CANIS [END] √

By okkyarista

884K 101K 12.6K

SEKUEL URSA Janu Averroes Mahawira, M.D, FICS Namanya terdengar cerdas, wajahnya menunjukkan kebijaksanaan, d... More

Opening
0.2 || Bapak Pilih Mana?
0.4 || Wali
0.6 || Ramune
1 || The Lyre - Vega
2 || The Eagle - Altair
3 || The Northern Cross - Deneb
4 || The Virgin - Virgo
5 || The Cup Bearer - Aquarius
6 || Chiron - Sagittarius
7 || Arcturus - Boötes
8 || Ras Algethi - Hercules
9 || The Ethiopian Princess - Andromeda
10 || The Seven Sisters - Pleiades
11 || Myrtilus - Auriga
12 || The Altar - Ara
13 || The Ram - Aries
14 || Ursa Major #1
14 || Ursa Major #2
15 || Coronis - Corvus
16 || Corona Borealis - Crown
18 || Canopus - The Second Best
19 || Castor & Pollux - Gemini
20 || Capella - Auriga
21 || Northern Gate of Sun - Cancer
22 || The Lion of Namea - Leo
23 || Polaris - Ursa Minor
24 || Io's Son - Cepheus
25 || The Hunter - Orion
26 || The Scales of Justice & Fate - Libra
27 || Ophiuchus - Asclepios
27.5 || Ophichulus - Asclepios
28 || Sirius - Canis Major
29 || Promise - Coma Berenice
30 || Pisces - Mother and Child
31 || Eridanus - The River
32 || Columba - The Dove
33 || The Dolphins - Delphinus [END]
EXTRA PART - 2 Months Old Shua
EXTRA PART - 4 Months Old Shua
EXTRA PART: Lubeli Promise
EXTRA PART: JEYEK!
Hepi Besday, Ayah!
Izin Tinggal & Anniversary
[SPIN OFF] LUV, YA! (Farris x Olivia)
EXTRA - Not So Much Valentine
CANIS NAIK CETAK!

17 || Hesperos & Eosphorus - The Dawn-Bringer & Light-Bringer

14.8K 2K 319
By okkyarista

Semoga Senin kalian berjalan lancar.
Selamat tidur dan besok Senin, woy!

••••

ORANG bilang perencanaan keuangan itu takkan ada habisnya, selalu muncul kebutuhan baru yang wajib dipenuhi di masa depan.

Sambil menikmati cemilan siangnya yang kelewat dua jam, Eros membuka lagi laporan keuangannya bulan ini. Hari ini ia telah menyelesaikan perencanaan dana pendidikan untuk dua anak hingga jenjang S2 di luar negeri yang tentu saja biayanya tak sedikit, membutuhkan waktu lima tahun hingga mencapai targetnya.

Perencanaan keuangan anak ini ia buat ketika bertunangan dengan Anne dan sudah pasti mengharapkan keturunan yang diwajibkan menjadi dokter spesialis untuk naik kandidat ke penerus yayasan.

Tetapi ketika hubungan mereka berakhir dan Eros bersama Ursa, tanpa alasan pasti Eros meneruskan perencanaan tersebut.

Perencanaan apa lagi yang ia perlukan sekarang?

Dana pensiun sudah terpenuhi semenjak setahun lalu, maka yang dibutuhkan lainnya adalah perencanaan kesehatan. Meski ia dokter dan berusaha menjaga kesehatan, tak dipungkiri jam tidurnya yang sebentar, berada di kamar operasi lebih dari lima jam, makan tak teratur, serta konsumsi kopi yang berlebihan bisa berdampak buruk di kemudian hari, apalagi istrinya adalah Ursa.

Sepertinya harus mulai menghitung.

"Wih, tumben Dokter Eros kelihatan makan," ledek Farris yang baru kembali dari kelas Dokter Hadi dan bergabung dengannya di lounge khusus dokter. "Ini lagi diet atau gimana deh? Makannya energy bar doang."

"Istri saya mau ke sini bawa makan siang, jadi saya nggak boleh makan nasi," jawab Eros.

"Mau pamer udah punya istri gitu sama saya? Mentang-mentang saya jomlo udah enam tahun nih?"

"Makanya, cari pacar, Ris."

"Gimana cari pacar kalau tugas dari Dokter Eros tuh numpuk terus? Dokter Hadi juga semangat banget ngasih materi, bisa tidur aja udah mending, Dok!" keluh Farris sambil memelas, tubuhnya hampir remuk akibat sif dua puluh jam.

"Ya namanya nanganin manusia bernyawa, Ris, harus ekstra tenaganya, salah-salah nyawa orang melayang di tanganmu, kepikirannya seumur hidup."

"Iya ya, orang-orang di UGD tuh kuat mental banget ya. Dokter punya pengalaman paling sulit dilupain nggak?"

Eros meletakkan ponselnya dan mulai mengingat lagi kejadian demi kejadian yang paling membekas di hidupnya hingga mengubah dirinya dari anak sensitif menjadi orang yang hampir tak memiliki emosi.

"Apa ya, kayaknya waktu masih di John Hopkins, call 30 jam di UGD, lalu ada kecelakaan dan keluarganya ternyata tidak ada di benua yang sama, anak ini imigran dari Iran. Nggak pernah kebanyang saya harus duduk jagain sambil baca Alquran dan bisikin dia syahadat sebelum meninggal di depan mata saya."

Alasan utama mengapa Eros mengingat lagi kejadian itu karena kasusnya mirip dengan kasus Ursa. Bedanya helm yang Ursa gunakan tidak terlempar, sementara pasiennya saat itu helmnya terlepas hingga kepala bagian belakangnya langsung membentur aspal, mengalami koma selama semalaman hingga akhirnya meninggal.

Eros masih ingat rasa gamang dari kematian pasien pertamanya. Ia masih bisa merasakan sakit ditusuk di dada tiap mengingat mata itu.

"Beruntung pasien kita jarang yang parah ya, Dok, kebanyakan rujukan."

Eros hanya mengangguk. Farris belum tahu beratnya menjatuhkan vonis tak bisa lagi berjalan pada seorang anak muda yang produktif, melihat dunia anak itu hancur, melihat orangtua pasiennya lemas. Farris belum tahu juga beratnya mengatakan orangtua harus menggunakan kursi roda, melihat beban di mata anak-anak, melihat ketidakinginan menyusahkan anak-anak di mata si orangtua.

Menurut Eros ini jauh lebih berat.

"Dok, saya mau tanya yang lebih pribadi boleh nggak?" Eros hanya mengangguk sebagai jawaban. "Dokter tahu kalau Livia suka sama Dokter, kan?"

Lagi, Eros hanya mengangguk.

"Kok Dokter nggak nolak sih dideketin Olivia?"

Kali ini Eros menyengir sambil menahan tawanya. "Emang Olivia pernah nyatain cintanya sama saya? Nggak, kan? Ya biarin aja kalau dia suka saya, itu urusan Olivia. Menyukai seseorang itu hak mereka, dibalas atau tidaknya adalah resiko menyukai seseorang."

"Dia marah banget kalo dipanggil Olivia, lho."

Eros tergelak pelan sambil menggeleng. Jangankan Olivia, dengan Ursa yang memang ia sukai pun butuh waktu selama enam tahun untuknya memanggil dari Ursa ke Ucha. "Kenapa kamu tiba-tiba ngomongin Olivia, suka?"

"Dih, enggak ya!"

Protesan Farris tak lagi terdengar ketika ponselnya berbunyi.

'Majikan'

"Ya, Cha? Udah sampai?"

••

Setelah menghubungi Eros, mengatakan bahwa ia sudah ada di parkiran, Ursa menyusuri lorong lobi utama menuju ruang tunggu tepat di depan loket pendaftaran yang tidak terlalu ramai. Ursa memilih kursi yang paling dekat dengan jalan utama, agar bisa langsung pergi ke ruangan suaminya saat suaminya datang.

Tangannya membelai lagi kemeja suaminya yang masih beraroma pelembut, dari banyaknya baju yang ia miliki, entah mengapa koleksi baju suaminya lebih menarik untuk dipakai ketimbang miliknya sendiri.

Seperti siang ini, Ursa memilih celana jins hitam dengan atasan camisole rose gold yang dilapisi kemeja cokelat susu bergaris putih vertical yang dua kancing teratasnya sengaja dibuka dan bagian depan kemeja dimasukkan.

Ia mengintip lagi lorong, Eros sudah memberi peringatan kalau lama berarti ia tertahan wali pasien. Jadi, Ursa harus sabar menunggu. Sesekali ia mengintip tas bekalnya berisi dua kotak makan kayu. Produk barunya sudah mulai diproduksi massal dan ia hanya tinggal menunggu, itu kenapa ia memiliki waktu untuk membuat makan siang dan rela mengantarkannya ke rumah sakit pukul tiga sore.

"Uchay!" seru seorang pria dari arah lorong ruang rawat inap.

Hanya ada sekelompok orang yang memanggilnya Ucay, teman-teman SMP yang ikut pelatihan atlet. Lalu, siapa pria tinggi besar dengan potongan rambut 1-2-1 dan kaos tim basket Lakers.

"Wah, lo nggak inget gue? Parah banget, Bimo temennya Oyi, kelas IX-I, Chay!"

Ah, Ursa ingat sekarang. Bimo Nugraha, anak pengusaha ekspedisi terbesar di Indonesia yang hobi makan gado-gado dan menjadi satu-satunya orang yang menengok Ursa di rumah sakit sebanyak empat kali, tiga kali saat Ursa masih koma dan satu kali ketika Ursa sudah sadar namun belum bisa bicara banyak.

"Bimo Gado-gado?" konfirmasi Ursa.

"Iya!" pria itu langsung merangkul leher Ursa sambil tertawa keras. "Beda banget emang udah jadi pengusaha sekarang, baunya mahal!"

Seingat Ursa, Bimo yang keturunan Tionghoa dari ayahnya memiliki mata yang lebih kecil dan kulit lebih hitam dari ibunya yang berasa dari Jawa Timur. Mereka bersahabat akrab lantaran ayah mereka saling mengenal, tak jarang Ursa bertemu ayah Bimo di paguyuban karaoke ibunya tiap Rabu.

"Gue kira lo netap di Amerika," ujar Ursa.

"Balik gue selepas kuliah, main di Rajawali bareng si Oyi. Sehat, Chay?"

"Sehat, alhamdulillah," matanya melirik ke lorong. "Lo sakit?"

"Enggak, anak gue sakit. Atlet skateboard dia, kemarin latihan kakinya terkilir, terus disaranin ke sini sama pelatihnya. Eh, btw Oyi juga lagi di jalan mau ke sini, ngopi bentar kali. Lo kenapa? Check up?"

Ursa menggeleng sambil mengangkat tas bekal di tangannya. "Bawain bekal buat suami."

Dalam hati Ursa mengaduh, jika ngopi dengan Bimo saja Ursa tak memiliki masalah, mereka memang bersahabat sejak lama dan alasan Bimo berhenti menjenguknya adalah keberangkatan Bimo ke Amerika, bukan dilarang oleh pelatih, Ursa bisa memaafkannya.

"Lo udah nikah? Oh, iya!" Bimo menepuk jidatnya. "Gue inget, suami lo mantan tunangan Anne, kan? Kenal gue sama Mbak Anne, gue inget sekarang. Kuy, ngopi kita berempat sama suami lo, gimana?"

Belum sempat Ursa menjawab bahwa suaminya sibuk untuk keluar minum kopi, Oliver, orang yang paling Ursa hindari, muncul dari lobi utama sambil membawa tas berlabel produk kecantikan asal Korea.

"Oyi!" panggilnya dan langsung merangkul pundak Oyi, menyeretnya agar mendekati Ursa. "Gila, mantan gebetan lo aja udah nikah, lo masih maju-mundur kayak Syahrini!" ejeknya.

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya ketika Oliver bertemu Ursa yang selalu memasang wajah berbinar-binar, kali ini Oliver hanya tersenyum sambil mengangguk, berpura ini adalah pertemuan pertama mereka.

"Hai, kita mau reuni, lo ikut, kan?" tanyanya masih dengan senyum berwibawa.

Dalam hatinya Ursa sudah bukan tahap mengaduh lagi, sudah naik level ke sumpah serapah melihat Oliver sok ganteng.

"Wah, bener! Pakai seragam dulu lagi kan, biar inget zaman sekolah, reuni di sekolah pula."

"Boleh bawa pasangan?" tanya Ursa.

Oliver kehilangan senyumnya sementara Bimo masih bersemangat mengiyakan. "Gue mana boleh ke reunian nggak ajak bini? Bisa digantung terbalik gue!"

Dari ujung lorong Ursa mendengar suara suaminya tengah memberi penjelasan mengenai tahap rehabilitasi yang harus dijalani mulai minggu depan, suara kursi roda, suara langkah dua orang, hingga keduanya mendekat dan berpapasan.

Ursa menaikkan tangannya sebatas dada kemudian melambai yang dibalas Eros dengan cara yang sama. Tetapi senyum Ursa langsung menghilang begitu mengenali perempuan yang mendorong kursi roda, ia ingat rambut yang potongan pixie tersebut, tubuh dengan otot bisep yang menonjol dari balik kaus 'Pelatihan Nasional 2017' yang dikenakan, serta mata tajam dan bibir tanpa senyum.

Mereka semakin mendekat dan tanpa alasan jelas Ursa merasa darahnya mendidih. Ingin rasanya berbalik kemudian berlari sejauh mungkin, tetapi kakinya kaku.

Tangan Eros yang menyentuh punggungnya lah yang mengembalikan sedikit kesadaran Ursa. Suaminya tahu ada yang salah di wajahnya tetapi menahan diri untuk bertanya dan memilih untuk tersenyum seperti biasa.

"Ini istri saya, Ursa," ucap Eros mengarah pada dua orang yang tadi berjalan bersamanya dari lorong. "Cha, ini Ibu Emilia dan anaknya, Olivia."

Ursa yakin suaranya takkan terdengar gemetar, ia mengangkat lagi dagunya kemudian mengangguk. "Lama nggak ketemu, Coach, Livia," sapa Ursa.

••

Entah ini keberapa kali Eros menyisir rambutnya menggunakan jemari, tak menyadari kemiripannya, ia terlalu fokus pada kasus Olivia hingga mengabaikan segala hal yang harusnya sudah jelas baginya.

Emilia adalah pelatih Ursa yang melarang seluruh teman-teman atlet menjenguk Ursa lantaran harus fokus pada pelatihan dan juga orang yang mengatakan dengan jelas bahwa Ursa dikeluarkan dari kelab padahal saat itu vonis kelumpuhan Ursa sudah bisa dibantah oleh Dokter Irsyad dan Dokter Ignatius.

Yang lebih membuat Eros syok adalah selama ini ia bertemu dengan Oliver, orang yang terus menerus membujuk Ursa untuk dekat kembali. Kalau tahu Oliver yang mendekati Ursa adalah kakak Olivia, mungkin sejak lama Eros mengancam pria itu.

Ia kehilangan kata-kata. Dunia mereka berputar di dalam lingakaran yang sama.

"Aku beneran nggak tahu, Cha," buka Eros sambil mengusap bibirnya. "Kalau memang kamu nggak nyaman, aku bisa alihkan Olivia ke Dokter Hadi."

Tetapi istrinya menggeleng. "Jangan, Olivia nggak salah, dia perlu kamu, kayak dulu aku perlu kamu seberapa pun aku benci Anne dan Wijaya."

Eros menyeberangi meja dan duduk di tangan sofa untuk memeluk istrinya. "Maaf ya, aku nggak tahu." Ia mendaratkan ciuman di puncak kepala Ursa kemudian mengelus pipi istrinya. "Kamu pucat deh, yakin nggak kenapa-kenapa?"

"Iya, cuma kurang tidur sama kesemutan dikit, nanti aku olahraga kok di rumah, janji," potong Ursa cepat. "Jadi yang sering kirim WA ke kamu sampai ratusan tuh si Olivia Livia? Aku kira Olivia mana. Anaknya manja dan suka banget sama yang lebih tua, seingetku dulu dia tuh protektif banget sama kakaknya sampe tiap tahu aku jalan sama kakaknya dia bakal ngamuk seharian."

"Tapi Oliver ganteng banget, kamu yakin matamu nggak minus seleranya jatuh banget dari Oliver ke aku?"

"Gimana, ya? Cinta itu buta, Mas," jawab Ursa dengan cengiran.

Buru-buru Eros melepaskan pelukannya dan memandang Ursa. "Maksudmu aku beneran lebih jelek dari Oliver?"

••

Cengekramannya terlalu kuat di kemudi ketika mobilnya berajalan keluar dari rumah sakit. Ia masih ingat ribut-ribut di luar ruangan, suara Mami dan Coach, kalimat demi kalimat masih bisa ia dengar dengan jelas seolah kejadian tersebut baru kemarin sore, rasa sakit di hatinya masih basah.

Sepanjang dua belas tahun semenjak kejadian Ursa selalu menghindari tempat-tempat yang ia dan atlet lain biasa kunjungi, ia enggan bertemu mereka, merasa dibuang dan tak dibutuhkan lagi, ia bahkan menyimpan seluruh dokumentasi perlombaannya ke harddisk berbeda kemudian disimpan di dalam gudang entah di kotak yang mana agar tak ditemukan.

Dan sekarang ia harus bertemu tanpa persiapan.

Kepalanya sakit menahan amarah sepanjang perjalanan pulang. Pengelihatannya mulai kabur seiring ia memelankan laju kendaraan, tangannya mulai kebas, dan seluruh inderanya menumpul tiap kali Ursa memaksakan matanya terbuka.

Ia berhasil mencapai rumah, memarkir mobilnya asal menghalangi jalan masuk ke area rubanah sebelum masuk ke rumah dengan langkah gontai.

Rasanya sudah lama ia tak mengalami hal ini, ia butuh berbaring segera dan meredakan sakit kepalanya.

"Is?" panggil Ursa begitu mencapai ruang tamu dan merebahkan badannya di sofa. "Is?"

"Iya, Bu," Iis yang tengah membaca di kamarnya buru-buru berlari menghampiri Ursa yang terlihat pucat dan tak mampu membuka matanya berbaring di sofa. "Ibu, kenapa?"

"Ambilin obat saya di kamar mandi, boleh?"

"Ibu, saya bantu ke kamar, ayo."

Iis sudah bersiap memapah Ursa namun ditolak dengan gelenggan. "Percuma, saya nggak bisa gerakin kaki saya, obat saya aja."

Menuruti perintah Ursa, Iis mengambil satu kotak di kamar mandi dan membawanya ke ruang tengah karena tak tahu obat mana yang harus diambilnya. "Ibu, obatnya yang mana, Is nggak tahu?" tapi tak kunjung ada jawaban dari Ursa. "Bu?"

Iis gemetar, tak tahu harus berbuat apa. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Eros. "Pak, Ibu pingsan, saya nggak tahu, Pak. Iya, Pak," telepon langsung ditutup kemudian membuka aplikasi taksi online.

••

Penyakit Ursa tidak bisa disembuhkan, operasi kemarin memang berhasil meringankan beban tubuh Ursa ketika bergerak, tidak terlalu sensitif dengan perubahan suhu seperti sebelumnya, tetapi saraf yang kolaps takkan bisa disembuhkan, bahkan oleh dokter terbaik sekalipun, dan itulah yang membuat Ursa harus tetap menjaga kesehatanannya.

Tensinya pasti tinggi, pikir Eros sambil menunggu di depan pintu UGD.

Bukan kelelahanlah yang membuat Ursa kambuh, melainkan tekanan darah yang tinggi akibat rusaknya jaringan di tulang sumsum. Keadaan ini akan permanan.

Sebuah Avanza hitam memasuki lobi utama dan berhenti tepat di depan pintu UGD. Dibantu Irma, perawat UGD yang bertugas, Ursa dipindahkan dari jok penumpang ke ranjang kemudian mendorongnya memasuki bilik penanganan. Eros mundur empat langkah begitu dokter jaga mengambil alih, ini bukan wilayahnya untuk menangani Ursa.

Wajahnya yang tadi berseri nampak pucat, suhu tubuhnya turun, dan mata itu tertutup rapat. Padahal beberapa menit lalu mereka masih bertemu, Ursa masih sempat meledeknya, ia masih mencium bibir Ursa sebelum mengantar Ursa ke parkiran.

Derap langkah terdengar dari lorong berbeda, Farris dengan wajah memerah berlari mendekat. "Dokter Gilang, pasien, pendarahan, operasi fusi, Dok," ucapnya terbata.

Kakinya terasa berat melangkah keluar dari ruang UGD, ia melirik Ursa lagi yang masih terpejam. Ia butuh melihat istrinya siuman baru beranjak, tetapi perdarahan fusi bukan hal yang biasa dan Gilang masih terhitung baru.

"Dok?" panggil Farris sekali lagi.

"Dok Eros percaya sama saya, kan?" tanya Dokter Linda. "Saya akan tangani Ibu Ursa dengan baik."

Eros mengangguk pelan. "Tolong, ya." Kemudian beralih pada Iis yang matanya memerah berdiri mematung di lorong. "Is, tolong bawain keperluan Ibu, baju ganti, alat cuci muka, sama baju ganti saya terus hubungi Mami dan Ibu saya ya, tolong."

Pekerjaan adalah pekerjaan, istrinya berada di tangan yang baik sementara ada pasien lain yang butuh diselamatkan, Eros fokus menghentikan perdarahan sambil menahan kekesalannya. Ada keluarga yang juga khawatir akan keselamatan pasien ini, sama sepertinya. Ia harus melupakan keadaan Ursa dan fokus.

Maka, tanpa mengeluarkan dampratan pada Gilang yang sudah pucat pasi beralih menjadi asisten operasi hari itu, Eros berhasil menghentikan perdarahan dan melanjutkan sebagai asisten operasi, mengawasi setiap langkah Gilang, termasuk membentak tiap kali Gilang ragu-ragu.

Baru pukul tujuh Eros keluar dari kamar operasi dan sayangnya ia tak bisa langsung menemui Ursa, ia harus menemani Gilang menemui wali pasien yang menangis sambil berucap syukur lantaran operasi berhasil meski terjadi pendarahan di tengah operasi yang mengharuskan transfusi sebanyak dua kantong darah.

"Terima kasih, Dok, kalau Dokter nggak dateng saya nggak tahu gimana putri saya," ucap si Ibu sambil menggengam tangan Eros erat-erat.

"Dokter Gilang sigap dan pendarahan merupakan hal yang sering terjadi di operasi fusi, Bu, Pak, jadi semua berkat Dokter Gilang."

Ia tak berniat lama-lama di sini, Eros langsung mengalihkan tangan wali pasien ke tangan Gilang dan meninggalkan ruang tunggu wali pasien menuju ke bagian informasi.

"Ursa Epiphania Kawindra, masuk tadi sore ke UGD, dirawat di mana?" tanya Eros.

"Oh, Ibu Eros ada di bangsal Lily nomor 2A, Dok."

Di depan pintu, Eros menyiapkan dirinya, ia mengambil napas panjang-panjang dan mengeluarkannya perlahan, kepalanya ia tempelkan ke daun pintu hingga ia siap melihat keadaan istrinya.

Setelah lima detik, Eros membuka pintu rawat inap, di dalam sana sudah ada Mami, Ibu, dan Bapak yang tengah memakaikan Ursa kaus kaki sementara Ursa masih belum sadar. Wajahnya sudah lebih cerah, Eros belum mendapat laporannya dan belum bisa menentukan seberapa parah keadaan Ursa sekarang.

"Kamu ke mana aja? Istrimu pingsan nggak ditemani?" Ibu menyudutkan. "Yos, kamu boleh gila kerja, tapi masa istrimu pingsan kamu tetap fokus urusin orang lain?"

Untuk kali pertama Eros mengabaikan Ibu, ia berjalan ke arah ranjang, menarik sebuah kursi, mendudukinya dan hanya memandang wajah istrinya. Ursa hanya tertidur akibat obat, kan? Bukan koma?

Ia meraih tangan Ursa, menangkupnya di antara tangan Eros. Suhu tubuh Ursa masih rendah, meski tidak serendah ketika baru datang. Kepalanya rebah dengan dahi yang menempel pada punggung tangannya.

Tak perlu disuapi pun, rasa bersalah itu sudah meluncur memasuki dirinya, berteman akrab dengan kekhawatiran yang semakin lama semakin membesar hingga pertahanan terakhirnya rubuh.

Bahunya berguncang.

Melihat Eros menangis dalam diam, Ibu merasa bersalah mempertanyakan kehadiran Eros barusan. Ia berjalan mendekat dan mengusap pundak putranya. "Tadi Dokter UGD bilang Ucha nggak kenapa-kenapa, Yos, tensinya juga udah turun makanya dibawa ke rawat inap. Maaf ya."

Tadinya Bapak bersikeras menginap sementara Eros disuruh pulang untuk beristirahat, namun Eros menolak dan menyuruh semua orang pulang dan menyerahkan Ursa padanya.

Bermodal sebaskom sedang air hangat, Eros mulai membersihkan wajah Ursa dari riasan, membasuh tubuh Ursa perlahan hingga ke kaki sambil menunggu hasil laporan dari UGD.

Pukul sembilan laporan diantar Dahlia yang sudah berganti baju, bersiap pulang.

Kemungkinan besar tekanan darah tinggi yang Ursa alami akibat terlalu stress, belakangan memang Ursa kurang tidur lantaran mengurusi bisnis barunya, kelumpuhannya pun kemungkinan besar akibat efek samping tersebut, jika tekanan sudah normal semua akan kembali, begitu juga dengan mobilitas Ursa.

Ia meninggalkan laporannya dan menarik kursi mendekati ranjang Ursa. Tangannya mengenggam lagi tangan Ursa. Dulu, ia hanya bisa menggenggam tangan Ursa untuk memeriksa detak jantung dan tak ada cincin kawin di jari manis Ursa.

Eros membawa naik tangan Ursa dan menempelkannya di pipi. Kenapa berat rasanya ketika ia harus menjadi wali pasien? Padahal ketika ia hanya menjadi dokter, ia merasa ini masalah ringan yang akan membaik seiring waktu.

Suara batuk Ursa membuat Eros berdiri, ia mengusap kepala Ursa."Hai, udah bangun?"

"Lampunya silau banget, kepalaku pusing," ucapnya dengan suara serak.

Eros langsung menurunkan pencahayaan hingga 70% sebelum menyodorkan segelas air pada Ursa. Tidak langsung bertanya, Eros memeriksa tanda vital Ursa dan menjadwalkan tes lagi esok.

"Maaf ya, aku nggak ngejaga kesehatan, padahal kamu udah bawel banget ngingetin aku." Ursa tersenyum tipis. "Aku baca tulisanmu pagi tadi di laci kerja," jelas Ursa.

Ah, catatan itu. Eros menarik tangan Ursa ke genggamannya. Eros menuliskan kesimpulan yang didapatnya dari diskusi dengan Dokter Irsyad dan Dokter Ignatius tempo hari, bahwa tekanan darah tinggi bisa berakibat pada terhambatnya gizi pada janin hingga keguguran dan menyebabkan kerusakan organ pada ibu hamil hingga meninggal.

"Kenapa ya sulit banget hidup kita? Aku cuma mau hidup kayak orang normal," keluh Ursa untuk kali pertama. Selama lima tahun menjadi dokter Ursa, Eros tak pernah mendengar keluhan Ursa sekalipun, tak peduli seberapa banyak operasi yang harus dilaluinya.

Eros beranjak ke sisi ranjang Ursa, menyalakan humidifier kemudian memosisikan bantal di punggung Ursa kembali sebelum duduk di kursi yang sama. "Kamu tahu Venus, Cha? Bintang penyambut kegelapan dan pembawa berita datangnya cahaya? Hesperos dan Eosphorus. Dulu mereka diidentifikasi sebagai dua hal berbeda, yang satu identik dengan kesialan dan kemalangan sementara yang satu dianggap sebagai pembawa berita baik dan keburuntungan.

"Selama berabad-abad mereka dipisahkan dengan dua identitas, padahal mereka ya satu bintang yang sama, yang hanya terlihat menjelang terbenam matahari dan menjelang pagi." Eros mengusap pipi istrinya. "Sama kayak hidup, nggak selamanya baik akan selalu baik dan nggak selamanya buruk akan tetap buruk. Kita nggak bisa lihat bintang di terangnya siang, nggak bisa menikmati hangat di gelapnya malam.

"Kita bertemu kala Hesperos menyapa malam dan aku yakin kita suatu saat kita akan sampai ke titik Eosphorus menyambut fajar, mungkin memang sekarang aku dan kamu terpuruk karena masalah yang juga dialami jutaan pasangan menikah lainnya, but we have each other to light the way, our night is dark but we have stars above us, we have God."

"Faith sees best in the dark," sambung Ursa kemudian menarik selimut hingga menutupi wajahnya dan miring memunggungi Eros. "Aku mau tidur, kamu pulang aja, Mas."

"Oke." Meski begitu Eros tak beranjak dari duduknya, ia memperhatikan punggung Ursa yang bergetar. Pasti mengecewakan untuk Ursa yang sudah melakukan segala hal untuk mengembalikan tubuhnya seperti sedia kala.

Seperti yang ia katakan pada Farris siang tadi, semua yang ia lakukan untuk Ursa sebagai dokter sudah maksimal, jika memang tubuh Ursa menolak untuk bekerja sama dengan hal-hal yang manusia kerjakan, maka itu bukan kuasanya. Eros melepas sepatunya dan menyingkirkan bantal dari punggung Ursa kemudian ikut naik ke ranjang yang sama.

"Faith sees best in the dark, Cha," ungkap Eros. "Yang kamu lakukan sebagai pemilik tubuh, yang aku lakukan sebagai dokter, sudah maksimal, sudah yang terbaik, jika memang masih belum mau bekerja sama, itu kuasa Allah. Itu yang aku bilang ke Farris siang tadi, nggak nyangka bakal aku ucapin ke kamu juga."

"Maaf ya," bisik Ursa.

"Udah ah, kayak Mpok Hindun minta maaf mulu."

"Siapa Mpok Hindun? Gebetan kamu?" nadanya sengit, padahal beberapa detik lalu terdengar sendu.

Eros tergelak pelan kemudian mencium tengkuk Ursa. "Aku nyanyiin biar kamu cepet tidur, ya? Nangis bikin tambah pusing, lho."

"Boleh, nyanyiin."

"Nina—salah, Ucha bobo oh, Ucha bobo, kalau tidak bobo digigit Eros."

Ursa tergelak memukul paha suaminya yang tersilang berada di antara pahanya. Benar kata Eros, mereka memiliki satu sama lain dan untuk saat ini hanya itu yang mereka perlukan, selama mereka bersama rintangan apa pun pasti menemukan jalan keluarnya.

Faith sees best in the dark.

••••

Funfacts: Eosphorus alias Venus adalah cikal-bakal The Fallen Angel dipanggil Lucifer dalam literatur klasik Eropa.

Karena venus adalah bintang paling terang ketiga yang terlihat dari bumi setelah matahari dan bulan.

Mengutip kalimat Milton yang kusuka, "Satan kadang terlihat lebih terang di tengah-tengah malaikat, daripada bintang di sekitarnya."

Continue Reading

You'll Also Like

19.1K 561 27
follow ya muach 💕 Naya dengan segala masalah di kepalanya . Luka batin yang dideritanya tapi siapa sangka ia bertemu duda kaya raya yang tampan rupa...
6.9K 785 12
Aku bereinkarnasi... Sebagai pangeran?? Ketika ingatan aneh tiba-tiba muncul ke dalam ingatanku, aku dapat melihat bagaimana diriku mati dieksekusi o...
1M 77.9K 93
New adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan de...
942K 3.6K 14
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...