, tapi ia tak melihat atma apapun di dalam ruang itu.

"Trick or Treat! Trick or Treat! Trick or Treat!!!" teriakan suara anak perempuan itu makin menjadi-jadi terdengar di dalam kepalanya, dan lampu lift bergantian hidup dan mati mengikuti repetisi teriakan itu. Dari kamera ponselnya Nathan dapat melihat pocong melayang dengan gelisah berusaha mencari sumber gangguan yang dialaminya.

Tiba-tiba lift tempat Nathan melesat turun dengan cepat. Seolah lift tempatnya berada itu putus, dan Nathan kini merasa dirinya terjun bebas ke lantai dasar. Nathan dengan cepat kembali mengarahkan kamera Code Atmanya ke arah langit-langit lift. Ia melihat sepasang kaki kecil menggantung dari lampu lift yang menyala terang itu, namun sisa tubuh mahluk tersebut tak dapat ia lihat karena terhalang oleh atap. Tanpa perlu memberi arahan, Pocong langsung menarik cepat kedua kaki mahluk itu dan menghempaskannya ke lantai lift. Dengan hentakan kasar, lift itu tiba-tiba berhenti. Nathan pun kini dapat melihat mahluk apa yang menjadi lawannya.

Mahluk itu memiliki tubuh yang kecil. Ukurannya tak lebih dari ukuran seekor kucing, dan ia memiliki penampilan selayaknya anak perempuan. Rambut hitamnya dikuncir dua dengan hiasan bunga pada masing-masing kuncirnya. Di antara dua kuncir rambutnya tampak dua antena berbentuk daun mencuat dari kepala mahluk. Telinga mahluk itu runcing, matanya hijau, dan dua sayap kupu-kupu terkepak dari punggungnya. Setangkai bunga dandelion bermahkota merah muda digenggam dalam tangan mungilnya. Peri. Mahluk itu adalah atma peri.

Peri bukanlah atma yang jarang ditemukan Nathan, namun baru kali ini Nathan melihat peri yang cukup kuat untuk membuat gangguan sehebat yang dialaminya. Di tambah lagi atma itu berbicara dalam bahasa Inggris.

Peri yang biasa ditemukan Nathan jarang berbicara dalam bahasa manusia, dan kalau pun ada tak banyak yang berbicara dalam bahasa Indonesia, kebanyakan berbicara dalam bahasa daerah setempat tempat ia menemukannya, dan biasanya itu tak lebih dari satu atau dua kata. Tapi peri ini berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih.

"Rachel ... di mana Rachel?" tanya atma bertubuh kecil itu dengan suara bergetar dalam bahasa Inggris yang kental dengan logat Irlandia. Mata hijaunya yang besar tampak berkaca-kaca, dan Nathan dapat melihat air mata menggenang dan mulai mengalir di sisi-sisi matanya. Pocong tetap melayang siaga di samping Nathan, namun atma yang menjadi lawannya tak sama sekali bergerak untuk menyerang mereka.

"Rachel ada di bangsal lantai atas," Nathan menjawab perlahan dengan juga berbahasa inggris. Pocong menatapnya dengan tatapan bingung, namun Nathan memilih untuk tak menghiraukannya. "Kenapa kau mengganggu Rachel?" tanya Nathan pelan.

Peri itu mengangkat kepalanya dan menatap Nathan dengan mata terbuka lebar. "Ini malam Halloween!" jawab atma itu seolah itu adalah jawaban yang amat jelas. "Mom bilang malam Halloween adalah malam di mana hantu dan monster melintas ke dunia manusia. Mom juga bilang kalau manusia tak memberikan sajian pada para monster, maka kami boleh mengganggu dan mengusili manusia."

Selama beberapa saat Nathan hanya memandangi atma itu dengan pandangan tak percaya. Ia berusaha mencari logika dalam kata-kata peri tersebut.

"Kenapa Rachel?" tanya Nathan lagi. Ia tak sepenuhnya punya waktu untuk menghadapi atma saat ini, namun entah kenapa ia merasa ia harus menyelesaikan urusannya dengan atma itu, sebelum ia dapat kembali bekerja.

"Rachel adalah temanku!" jawab peri dengan suara ceria. Atma itu mengepakkan sayapnya dengan cepat dan kini melayang-layang dengan riang di hadapan Nathan. Pocong tampak menatap mahluk itu dengan tatapan tidak suka. Namun atmanya yang selama ini tak pernah berhenti bicara, memilih untuk menutup mulut dan melontarkan tatapan bermusuhan ke arah atma berbahasa Inggris yang terbang di depan mereka. Dalam hati Nathan bersyukur. Setidaknya ia tak harus berurusan dengan dua atma kekanakan dalam waktu bersamaan.

Nathan menarik napas panjang sebelum kembali menatap peri dengan tatapan lelah. "Rachel terluka, dan ia butuh perawatan. Itu yang terjadi kalau kau menyerang manusia," jelas Nathan perlahan untuk memastikan bahwa kata-katanya dipahami atma bersayap kupu-kupu yang terbang riang di sekelilingnya.

Peri menghentikan kepakan sayapnya dan mendarat di lantai lift. Antena daun di kepalanya tiba-tiba layu. Kepalanya tertunduk, dan matanya kembali berkaca-kaca. "A, aku tidak menyerang Rachel. Aku hanya menakutinya sedikit di arcade. Tapi aku tak menyerangnya ..." ucap mahluk itu dengan suara bergetar.

Nathan merenungkan sejenak jawaban atma itu dan menemukan kalau atma itu tidak berbohong. Ia sempat melihat luka di tangan Rachel sebelum tangan anak itu dibalut gips. Tidak ada tanda-tanda pembusukan yang menjadi ciri khas serangan atma pada tangan anak itu. Jadi kemungkinan Rachel benar-benar terjatuh di arcade karena ditakut-takuti oleh peri, tapi atma itu tidak menyerangnya. Jika peri tidak menyerang anak itu, dan ia benar adalah teman Rachel dan atma itu mengikuti Rachel dari negara asalnya, maka kemungkinan besar, atma yang kini berdiri di hadapannya adalah atma milik Rachel sendiri.

Hal lain yang disadari Nathan adalah, atma itu juga tidak menyerangnya. Ia jelas berusaha menakut-nakutinya, tapi tak sekalipun atma itu bergerak untuk menyerangnya. Sama seperti Rachel, Nathan dapat melihat bahwa peri tak memandangnya sebagai bahaya. Ia hanya ingin mengusilinya.

Nathan memandang sekelilingnya sejenak. Lift tempatnya berada masih berhenti, namun pintu lift tidak terbuka. Nathan kembali menekan tombol menuju lantai dasar, dan lift kali ini bergerak turun dengan kecepatan yang normal. Peri telah berhenti mengganggunya.

Pria itu akhirnya merendahkan dirinya dan berjongkok untuk menatap peri dengan lebih dekat. "Dengar," mulainya pelan. "Jika aku memberimu permen, apa kau berjanji untuk tidak mengganggu Rachel dan orang-orang di sekitarnya?" tanya Nathan memastikan.

Peri kembali mengangkat kepalanya, menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Trick or Treat!" ujar mahluk itu dengan suara pelan. Beri kami jamuan atau kami jahili. Nathan mengulang kalimat itu dalam kepalanya.

Ia merogoh saku celana sejenak dan mengeluarkan sekotak permen dari dalamnya. Sebagai perawat yang sedang jaga malam, tak jarang ia memang mengantongi cemilan untuk mengusir kantuk. Permen yang kali ini dikantonginya adalah permen karamel berisi coklat. Ia tak tahu apa itu permen yang sama yang biasa ditemui peri di negaranya, tapi hanya itu yang dimilikinya saat ini.

Nathan mengeluarkan sebutir permen dari kotak permennya, sebelum menyodorkan permen tersebut pada peri. Atma tersebut langsung menerima pemberian Nathan dengan takjub. Ukuran permen itu sedikit lebih besar dari mulut atma tersebut, namun entah bagaimana, begitu permen tersebut ia dekatkan ke bibirnya, permen itu langsung menghilang dan wajah peri tersebut langsung dipenuhi kebahagiaan. Nathan melirik sekilas ke arah pocong yang menatap kejadian itu dengan penuh rasa ingin tahu.

Nathan mempertimbangkan tindakannya selama beberapa saat, sebelum memberikan sebutir permen juga pada pocong. Atma itu mengikuti apa yang dilakukan peri, dan sekalipun Nathan tak dapat melihat bibir atmanya, tapi wajah pocong pun ikut berubah menjadi ceria. Ia tak lagi dapat melihat ekspresi antagonis terlukis pada wajah atmanya. Ia tidak tahu apa atma memiliki sistem pencernaan untuk memproses apa yang mereka makan. Tapi permen yang ia berikan jelas membuat kedua atma di dekatnya itu bahagia.

"Terima kasih!" suara peri menggema bahagia di kepalanya. Atma kecil itu kembali mengepakkan sayapnya dan kemudian mendaratkan kecupan singkat di pipi Nathan sebelum terbang menghilang meninggalkan dirinya yang kini mematung.

Pintu lift terbuka menampilkan jalur menuju UGD, namun selama beberapa saat Nathan hanya dapat termenung mencerna kejadian yang baru dialaminya. Ia sudah pernah mendapat serangan atma tentu saja. Namun baru kali ini ia merasakan ciuman dari seekor atma. Kecupan peri di pipinya terasa hangat. Bagai elusan gula-gula kapas yang lengket ke kulitnya.

"NATHAAAN!!!" teriakan kencang pocong di kepalanya serta merta membuat pria itu tersentak. Pocong mulai melontarkan teriakan-teriakan protes yang membuat kepalanya berdenyut menyakitkan. Tiba-tiba saja Nathan merasa kalau sisa jam kerjanya tidak dapat ia lalui dengan tenang. Malam itu jelas akan menjadi malam yang panjang.

***

"Whoa, kau terlihat seperti zombi," komentar seorang wanita serta merta menyentakkan Nathan dari lamunannya. Ia kini tengah duduk di kafe yang berada di seberang rumah sakit tempatnya bekerja. Jam kerjanya telah berakhir dan dia sangat-sangat membutuhkan secangkir kopi.

Ia mengangkat kepalanya sejenak dan menatap wanita berkacamata yang kini menatapnya dengan tatapan ceria. Nathan meraih ponselnya dan mengarahkan kamera Code Atma ke arah wanita itu. Senyuman Somawari segera menyambutnya dari balik peranti itu.

"Dokter Wulan ..." ucap pria itu lelah seraya meraih cangkir kopinya. "Apa yang membuat kau datang ke sini, bukankah kau kerja di kota lain?" tanyanya sebelum menyesap kopi pahit yang mengisi cangkirnya. Wulan adalah dokter yang bekerja sebagai dokter internship di rumah sakitnya tahun lalu. Terakhir ia dengar, wanita itu diterima bekerja di rumah sakit swasta pulau seberang.

Wanita itu tertawa dan menunjukkan tanda pengenal yang tergantung di lehernya. "Aku sedang ikut seminar di rumah sakitmu. Kau baru selesai jaga malam?" tanya wanita itu ceria. Nathan hanya menjawabnya dengan anggukan lemah.

Wulan meletakkan cangkir kopinya di atas meja dan duduk di seberang Nathan. Aroma kopi bercampur kayu manis segera menyerang hidung Nathan. Dahinya serta merta berkerut. "Apa itu?" tanya pria itu seraya menatap cangkir Wulan dengan tatapan tak mengerti.

"Kopi susu labu rempah!" jawab Wulan ceria. "Kau hanya bisa mendapatkan minuman ini di bulan Oktober, dan rasanya menyenangkan!" ujar wanita itu seraya mengaduk cangkir kopinya. Nathan hanya menatap cairan pekat di dalam cangkir wanita itu dengan tatapan tak suka.

"Jadi ... apa yang mengganggumu?" tanya Wulan akhirnya. Nathan hanya menatap wanita itu dengan tatapan bingung.

"Ayolah Nathan, aku juga pernah jaga malam, dan penampilanmu tidak akan seperti itu sekalipun kalau kau habis mengurusi korban kecelakaan beruntun di UGD. Pasti kau berurusan dengan atma tadi malam!" tebak Wulan yang hanya membuat Nathan kembali menghela napas. Sebagai sesama tenaga medis yang juga seorang seeker, Wulan memang senang bertukar cerita berkenaan atma dengan dirinya. Dan sama seperti atma miliknya, Wulan memiliki cara untuk membuatnya pusing jika ia tak memenuhi kehendak wanita itu.

Nathan pun menceritakan kejadian semalam pada wanita itu, sementara Wulan menghabiskan kopinya.

"Masuk akal." Wulan berkomentar seraya menyeka sisa kopi di bibirnya dengan tisu. "Philadelphia kota yang menjadi tempat koloni Irlandia bermukim saat mereka bermigrasi ke Amerika. Dan Irlandia adalah pelopor budaya Halloween."

"Apa hubungannya dengan atma?" tanya Nathan penasaran.

Wulan serta merta tertawa. "Tidak ada," jawab wanita itu di akhir tawanya. "Anak-anak Irlandia memiliki budaya merayakan hari panen raya di tanggal 31 Oktober dengan mengusili rumah tetangga mereka. Kelakuan mereka sangat mengganggu, sampai saat mereka di Amerika, tetangga-tetangga mereka berusaha menghentikan keusilan para monster kecil itu dengan sogokan permen atau kue. Walaupun orang Irlandia memang percaya bahwa hantu atau roh jahat akan bergentayangan di akhir musim panas, tapi usaha mereka untuk menenangkan roh jahat lebih dengan cara menghias rumah mereka dengan obor atau mengenakan kostum, sehingga monster dan roh jahat menganggap mereka juga adalah monster. Budaya 'Trick and Treating' sendiri adalah budaya buatan manusia untuk menghindari keusilan sesama manusia."

Nathan serta merta menatap wanita itu dengan tatapan tak percaya. Wulan hanya kembali tertawa.

"Yah, tapi bukan berarti atma tak suka mendapat persembahan. Di negara kita bagaimanapun juga kan ada budaya sajen. Dan di Irlandia serta Inggris, orang-orang biasa meninggalkan sepiring susu di dekat jendela untuk para peri. Jadi mungkin peri yang kau temui kemarin berasal dari kelompok peri tradisional yang berasal dari Irlandia kuno. Sekalipun begitu, aku tak tahu apa tindakanmu untuk memberikan permen pada pocong adalah tindakan yang bijaksana," komentar Wulan yang serta merta membuat kepala Nathan kembali berdenyut menyakitkan.

Wulan kembali tersenyum dan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Nathan ikut mengarahkan ponselnya ke arah wanita itu dan melihat Somawari bergerak ke arahnya. Atma yang memiliki penampilan pria berwajah lembut itu mengarahkan tangannya ke arah Nathan dan sekejap kemudian ia dapat merasakan tubuhnya dipenuhi perasaan hangat, dan rasa lelahnya berkurang drastis.

"Jangan bekerja terlalu berat, Nathan. Ambil waktu untuk istirahat, dan kalau kau punya waktu, kenapa tidak coba kopi susu labu rempah yang ditawarkan kafe ini. Rasanya mungkin sama dengan rasa yang kau dapat dari kecupan peri," ujar Wulan sambil tertawa. Nathan dapat merasakan pipinya memanas. Ia tahu bahwa menceritakan bagian itu pada Wulan bukanlah ide yang bagus.

"Aku harus pergi, tapi sepertinya Pocongmu menyukai ideku," kata-kata Wulan membuat Nathan mengarahkan ponselnya ke arah atma miliknya.

"Kopi susu labu rempah! Kopi susu labu rempah!" suara pocong menggema di kepalanya mengiringi kegirangan atmanya yang melompat-lompat mengelilingi Somawari milik Wulan yang hanya memandangi tingkah atmanya dengan senyuman.

Wulan berjalan pergi meninggalkan kafe itu, sementara Nathan memandangi konter barista dengan penasaran. Pria itu akhirnya menghela napas panjang sebelum berjalan menuju konter barista dan memilih 'kopi susu labu rempah' pada menu.

"Trick or Treat ... I'll give you a treat, so youbetter not trick me," bisiknya pelan seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku.

-Fin-

Note:

Cerita ini saya buat untuk mengikuti event Horrorween yang diadakan oleh Developer Code Atma dalam rangka Halloween pada Oktober 2020.

Pocong

Peri

Continue Reading

You'll Also Like

792K 58.3K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
151K 11.6K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
172K 19.2K 47
#taekook #boyslove #mpreg
128K 13.3K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...