Suara tembakan yang saling bersautan terdengar jelas di sebuah ruangan yang serba hitam ini. Lampu yang remang-remang membuat wajah mereka tak begitu terlihat jelas. Beberapa alat berbahaya terlihat tertata rapi di sebuah lemari kaca trasparan. Tak ada orang satu pun yang berani membuka lemari itu, hanya seseorang lah yang berhak atas semuanya.
Seorang laki-laki berperawakan tinggi gagah mendudukan diri di salah satu sofa single. Matanya yang tajam menatap penuh amarah ke salah satu anak buahnya.
BRAK
Sebuah meja ditendang begitu saja olehnya. Beberapa gelas berjatuhan dan pecah. Ia sama sekali tak memperdulikan itu semua. Kini amarah sudah menguasainya.
"BERAPA KALI GUE BILANG! NGELAKUIN SESUATU ITU PAKEK OTAK!!" teriaknya begitu keras.
Dor
Dor
Dua orang tumbang sangat mengenaskan. Teriakan kesakitan terdengar sangat keras. Seakan tuli, laki-laki itu sama sekali tak ada rasa iba. Ia hanya tersenyum miring.
Beberapa orang yang melihat itu merasa miris. Kejam memang, namun itu lah sifat asli seorang Barata Almaraja. Laki-laki beruntung yang lahir di keluarga Raja, hidup yang selalu dikelilingi oleh harta dan kekuasaan. Apapun yang ia inginkan selalu ia dapatkan. Tak hanya kejam, Bara adalah orang yang begitu dingin dan tegas. Tak lupa juga ia adalah ketua dari Geng terbesar yang bernama The King. Geng yang memiliki beberapa anggota inti dan ribuan anggota lainnya.
"Ngeri gue kalau lihat sahabat sendiri kayak gitu," bisik seorang laki-laki yang berdiri di belakang Bara bersama dua orang lainnya. Ia adalah Eric Mareza bersama dengan Marva Damarta dan Tristan Saviano
"Lo kira lo doang, gue juga kali. Mimpi apa gue semalem, untung kaya," balas Marva sambil terkeken pelan.
"Tu mulut kalau sampek Bara dengar, mati lo berdua!" ucap Tristan ingin menakuti mereka.
Deg
Seakan terwujud apa yang dikatakan Tristan. Tiba-tiba saja Bara menatap mereka berdua dengan sangat tajam.
"Kenapa?" tanya Marva sedikit bergetar.
Bara diam, tak ada niatan ingin membuka suara. Tatapannya kembali ke depan. "Bereskan mereka!" perintahnya sambil menunjuk dua orang yang sudah tak berdaya.
Dengan cekatan anak buahnya langsung membereskan semua tanpa ada noda darah yang masih tersisa sedikitpun.
"Cabut!"
Seakan tau apa yang diucapkan Bara, mereka bertiga berjalan mengikuti sahabatnya itu yang mulai keluar dari ruang bawah tanah.
"Mau kemana, Bar?" tanya Tristan saat melihat Bara yang akan masuk ke dalam mobil.
"Pulang."
Eric mengejar Bara diikuti Tristan dan Marva. "Eh bentar, Bar. Gue ikut ya, biasa mau numpang makan."
Bara menatap mereka bertiga. Akhirnya ia mengangguk singkat. Tak bisa dipungkiri jika ketiga sahabatnya itu sering merepotkannya, tetapi ia sama sekali tak pernah merasa keberatan.
Di dalam mobil suasana sangat sunyi. Mereka disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, namun Marva berniat untuk membuka suaranya.
"Lo nggak nyesel buat anak orang sekarat, Bar?"
Bara mengangkat alisnya. "Nggak akan pernah."
"Kayak nggak tau Bara aja lo, Mar. Sahabat lo satu itu kan nggak akan bisa tobat," seru Eric.
"Sadis amat lo jadi orang," celetuk Tristan duduk di samping Bara. Berbeda dengan Eric dan Marva yang berada di belakang.
20 menit berlalu. Mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki halaman sebuah mansion yang terlihat sangat besar dan mewah dengan interior modern.
Mereka berjalan melewati lobi utama. Beberapa pelayan yang melihat mereka sedikit menundukan kepalanya tanda hormat. Keluarga Raja adalah keluarga yang sangat dihormati, tidak hanya di negara sendiri, namun juga negera lainnya.
Pilar-pilar kokoh bernuansa putih dan lampu-lampu gantung yang bernilai fantastis menyambut mereka. Tidak ada sama sekali ceceran sampah yang terlihat, semua sangat bersih dan tertata rapi.
"Dari mana kalian? Nggak berantem lagi kayak kemarin?" tanya seorang wanita paruh baya yang masih terlihat anggun, kini berjalan mendekati mereka.
"Hehe..., nggak kok Tante," jawab Eric sambil menyengir kuda.
Mendengar suara wanita tercinta, Bara segera memeluk dan mencium singkat kening Luna, mamanya.
Memang benar, tepatnya kemarin mereka pulang dengan keadaan babak belur di seluruh wajahnya, kecuali Bara. Walaupun bertengkar sebesar apa pun ia sebisa mungkin tak membiarkan tubuhnya terluka.
"Udah malem, kalian mau tidur di sini?"
Marva melirik jam yang ada di ponselnya. Waktu menunjukan pukul 10.00 malam. Ia berpikir sejenak dan akhirnya ia mengangguk pelan. "Marva nginep aja deh, udah jam segini juga. Lagian di rumah juga nggak ada orang, papi sama mami lagi ke rumah saudara."
"Tristan sama Eric juga deh," tambah Tristan.
"Ya udah sana kalian makan dulu terus istirahat!"
"Ma, Bara ke kamar dulu mau ganti baju."
"Tapi jangan lama-lama, keburu dingin makanannya."
"Iya."
Dengan langkah lebar, Bara mulai menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Kamar yang dominan dengan warna abu-abu hitamnya itu seperti mencerminkan diri Bara yang selalu ditakuti. Tak ada seorang pun yang berani menginjakan kaki untuk masuk ke dalam, kecuali keluarganya sendiri. Entah ada rahasia apa di dalam, tak ada yang tau itu.
Setelah membersihkan tubuh dan mengganti pakaian, Bara kembali melangkahkan kaki menuju meja makan. Dari kejauhan sudah bisa dilihat jika ketiga sahabatnya itu masih sibuk memakan beberapa makanan yang ada di meja.
Tanpa sepatah kata pun Bara mendudukan diri di samping Tristan.
"Besok kan masih libur tuh, lo mau kemana, Bar?" tanya Eric.
"Ngurus berkas," balasnya.
"Yang udah kerja mah beda ya," celetuk Eric.
"Emang lo, biasanya cuman molor," ejek Tristan.
"Eh sorry ya, gini-gini dompet gue tebel," balas Marva tak terima.
"Iya tebel, kan tu dompet isinya kertas cicilan." Seketika tawa Marva pecah saat mendengar perkataan Tristan.
Bara yang mendengar itu hanya menggelengkan kepala sembari menyuapkan sedok makanan ke mulutnya. Beginilah sifat ketiga sahabatnya yang selalu membuat suasana menjadi ramai. Berbeda dengan dirinya yang memilih untuk menikmati saja.
"Berdosa lo ngomongin aib sahabat," cetus Eric menahan malunya.
"Lo aja yang baperan," ucap Marva membela Tristan. Eric menghela nafas kesal.
Bara yang sudah menyelesaikan makan, ia langsung beranjak dari tempat duduknya.
"Gue ke kamar."
****
Hari sudah berganti Minggu. Hari dimana semua orang bersantai ria, tetapi berbeda dengan Bara yang sekarang ini masih disibukkan dengan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjanya.
Seperti tak ada rasa lelah di hidup Bara, apa pun selalu ia tangani dengan baik dan teliti. Seperti sekarang, selain berkas-berkas ini masih banyak lagi pekerjaan atau pun tugas yang harus ia selesaikan segera.
Suara dering ponsel Bara tiba-tiba berbunyi. Salah satu nama anak buahnya tertera di layar ponsel.
"Hmm?"
"Tuan, semua udah beres."
"Bagus."
"Tapi ada seseorang yang berusaha bobol situs perusahaan."
"Cari tau!"
"Baik."
Bara mematikan ponselnya. Ia mengeram, masih saja ada orang yang ingin bermain-main dengannya. Ia tersenyum misterius, sama sekali tak masalah besar untuknya.
____________________________________
____________________________________
Hai 🖐
Gimana nih kalian udah baca sampai part 2?
Suka nggak?
Semoga suka ya kalian
Jangan lupa juga buat vote dan komen, oke!
Tunggu update