end | GRAVITY

By kyvlvtr

74.3K 9K 712

Rasanya terlalu sulit mengabaikan perempuan sesempurna dia kan? -Keanu Abraham Available pdf. Cover berasal d... More

Warning!
I
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI

II

2.6K 362 11
By kyvlvtr

Seperti pagi pada hari-hari kerja biasanya, Rima selalu datang 20 menit sebelum tempatnya di buka. Merapikan kembali penampilannya yang agak berantakan karena berjibaku dengan orang lain di dalam kendaraan umum, Rima menggunakan waktunya sebaik mungkin. Lalu dirinya akan keluar dari loker dan menghampiri konternya, merapikan segala sesuatu yang sebenarnya sudah ia siapkan hari sebelumnya—tepatnya setelah jam operasional berakhir, ia hanya berniat mengeceknya kembali. Kebiasaan yang sudah ia lakukan sejak 5 tahun lalu.

"Rim." Seorang perempuan dengan tampilan yang sama rapinya menganggil, "Sabtu malam kamu ke club?" Tanya Rosa—kawan satu divisi Rima dan pacar Jeje.

"Iya Mbak. Aku ketemu Mas Jeje juga." Jawab Rima, tak berniat berbohong pada seniornya itu. Rosa kemudian hanya mengangguk-angguk mengerti.

"Guys! Morning briefing!" Rima dan Rosa berjalan keluar dari pintu konter, yang membawa keduanya ke back office baru setelahnya ke ruang loker—tempat biasanya briefing dilakukan.

Dan sama seperti briefing biasanya, kepala cabang menyampaikan segala informasi terbaru, komplen yang mereka dapatkan dan motovasi yang sering kali Rima dan rekannya dengar. Diakhiri dengan yel-yel pengemangat. Semua karyawan kembali ke pos masing-masing. Memulai harinya dengan senyuman dan sapaan ramah pada nasabah-nasabah yang terus berdatangan.

Senyum tak juga lepas dari wajah Rima. Matanya yang berpendar manis juga menambah nilai plus pada tampilan Rima secara keseluruhan. Saat itu entah karena beruntung atau memang dirinya sesuai, Rima diterima dari ratusan calon pekerja yang tingginya lebih banyak dari Rima. Si perempuan incaran Keanu ini hanya memiliki tinggi 157 cm. Jauh sekali dengan Rosa yang semampai. Tetapi dapat dilihat dari lamanya Rima bekerja. Si perempuan ternyata di angkat menjadi karyawan tetap—walaupun masih mengisi posisi teller, perempuan yang sudah menyelesaikan strata 1nya itu memilih bertahan karena menyukai apa yang ia kerjakan itu.

"Sebelumnya sudah punya rekeningnya Ibu?" Tanya Rima ramah pada wanita paruh baya di seberangnya.

"Belum Mbak, tapi sudah pernah setor tunai juga." Rima mengangguk dengan senyum ramah. Mengecek informasi yang baru saja disampaikan si wanita paruh baya. "Baik, saya proses ya Bu. Rekening tujuannya benar atas nama Muhammad Fiza?" Si wanita paruh baya mengangguk. Setelahnya pertanyaan-pertanyaan lain kembali di layangkan Rima.

"Ini sudah ya Bu." Rima kembali bangkit dengan form setor tunainya. "Dikirimkan ke Muhammad Fiza sejumlah dua juta lima ratus. Keterangannya juga sesuai." Melingkari tiap angka dan kalimat, Rima menyerahkan form lembar pertama pada si nasabah. "Terima kasih Ibu." Melemparkan senyum perpisahan dan tangkupan tangan, si wanita paruh baya berlalu digantikan dengan nasabah lainnya. "Selamat siang Ibu." Menyambut nasabah selanjutnya, Rima tak pernah melunturkan senyumnya.

"Rima.." Rima menoleh menganggapi panggilan pelan Rosa. "Pinjem 10 ribuan dulu satu." Mengambil kebutuhan Rosa dengan tanggap, Rima menyerahkan satu lembar sepuluh ribu padanya. "Thanks."

"Terima kasih Pak." Rima kembali melemparkan senyum perpisahannya. Dan hingga waktu istirahat tiba—dimulai pukul 11 siang, Nasabah terus berdatangan. Hari senin, jadi tak heran kantor cabangnya lebih ramai. Hari Jum'at dan hari Senin selalu identik dengan suasana yang amat ramai. Hari biasa memang ramai, tapi tak seramai pada hari Senin dan Jum'at.

"Mbak, saya duluan ya yang istirahat sama." Donny—rekan Rima di bagian teller selain Rosa menyela keduanya yang sedang benafas lega karena tak ada antrian nasabah. "Oh boleh Don, udah bilang Pak Yusuf?" Lempar Rosa bertanya. Si satu-satunya pria teller itu mengangguk mengiyakan.

"Yaudah ok Don. Selamat makan siang." Ujar Rima. Bertepatan keluarnya Donny, satu nasabah sampai di depan Rima. Si perempuan manis itu kembali sibuk melayani nasabahnya yang semakin ramai saat jam makan siang. Pegawai front office seperti dirinya pasti memiliki jam makan siang yang fleksibel alias tak sama seperti jam makan siang kantor pada umumnya. Terlebih di jam makan siang biasanya bank malah lebih ramai oleh nasabah.

"Pak Yusuf." Rima menoleh ke belakang, si pria yang sejak tadi berada di belakang mereka menghampiri dengan cepat. "Minta kodenya." Lanjut Rima.

Menunduk dan mencocokan kode miliknya pada layar komputer Rima, si perempuan menggumam terima kasih dengan pelan.

"Transaksinya sudah berhasil ya Pak, terima kasih." Menambahkan anggukan ramah pada pria paruh baya di depannya, Rima turut menghadirkan senyum cerahnya.

"Pak Yusuf.." Rima kembali memanggil, dan panggilan itu terus berulang 2 kali sampai jam satu terlewati. Tepatnya setelah Donny dan Rosa menyelesaikan makan siang mereka. Karena Yusuf mengisi posisi kepala divisi teller, segala transaksi yang melebihi batas wewenang teller, Yusuf sebagai head teller akan mengambil alih wewenang itu sampai limitnya juga.

"Sana makan siang Rima, dan ini tadi 10ribunya ya. Thanks." Menerima sepuluh ribu yang disodorkan Rosa, Rima memasukkanya ke laci di bawah meja kerjanya.

"Aku makan siang dulu ya Mbak." Pamit Rima.

"Bareng saya Rim." Sela Yusuf yang sudah berdiri dari kursinya. "Nanti telepon saya aja ya kalo butuh." Rosa dan Donny mengangguk mengerti—sudah biasa dengan kondisi yang begini.

Berjalan keluar dari tempatnya, Yusuf mengekori Rima dalam diam—jangan lupakan senyum cerah si pria yang tercetak ssmpurna ditiap langkah yang ia ambil.

"Mas Yusuf mau makan siang apa?" Tanya Rima—dengan panggilan non-formalnya karena paksaan Yusuf, dirinya memikirkan kemungkinan mereka berdua memiliki menu yang berbeda untuk disantap dan itu berarti kesempatan yang bagus untuk Rima.

"Saya ikut kamu aja Rim. Kamu makan soto apa tongseng?" Rima tersenyum kaku, bukannya bagaimana. Hanya saja Yusuf ini terlalu jelas menunjukkan ketertarikannya. Si pria tau hampir semua kebiasaan dan kesukaan Rima. Menjadi rekan kerja selama 5 tahun, membuat Yusuf merasa cukup mengenal Rima—kecuali tentang isu pernikahannya yang ditutupi. Dan membuat si pria memiliki kepercayaan diri yang lebih besar.

"Saya lagi pengen bakso Mas." Bersiap keluar dari pintu samping tempatnya bekerja, Rima dan Yusuf bertemu dengan Jeje di balik pintu.

"Eh Mas Yusuf, Rima. Baru mau makan siang?" Tanya Jeje ramah. Dirinya baru berniat kembali setelah menghabiskan waktu makan siang dengan Rosa—si perempuan sudah kembali lebih dulu.

"Iya nih. Baru dapat giliran."

"Wokeh kalo gitu Mas, duluan ya. Rima, duluan." Pamit Jeje melewati keduanya agar bisa mencapai pintu.

"Sepertinya mereka mau menikah." Rima menoleh pada Yusuf yang tingginya terlalu sulit digapai. Apalagi kini Rima sudah mengganti heelsnya dengan sandal tipis. "Itu loh Jeje sama Rosa. Kepala cabang mulai diskusi siapa yang sebaiknya di mutasi." Lanjut Yusuf. Tak seperti Rima yang tertutup akan semua hal yang berhubungan dengan pribadi—bahkan pekerjaan, Yusuf itu selalu menceritakan segalanya pada Rima. Bahkan tentang keluarganyapun Rima tau.

"Menurut kamu gimana?" Dan Yusuf juga selalu mengajak Rima berdiskusi mengenai keputusan-keputusan yang harus ia ambil. Rima sebenarnya sanksi karena keterbukaan itu. Ia juga merasa tak memberikan lampu kuning apalagi hijau. Tetapi si pria terlihat tak perduli dan tetap semangat mendekatinya walaupun sudah mendapatkan penolakan.

"Sayakan beda divisi dengan Mas Jeje ya, jadi saya nggak bisa memberikan perbandingan Mas. Tapi dari pengalaman saya dengan Mbak Rosa, terasa menyenangkan. Kami bisa bekerja sama dengan baik selama 5 tahun ini." Jujur Rima. Selain dikenal tertutup, Rima selalu straight to point—tak basa-basi, dan tak pernah ingin ikut campur urusan orang lain. Rima memang berkawan dengan rekannya yang lain, tetapi hanya sebatas hangout atau nongkrong-nongkrong santai. Rima tak pernah curhat atau membicarakan sesuatu yang mengarah pada ranah pribadinya. Tetapi ia melakukannya. Hanya dengan satu sahabatnya, adik kelas dari zaman sekolah dasar sampai keduanya kini sudah melewati angka 20, Erina Vilda—Erin. Perempuan yang mengetahui seluruh cerita hidup Rima, yang tak pernah menjudge dirinya pada semua keputusan yang ia ambil  termasuk keputusannya untuk menikah di usia 22 tahun, tetapi akhirnya mengajukan pembatalan pernikahan. Ya, bukan bercerai. Tapi Rima membatalkan pernikahannya dan membuat statusnya dalam KTP tetap Belum Menikah alias tidak Cerai Hidup.

"Hmm gitu ya, berarti kamu nggak pengen Rosa keluar?" Kembali pada obrolan Yusuf dan Rima, si perempuan menggeleng cepat. "Bukan begitu Mas, semua keputusan kan ada ditangan Mas Yusuf, Bu Dina sama Pak Erick. Saya mah ikut aja." Balas Rima cepat, tak ingin ada kesalahan pahaman.

Keduanya telah duduk di bangku yang berjajar rapi di dalam kios. Karena jam makan siang sudah lewat, kios bakso ini tak terlalu ramai pengunjung. Hanya ada satu bangku di pojok yang ditempati.

"Kamu pakai bihun sama sawi ajakan? Minumnya es teh manis." Ujar Yusuf sebelum dirinya beranjak memesan. Rima mengangguk dengan cepat, dan menggumamkan terima kasih.

Tak berselang lama, Yusuf kembali duduk dan kembali mengajak Rima mengobrol. Usaha yang selalu ia lakukan saat jam makan siang begini. Tak banyak memang yang diobrolkan, biasanya hanya berputar pada pekerjaan keduaanya atau isu-isu yang sedang banyak dibicarakan alias viral.

"Saya niatnya mau memindahkan Jeje." Yusuf membuka obrolan diantara keduanya. "Menurut Bu Dina progressnya Jeje bagus. Dan cabang lain butuh orang seperti Jeje yang tanggap."

"Bukan berarti Rosa nggak bagus, hanya saja ada instruksi dari atas yang minta mutasi orang yang kerjanya cepat dan dibagian CS." Rima hanya mengangguk-angguk singkat.

"Permisi Mbak Rima, Pak Yusuf. Baksonya." Pesanan keduanya datang, Rima membalasnya dengan ungkapan terima kasih yang terlalu manis terdengar di telinga Yusuf.

Mengenai kekaguman Yusuf, si pria baru berani bergerak mendekati Rima setelah rumor tentang pernikahannya kandas dan itu berarti baru 1 tahun lalu. Awalnya Yusuf memang sudah tertarik, usia Rima saat menjadi juniornya di bagian teller adalah 20 tahun. Lalu pada tahun kedua Rima, Yusuf mendapat kenaikan jabatan menjadi Kepala Divisi teller cabang tempatnya bekerja. Dan ketertarikan itu semakin nyata. Rima ramah—walaupun tertutup, selalu murah senyum dengan orang lain dan Rima tak suka berbasa-basi jika memang tak diperlukan. Sikapnya yang tegas juga membuat Yusuf semakin jatuh hati. Tetapi semua rasa itu harus ia buang jauh-jauh karena di tahun kedua Rima bekerja, ada kabar yang berhembus bahwa dirinya menikah. Tak ada pengumuman, undangan atau pesta.

Tetapi tak berselang lama—hanya 3 bulan. Rumor ia bercerai berhembus kencang. Semua pegawai tak mengetahui kebenarannya. Hanya Kepala Cabang yang mengetahuinya dan Pak Erick sudah berjanji untuk tak membuka apapun perihal status Rima. Apalagi memang itu bukanlah aib dan tak berpengaruh pada kinerja Rima. Jadi suatu keharusan Erick membuat Rima nyaman—walaupun nyatanya masih banyak yang kadang membicarakan sesuatu yang negatif tentang Rima. Tetapi si perempuan kembali menegaskan pada Erick, bahwa itu bukanlah apa-apa. Ia mampu mengatasinya.

Jadi jika dihitung, rasa ketertarikan Yusuf sudah ada sejak awal, tepatnya 4 tahun 4 bulan. Lagi pula siapa yang tak tertarik dengan perempuan cantik? Munafik bukan jika kalian mengatakan tidak. Tetapi Yusuf mampu mengarahkan rasa tertarik itu agar tak membuat Rima risih—menurutnya, bukan Rima atau orang lain yang berpikirnya berbeda. Tentunya berbeda dengan satu tahun belakangan, karena si pria mulai menarik manuver kencang untuk mendekati si perempuan secara serius.

"Nih.." Yusuf menyodorkan mineral botolnya pada Rima. "Kamu kebiasaan banget minus es teh, diganti jadi air mineral aja nggak mau? Kan lebih bagus juga." Rima hanya mampu terkekeh canggung dengan kalimat yang sudah sering ia dengar dari orang yang sama.

"Iya Mas, es teh manis lebih enak."

"Loh? Rima?" Panggilan bernada kaget—pura-pura sebenarnya itu membuat dua manusia yang duduk berhadapan menoleh ke sumber suara.

"Pak Keanu." Yusuf bangkit dengan cepat, mengangsurkan jabatan tangannya pada pria yang lebih muda di belakang Rima.

"Makan siang berdua aja?" Tak bisa menutupi ketidaksukaannya, alis Keanu menukik tajam.

"Iya Pak, silahkan jika ingin bergabung. Kami dapat kloter istirahat terakhir."

Bullshit! Geram Keanu dalam pikirannya. Ia jelas tau Yusuf berbohong, si pria memang selalu mengajak Rima makan siang bersama atau lebih tepatnya mengekori Rima.

"Boleh, kebetulan saya sendiri." Duduk di sebalah Rima yang semakin kaku salah tingkah. Dirinya merasa suasana ini terlalu tak mengenakkan. Di kelilingi 2 pria yang tak ragu menunjukkan ketertarikan, kepala Rima pening seketika.

"Lipstick kamu." Dengan santainya Keanu menarik tissue di atas meja, dan mengelap perlahan sudut bibir Rima yang lipsticknya keluar dari jalur.

Klaimnya waterproof dan no transfer! Gerutu Rima dalam hati, berusaha mengalihkan pikirannya yang melayang bebas tiba-tiba.

Perbedaan kentara dari kedua pria itu adalah, Yusuf selalu bertingkah tau batasan. Sedangkan Keanu selalu menunjukkan segalanya dengan jelas dan tanpa batasan. Tapi sialnya malah membuat Rima berdebar—siapa yang tidak kalau kau diperlakukan amat manis dan gentle seperti itu? Istri orangpun pasti merasakan hal yang sama seperti Rima.
Si perempuan bersyukur, ia menolak dinaikkan ke posisi prioritas sebelumnya. Jika tidak, sudah di pastikan kesehatan jantungnya tak akan normal dan malah terganggu jika terus menghadapi Keanu.





* * * * *

25/01/21 - 13.16

Continue Reading

You'll Also Like

4.5K 129 13
You don't know it's love until it's too late. *** Magenta Salsabila James is a good girl. Atau setidaknya dia pikir begitu. Apa yang akan ia lakukan...
92.2K 9.2K 21
Brothership! Not bl! Mark sejak kecil tinggal di panti asuhan, tak ada yang mengetahui sebenarnya siapa dirinya. ia hanya anak yang ditemukan di dep...
14.1K 3.1K 20
[On going] Tapi di mana nanti kau terluka, cari aku Ku ada untukmu _____ Jeon Jk Kim Yr #7 jungri, 17 Januari 2023
34.4K 7.9K 62
Ada duka yg diikuti bahagia Ada tawa yg diiringi luka Bahagia? Apa itu? Bagi Joy vintata hanya ada Duka dan Luka yg mengikuti hidupnya. Seorang gad...