UNSPOKEN [TELAH TERBIT]

By inyasidhyaa

172K 17.7K 2.8K

[TELAH TERBIT] Sendu sembilu merengkuh semesta luas yang sedih melihat seorang pemuda bernama Raflie Adhinata... More

Unspoken : : 00
Unspoken : : 01
Unspoken : : 02
Unspoken : : 03
Unspoken : : 04
Unspoken : : 05
Unspoken : : 06
Unspoken : : 07
Unspoken : : 08
Unspoken : : 09
Unspoken : : 10
Unspoken : : 11
Unspoken : : 12
Unspoken : : 13
Unspoken : : 14
Unspoken : : 15
Unspoken : : 16
Unspoken : : 17
Unspoken : : 18
Unspoken : : 19
Unspoken : : 20
Unspoken : : 21
Unspoken : : 22
Unspoken : : 23
Unspoken : : 24
Unspoken : : 25
Unspoken : : 26
Unspoken : : 27
Unspoken : : 29
Unspoken : : 30
Extra Part : : 01
Extra Part : : 02
Sequel
PRE-ORDER
Kasih Komentar Versi Cetak 🥰
UNSPOKEN 2 (SEQUEL)
Unspoken Cetakan Kedua

Unspoken : : 28

7.7K 499 166
By inyasidhyaa

Aku bakal habisin Unspoken satu minggu ini. Soalnya aku lagi persiapan buat olimpiade matematika nasional, beberapa minggu ke depan. Jadi harus ngebut dikit hehe...

Tolong dimengerti ya teman-teman 😁

Mohon doanya juga 😆

"Asmita?" Arya cukup terkejut saat melihat Asmita berdiri di depan pintu ruangan tempat Bhanu dirawat itu. "Kamu ke sini?"

"Aku... Aku mau ngeliat Bhanu, Mas." Asmita menitikkan air matanya.

Satu hal yang membuat Arya merasa senang bukan main. Ia langsung memeluk istrinya, "Mas seneng banget. Seneng... Makasih udah ke sini, Sayang."

Asmita menangis dalam pelukan suaminya.

Arya melepas pelukan itu. "Mas mau beli sesuatu dulu di luar. Kamu temenin Bhanu, ya?" pintanya. Arya lantas mencium kening Asmita dengan sayang.

Asmita mengangguk pelan. Arya membelai rambutnya sejenak sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Asmita. Tangan Asmita bergetar menyentuh gagang pintu itu. Setelah satu hembusan napas, ia membukanya pelan.

Ceklek.

Bhanu yang sedang terbaring lemah dengan berbagai macam alat medis yang terpasang, menjadi objek pertama Asmita. Dada Asmita seperti dihantam batu besar hingga membuatnya merasa sesak. Kakinya berjalan terseok-seok mendekati putranya yang tertidur dengan wajah pucatnya.

Asmita menitikkan air mata. Ia meremas tangannya gusar, menatap lurus ke arah Bhanu yang masih memejamkan matanya. Masker oksigen terpasang, juga alat medis lain yang Asmita tidak ketahui. Salah satu tangan Asmita bergerak perlahan hendak mengelus rambut hitam putranya. Namun belum sempat tangan itu mendarat di kepala Bhanu, cowok itu sudah terlebih dahulu membuka mata perlahan.

"Bunda?" tanyanya lemah.

Asmita membuang mukanya dan berjalan pergi. Gengsinya masih terlalu tinggi untuk bisa menunjukkan kasih sayangnya terhadap Bhanu.

"Bunda..."

Suara lemah itu menghentikan langkahnya. Setetes air mata Asmita jatuh menetes, bingung antara lanjut berjalan ke luar ruangan atau tetap berdiam diri di tempat.

"Bhanu ... pengen dipeluk. Boleh?" tanya Bhanu.

Asmita masih tetap tak bergeming. Hanya air mata yang jatuh menetes bersamaan dengan hatinya yang terasa sesak.

"Nggak boleh, ya?" tanya Bhanu. "Nggak apa-apa..."

Asmita melihat ke sekitar, mengijapkan matanya berulang kali untuk menahan air matanya yang jatuh. Entah mengapa matanya terasa sangat perih ingin menangis.

"Bhanu sayang Bunda," ujar Bhanu dengan suara lemahnya. "Kalau Bhanu pergi, apa Bunda akan bahagia?" tanyanya.

Asmita terpegun mendengarnya. Tak terhingga berapa banyak air mata yang sekarang sedang ia teteskan. Hatinya terasa begitu perih, juga remuk. Asmita mengepalkan tangannya yang bergetar tak karuan. Ada sesuatu yang sekarang sedang mengiris hatinya tipis-tipis.

"Bhanu mau istirahat ya, Bun."

Suara lemah itu terdengar. Asmita menggeleng lirih seraya meremas kedua tangannya di depan dada. Hatinya seperti disayat perih mendengar hal itu. Entah mengapa kalimat lemah Bhanu tadi membuatnya merasa sesak seketika.

"Hmmmhhh!!!"

Asmita sontak membalikkan tubuh mendengar suara putranya itu. Napas Bhanu tersengal hebat. Dada Bhanu naik-turun dengan parah seakan tak mampu bernapas dengan baik. Kakinya bahkan bergerak tak tenang dalam selimut. Dagunya terangkat untuk mencari udara, kadang kepalanya bersandar ke kanan dan ke kiri saking tidak tenangnya.

Asmita berdiri gemetar dari kejauhan, menatap lurus ke arah putranya yang sedang gagal napas. Bukannya berteriak memanggil dokter atau semacamnya, ia malah berdiam diri saja. Ia menangis entah karena atas dasar apa. Asmita ingat dengan sangat baik apa kata suaminya, bahwa jika gagal napas anaknya tidak segera ditangani, maka hal tersebut bisa berujung pada kematian. Hal ini yang ia harapkan sejak dulu, bukan? Sejak dulu ia selalu mengharapkan putranya tiada. Tapi mengapa sekarang ia menangis?

Otak Asmita yang terbelah bagaikan berperang. Satu sisi ingin berdiam diri, satunya lagi ingin berjalan mendekat. Logikanya memaksa untuk tetap diam saja dengan gengsi tingginya. Namun hati berbicara lain. Hati memintanya untuk mendekati Bhanu yang sekarang sedang sekarat di depan matanya sendiri.

Perlahan, kedua kaki Asmita terayun untuk berjalan seiring dengan memori masa lalu yang hadir.

"Bhanu sayang Bunda!" Bhanu kecil langsung merangkul lehernya erat. "Bunda sayang Bhanu, nggak?"

"SAYAAAAAAAAANG BANGET!" Asmita mencium pipi mungil Bhanu dengan sayang.

Kemudian bayangan masa lalu itu beralih ke yang lain.

"Suatu hari nanti kamu akan nyesel udah ngebuang Bhanu! Kamu akan nyesel udah jahat ke dia! Dan kamu akan nyesel ... atas semua hal yang udah kamu lakuin ke dia! Kamu akan nyesel di saat semuanya udah nggak lagi sama. Kamu akan nyesel saat waktu udah ngubah segalanya. Saat itu juga kamu akan sadar, sudah berapa banyak dosa yang kamu buat!"

Air mata Asmita jatuh.

"Bhanu masih Bhanu yang sama dengan Bhanu kecil yang Bunda selalu peluk setiap hari. Bhanu yang dulu pernah Bunda tangisin saat Bhanu masuk rumah sakit. Bhanu yang selalu Bunda gendong ke mana-mana. Bhanu yang Bunda selalu cium. Bhanu yang dulu pernah jadi kebanggaannya Bunda. Dan Bhanu yang dulu pernah jadi anak kesayangannya Bunda..."

Tangan Asmita bergetar menyentuh tangan Bhanu yang sedang mencengkeram seprai kuat-kuat.

Asmita gemetaran menyentuh wajah Bhanu, "Nak..."

Bhanu tak meresponnya. Mata Bhanu terbuka namun tak memiliki fokus apa pun. Napasnya tersengal hebat, dadanya bergerak naik-turun dengan sangat tidak karuan.

"Bhanu... Ini Bunda...," lirihnya. Ia mengelus rambut Bhanu, "Bhanu... Lihat Bunda. Bunda ada di sini."

Asmita menangis saat Bhanu tak kunjung meresponnya. Jangankan merespon, kedua manik mata Bhanu bahkan tak melihatnya sama sekali. Mata Bhanu terbuka namun tak memiliki fokus apa pun. Sinar mata anaknya nyaris meredup.

Ketakutan ini semakin menggerogoti diri Asmita tiada ampun. Disentuhnya wajah Bhanu dengan kedua tangan, berusaha membuat Bhanu agar menatapnya seorang. Asmita menangis, "Lihat Bunda, Bhanu... Lihat Bunda..."

Bhanu sayup-sayup menatap kedua mata ibunya dengan tidak fokus. Ia tak bisa bernapas. Bhanu ingin mengatakan sesuatu, namun dirinya sudah tidak kuat. Alhasil, cowok itu meneteskan air matanya seraya menatap mata Asmita. Napas Bhanu tersengal hebat.

Asmita duduk di ujung ranjang Bhanu. Ia meraih kepala anaknya dan meletakkan kepala Bhanu di pangkuannya. Ia mengelus-elus rambut Bhanu dengan lembut. Seperti hal yang selalu ia lakukan dulu. Dulu yang entah sudah berapa jauh lamanya.

Asmita menangis. Ia menahan tubuh Bhanu yang bergerak naik-turun tak karuan. Tubuh Bhanu menggeliat tidak tenang. Asmita tak mampu berpikir jernih saat ini, "Bhanu... Tenang, Nak... Jangan bikin Bunda takut..." Ia melirih. Dada Asmita terasa sesak saat kepala Bhanu terkulai lemah di pangkuannya. Asmita menggeleng pelan, "Nggak, Sayang... Bhanu harus kuat. Bunda mau lihat kamu hidup. Jangan nyerah, Nak. Tolong... Bunda ada di sini untuk Bhanu..."

Bhanu masih tak bisa bernapas dengan benar meskipun ada masker oksigen yang terpasang. Masker oksigen tersebut seperti tak memiliki fungsi apa pun pada Bhanu. Asmita dapat melihat bagaimana anaknya sedang berusaha sekuat daya untuk menghirup udara dengan teramat sangat sulitnya.

Dada Bhanu tak henti-henti bergerak naik-turun. Mulutnya terbuka untuk mencari oksigen yang rasanya sangat sulit masuk hingga paru-paru. Desahan napas yang dikeluarkan lewat mulut itu terdengar sangat tidak tenang. Matanya sayup hendak tertutup. Ada cairan bening mengalir dari kedua mata Bhanu, sebagai tanda bahwa dirinya sedang sangat kesakitan. Asmita dengan telaten menyeka air mata itu dari wajah putranya. Hal ini semakin meremas hati Asmita langsung.

Pandangan Bhanu terus mengarah ke langit-langit ruangan. Mata setengah redup itu seolah melihat sesuatu di atas sana. Entah apa yang Bhanu sedang lihat sekarang. Yang jelas Asmita tahu bahwa putranya sedang melihat sesuatu. Sesuatu yang tak dapat Asmita lihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Sayang..." Asmita menangis terisak. Tubuhnya gemetaran parah, "Bertahan, Nak. Bunda mohon... Bertahan... Tolong jangan buat Bunda takut."

Kali ini kepala dan dada Bhanu terangkat ke atas. Asmita semakin menggenggam tangan Bhanu erat seakan memberikan putranya kekuatan. Bhanu benar-benar kehabisan napas. Mulutnya setengah terbuka untuk mendapatkan oksigen yang sangat sulit ia dapatkan. Napasnya terputus, "La ... ila ... hail ... lallah." Hingga seketika mata Bhanu terpejam erat bersamaan dengan tubuhnya yang terjatuh ke ranjang. Kepalanya terkulai lemas dalam pangkuan sang ibu.

Tiiiiiitttt.....

Asmita tersentak! Ia terdiam, tubuhnya terkunci. Dirinya menegang, bersamaan dengan jantungnya yang berdebar cepat. Asmita syok bukan main. Tubuhnya bergetar hebat. Tangannya yang gemetaran itu menyentuh wajah Bhanu yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Bhanu?"

Hening.

Tak ada sahutan apa pun.

Asmita turun dari ranjang itu dengan jantung yang ingin meloncat rasanya. Ia meletakkan kepala Bhanu perlahan ke bantalnya. Mata Bhanu terpejam erat, tak ada desahan napas yang sampai di kulit Asmita. Asmita mengguncang tubuh putranya, "Bhanu... Sayang?"

Bhanu masih tetap tak merespon. Cowok itu tak bergeming sama sekali. Asmita menggeleng seraya terkekeh tak percaya, "Kamu lagi tidur, kan, Nak?"

Senyap.

Tak ada respon apa pun dari Bhanu, membuat jantung Asmita terkoyak parah. Asmita mengusap wajah Bhanu lembut seraya menggeleng lirih, "Nggak, nggak. Nggak, Bhanu... Nggak... Buka mata kamu. Jangan buat Bunda takut." Asmita menangis. Ia mencium kening Bhanu dengan sayang, "Bangun, Nak. Tolong... Jangan bercanda kayak gini. Ini Bunda, Bhanu... Lihat Bunda. Bangun...," lirihnya.

Ia kemudian mengguncang tubuh Bhanu. "Bhanu! Bhanu bangun!" Air mata Asmita jatuh menetes. "Bunda akan marah kalau kamu masih nggak mau bangun! Bhanu!!!"

Jantung Asmita seperti berhenti berdenyut sepersekian detik. Ia menyentuh wajah Bhanu menggunakan kedua tangannya. "Bhanu... Sayang, lihat ini Bunda..."

Otak Asmita tak mampu berpikir jernih. Tubuhnya bergetar hebat. "DOK! DOKTER!!! DOKTER!!!" teriaknya keras.

Percayalah, jantung Asmita sedang berdetak dengan irama yang tak menentu. Para dokter berhamburan masuk ke dalam ruangan itu. "Dok... Anak saya nggak mau bangun, Dok," ucap Asmita gemetaran. "To-tolong... Tolong bangunkan anak saya. Dia nggak mau bangun. Anak saya nggak mau bangun, Dok..."

Salah satu dokter melihat ke arah alat medis yang menunjukkan garis lurus. Sisanya ada yang memeriksa denyut nadi pada tangan, pembuluh nadi pada leher, dan juga detak jantung Bhanu. Mereka saling bersitatap sejenak, lalu dengan pelan menoleh ke arah Asmita. Asmita tidak mengerti ada apa. Akhirnya setelah satu helaan napas, salah satu dari mereka melepas masker oksigen yang terpasang pada Bhanu.

Asmita menggeleng, "Jangan dilepas, Dok! Gimana anak saya bisa napas? Nanti dia sesak."

Dokter itu menunduk. Ia tetap melepas masker oksigen itu, sedangkan yang lainnya melepas alat-alat medis yang tertancap di tubuh Bhanu.

"Berhenti!!! Apa-apaan kalian?!" tegas Asmita.

"Ibu... Mohon maaf," ucap salah satu dokter.

"Saya tidak ingin ucapan maaf saat ini. Tapi saya ingin kalian menyelamatkan anak saya!!!" tegas Asmita dengan air mata yang bercucuran.

"Anak Ibu... Anak Ibu sudah berpulang," ujarnya dengan nada rendah.

Sebuah kalimat yang membuat pertahanan Asmita runtuh. Bahkan ia harus berpegangan pada sesuatu agar tubuhnya tidak terjatuh. Air matanya terjun bebas membasahi pipi. Ia menggeleng tak percaya, masih berusaha mencerna ucapan dokter itu barusan.

Salah satu dokter membenarkan posisi Bhanu. Seorang suster merapatkan kaki cowok itu dan dokter yang lain meletakkan tangan Bhanu di atas perut. Selimut putih direntangkan lebar, menutupi seluruh tubuh kaku Bhanu yang tak bernyawa.

"Berhenti!!" titah Asmita. "Apa-apaan kalian ini?!!" tegasnya. "Anak saya nggak mungkin pergi secepet ini! Dia pasti lagi tidur aja, Dok. Dia... Dia pasti lagi tidur," ulangnya sekali lagi.

"Turut berduka cita atas kepergian anaknya ya, Bu. Semoga Ibu dan keluarga diberikan ketabahan." Dokter itu menunduk lalu berjalan pergi.

Asmita menggeleng. Tangannya membuka selimut putih itu hingga wajah Bhanu kembali tampak di matanya. Namun wajah itu telah berubah aneh. Putih mendominasi, pucat, dan bibir putih keringnya mulai sedikit membiru kehitaman. Sekilas tampak seperti hantu. Tidak. Ini bukan wajah tampan Bhanu yang Asmita kenal. Ini wajah lain.

Wajah ... mayat?

Ia menyentuh wajah pucat Bhanu pelan, "Kamu lagi tidur, kan, Sayang?" lirihnya. Ia menggeleng tak percaya. Asmita menggoyangkan tubuh Bhanu, "Bhanu... Bangun... Jangan marah sama Bunda kayak gini..."

Asmita menyentuh wajah Bhanu menggunakan kedua tangannya. Wajah mereka saling berdekatan. Bahkan sangat dekat. "Bhanu... Buka mata kamu. Lihat, ini Bunda udah di sini." Asmita meneteskan air matanya.

Ia mengangkat tubuh Bhanu hingga terduduk, kemudian memeluk anaknya erat-erat. Namun tubuh Bhanu terkulai lemas dalam pelukannya. Kepalanya bersandar nyaman di bahu Asmita. Tak bergeming sama sekali meski Asmita telah membelai rambutnya dengan lembut dan mencium kepalanya cukup lama. Dinginnya kulit dari tubuh tak bernyawa itu, benar-benar meremas hati Asmita langsung. Bahu Asmita berguncang karena isakan, "Bhanu... Ini Bunda udah peluk kamu loh. Masa nggak mau bangun?" lirihnya.

Mata Asmita berkaca-kaca. "Katanya mau dipeluk sama Bunda lagi. Ini Bunda udah peluk. Kok kamu nggak bangun sih?" Ia membelai rambut putranya dalam dekapan. "Bhanu dengar Bunda, kan? Bangun dong, Sayang. Jangan bikin Bunda takut..." Ia melirih. "Bhanu mau Bunda belikan apa? Bhanu masih suka es krim nggak kayak dulu waktu kecil? Nanti Bunda belikan buat Bhanu. Satu toko bila perlu! Suka, kan?" tanyanya meski tak mendapat respon apa pun dari tubuh kaku seseorang yang sedang ia peluk.

Hal ini membuat jantung Asmita terasa sakit. Asmita mencium kepala Bhanu, "Sayang... Jangan tidur terus dong. Lihat Bunda. Bunda ada di sini buat kamu."

Jantung Asmita bagai ditusuk-tusuk saat Bhanu tak kunjung memberikan respon apa pun. Tak ada desahan napas dari Bhanu yang dapat Asmita rasakan. Tak ada pula dada yang bergerak naik-turun untuk bernapas. Detak jantung pun tak mampu ia dengar. Hanya sunyi, sepi, dan hampa.

Asmita akhirnya menangis lirih. "Bhanu..." Ia mencium kepala Bhanu sekali lagi. "Bhanu jangan kayak gini..." Ia tergugu, kesedihan ini benar-benar melumatkannya.

Rasa sesak menyergap dada Asmita hingga membuatnya kesulitan bernapas. Wajahnya penuh dengan air mata. Bagai ada lubang hitam yang menarik tubuhnya hingga hancur tak bersisa. Jelas-jelas hatinya sedang diremukkan secara paksa saat ini juga. "Bhanu... Bunda juga ... sayang sama Bhanu. Jangan bercanda kayak gini sama Bunda. Bangun, Bhanu! Bangun!"

Hati Asmita terasa sakit saat ia tak kunjung mendapatkan respon apa pun. Wajah Bhanu pun sudah semakin putih pucat dari sebelumnya, dengan bibir putih yang menghitam. Hal ini semakin menikam diri Asmita telak. "Bhanu! Sayang... Bhanu bangun!" Ia menangis, "Katanya mau dipeluk dan disayang sama Bunda lagi. Ini Bunda udah peluk kamu loh. Masa nggak mau bangun sih?"

Arya berdiri terpaku di pintu rumah sakit, melihat ke arah Asmita yang sedang terduduk di ranjang Bhanu dan menangis sembari memeluk Bhanu erat-erat. Ia kebingungan melihat semua alat medis sudah terlepas dari tubuh Bhanu. Bahkan hal yang paling sederhana seperti infus, tidak lagi terpasang pada tubuhnya.

Perasaan buruk semakin menerjang dada Arya telak. Pria paruh baya itu mengepalkan tangannya kuat-kuat, memperlihatkan buku-buku jari dengan sangat jelas. Dadanya terasa sesak bersamaan dengan mata yang memerah karena menahan buliran air mata. Dengan langkah lemas, ia berjalan mendekat.

"Bhanu bangun dong! Ini Bunda udah peluk Bhanu kayak yang Bhanu mau." Asmita menangis seraya mengelus-elus rambut Bhanu dalam dekapannya. Ia menggeleng, "Nggak, Bhanu. Nggak...," lirihnya pilu. "Jangan tinggalin Bunda... Bunda masih belum siap. Nggak, Sayang. Nggak..."

Jiwa Asmita serasa ingin ikut mati bersama dengan kepergian anaknya. Karena selamanya Asmita tak akan bisa menghadapi rasa sakit ini.

Ia tak bisa.

Dan tak akan pernah bisa.

Suara bersitan hidung terdengar berkali-kali. Ia tersendu menyedihkan, memeluk tubuh lemas anaknya erat. "Bangun, Nak. Tolong buka mata kamu..."

Namun itu sia-sia. Bhanu masih tetap tak bergeming. Tubuhnya sangat lemas bagai tak memiliki rangka di dalamnya. Kepala Bhanu bersandar lunglai dalam pelukan sang ibu. Kadang kepala lemahnya hendak terjatuh dari bahu Asmita, kemudian ditahan lagi oleh perempuan itu agar kepala lemahnya tidak terjatuh mengikuti gravitasi bumi. Asmita menangis deras.

Dadanya bagai dicabik ganas saat Bhanu masih tetap terdiam. Meski Asmita berulang kali mencoba membangunkan, namu hasilnya tetap nihil. Bhanu tak merespon. Tak ada pula tanda-tanda kehidupan dari Bhanu yang sedang tertidur pulas dalam pelukan ibunya.

Asmita memejamkan matanya rapat-rapat, membiarkan buliran air terjun dengan begitu derasnya. Hatinya terasa sakit, bahkan untuk mengatakan 'sakit' saja ia tidak mampu. Ia terisak, "Bhanu... Jangan marah sama Bunda kayak gini. Bunda nyesel udah jahat sama kamu. Tapi... Tapi kenapa kamu hukum Bunda kayak gini? Kamu bahkan belum denger Bunda bilang kata 'maaf' sama kamu. Maafin Bunda, Sayang... Maafin Bunda," isaknya dengan sangat menyayat hati.

Arya mengepalkan tangannya menahan sesak. Matanya sudah memerah karena air mata. Bahunya berguncang hebat. Bahkan ia sendiri masih belum mampu mencerna hal ini dengan baik.

Asmita kembali menidurkan Bhanu di ranjangnya. Ia mengguncang tubuh lemah Bhanu itu. "Bangun, Sayang! Bangun!!!" Ia terisak. "Bunda belum minta maaf sama kamu! Bunda belum siap untuk ini! Bangun, Bhanu! BANGUN!!!" teriaknya.

Asmita meraih tangan suaminya yang berdiri kaku menyaksikan hal tersebut. "Mas... Kenapa Bhanu nggak bangun-bangun? Udah dari tadi loh! Padahal di sini ada aku. Kenapa dia nggak mau bangun?"

"Akh..." Hati Arya merasakan sensasi yang teramat sangat. Bahkan kekuatan dan ketegarannya itu terasa runtuh seketika.

Asmita membuang napas kasar. Ia semakin mengguncang tubuh kaku putranya keras, "BANGUN, BHANU! BANGUN!!!" teriaknya. "NANTI BUNDA MARAH, BHANU!!! BUNDA BILANG BANGUN!!!"

Jantung Asmita semakin ditikam saat tubuh yang telah ia teriaki, tak bergeming sama sekali. Bahkan ia sudah berteriak keras untuk membangunkan putranya yang sedang tertidur. Lalu mengapa Bhanu tidak mau bangun? Biasanya Bhanu tidak berani berpura-pura tidur saat Asmita tengah murka kepadanya. Tapi sekarang Asmita telah berteriak keras. Kenapa Bhanu masih tetap tertidur pulas? Benar-benar seperti tubuh kaku seseorang yang sudah ... mati.

"BANGUN, BHANU! BUNDA BILANG BANGUN!!!" teriaknya seraya mengguncang tubuh Bhanu. "KAMU NGGAK DENGER BUNDA NGOMONG APA, HAH?! BUNDA BILANG BANGUN!!!" teriaknya keras.

Asmita merasa hancur saat Bhanu tak kunjung meresponnya. Hal ini berhasil mematikan seluruh kinerja sel dan sarafnya. Melumatkan dan menghancurkan Asmita telak hingga tak bersisa. Asmita memejamkan matanya erat-erat, membiarkan air mata jatuh dengan begitu derasnya. Bayangan Bhanu hadir bersamaan dengan suaranya yang terngiang jelas di telinga Asmita.

"Kalau Bhanu pergi, apa Bunda akan bahagia?"

"Bhanu pamit, Bunda... Bhanu sayang Bunda..."

Asmita membuka kembali matanya yang telah basah karena air. Perempuan paruh baya itu menggeleng lirih dengan tumpahan air mata yang jatuh, "Kamu belum boleh ninggalin Bunda kayak gini, Sayang... BANGUN, BHANU!!! BUKA MATA KAMU! BUKA!!!" teriak Asmita keras. Ia terisak hebat, dadanya terasa sangat sesak bagai kesulitan bernapas. Lenguhan tangis Asmita semakin menjadi-jadi. Nyawanya bagai direnggut secara paksa. Apalagi saat mengetahui bagaimana putranya menghembuskan napas terakhir tepat di pangkuannya sendiri. Asmita serasa lupa bagaimana cara bernapas yang benar. Cuplikan memori masa lalu hadir menghampiri kepalanya.

"Saya menyesal sudah melahirkan kamu! Dasar anak sialan!"

"Sejak dulu saya bertanya-tanya ke Tuhan. Kenapa anak seperti kamu yang lahir dari rahim saya?!"

"Kamu itu nyusahin! Nggak tau diri! Kamu itu sampah! Pembawa sial! SAYA BENCI SAMA KAMU, BHANU!!!"

"BAGUS KALAU DIA KANKER, JADI BISA CEPET MATI!"

"AAAARRRGHHHHH!!!" Asmita berteriak keras. Penyesalan dan rasa bersalah itu hadir menghampiri dirinya. Tentang dosa tak termaafkan yang pernah ia lakukan kepada anaknya sendiri. Tentang waktu yang pernah ia buang percuma. Tentang anak yang pernah ia sia-siakan. Tentang darah dagingnya yang tak pernah ia berikan kasih sayang utuh. Kini Asmita telah dihukum seberat-beratnya atas tindakan yang telah ia perbuat. Asmita mengguncang tubuh kaku Bhanu, "BHANU!!! BANGUN, BHANU!!! BANGUN!!!" Ia terisak-isak.

Arya berjalan mendekat, memeluk istrinya erat. "Udah, Sayang... Udah..."

Asmita meronta minta dilepaskan. Dunianya hancur sehancur hancurnya. Ia tak mampu lagi menjelaskannya menggunakan kata-kata. Nyawanya bagai direnggut secara paksa. Ada belahan kaca yang sedang menusuk jantungnya sekarang. Kepedihan ini tak mampu ia sembunyikan lagi. "BANGUN, BHANU!! BANGUN! BUKA MATA KAMU! JANGAN HUKUM BUNDA KAYAK GINI!!!" Ia menangis sejadi-jadinya. "Maafin Bunda, Bhanu... Maafin semua dosa Bunda ke kamu!!! Bunda menyesal sudah membenci kamu selama ini. Maafin Bunda, Bhanu! Maafin Bunda..."

"Sayang..." Arya melirih.

Dunia Asmita runtuh saat Bhanu tak kunjung membuka matanya. Sensasi menusuk jelas ia rasakan sekarang. Tak menyangka hukuman seberat ini yang ia dapatkan. Kehancuran ini telah melumatkan dan melenyapkannya. Membuat dunia Asmita hancur hingga tak bersisa. Hatinya telah diremukkan secara paksa. Bahkan kata-kata pun tak mampu menjelaskan betapa hancur dirinya saat ini.

"BHANUUUU!!!!!" teriak Asmita keras.

Arya langsung mendekapnya erat, Asmita terisak hebat dalam pelukannya. Dunianya hancur, tak ada yang mampu lukiskan betapa sakitnya ini. Arya terisak seraya mengusap punggung istrinya. Arya mungkin tidak menangis meraung-raung. Tapi di dalamnya, ada jiwa yang sedang bergetar dan berteriak hebat. Mau bagaimanapun ia tidak boleh terlihat lemah. Asmita masih sangat memerlukan dirinya. Dan ia harus ada di sampingnya untuk membantu istrinya melewati jalanan yang penuh paku ini. "Sayang... Udah, ya?" lirihnya. Ia mencium kepala Asmita, "Mungkin hidup Bhanu memang sudah ditakdirkan sampai di sini saja. Ikhlas..."

Asmita tak sanggup lagi. Dunianya berputar hingga perlahan menggelap. Dirinya tak sadarkan diri dalam pelukan Arya.

Hati Arya tertusuk parah. Sensasi perih itu jelas ia rasakan sekarang. Arya membopong tubuh istrinya ke sofa panjang terdekat. Membaringkannya di sana. Ada air mata yang mengisi area kelopak itu meski telah terpejam.

Pria paruh baya itu berjalan pelan menuju ranjang Bhanu. Tangannya yang lemas, menyatukan kedua tangan Bhanu dan meletakkannya di atas perut. Sensasi dingin dari tangan Bhanu, jelas dapat ia rasakan. Dan lagi, air matanya terjun bebas begitu saja saat mengetahui hal itu. Tubuh putranya tak lagi hangat. Hanya dingin... Dingin seperti jenazah pada umumnya.

Arya lantas menarik selimut putih itu dan menyelimuti putranya sebatas dada. Dielusnya wajah Bhanu yang sudah tampak sangat aneh itu. "Kenapa secepet ini, Nak?" Suara Arya terdengar bergetar.

Arya langsung memeluk Bhanu erat, menumpahkan seluruh tangisannya seraya memeluk Bhanu yang sedang tertidur. Arya terisak, bahunya berguncang. Dielusnya rambut Bhanu dalam dekapan. "Bhanu... Keluarga kita udah mau baikan lho, kok kamu malah pergi? Padahal lagi dikit aja, keluarga kita bisa kayak dulu lagi."

Hatinya teremas erat. Bhanu masih tetap tak bergeming. Hal itu membuat jantung Arya berdenyut sakit. Sakit. Sangat sakit. Dunianya benar-benar hancur. Bahkan jika ada yang menggambarkan hal yang lebih parah dari parah daripada hancur, maka itu adalah jawabannya. Bahu Arya berguncang hebat menahan isakan. Baru kali ini ia merasa binasa yang sesungguhnya.

"Bhanu..." Arya sungguh tak mampu merangkai kata-kata dalam bilik otaknya saat ini. Lidahnya terasa kelu untuk berbicara. Hanya isak tangis yang mengambil alih segalanya. Bahu Arya berguncang, "Bhanu... Kenapa harus secepet ini? Kenapa kamu pergi sebelum Ayah? Ayah jauh lebih tua daripada kamu. Tapi kenapa... Kenapa kamu tinggalin Ayah secepet ini?" isaknya dengan sangat menyedihkan.

"Rasanya... Rasanya baru waktu ini Ayah gendong kamu pas baru lahir. Ayah yang gosokin gigi kamu waktu kecil. Dan sekarang... Sekarang kamu meninggal," sendu Arya pilu. Dipeluknya Bhanu semakin erat, menyalurkan segala kesedihan yang ia rasakan.

Siapa sangka bahwa waktu berjalan begitu cepat? Waktu yang dulu seharusnya Arya gunakan dengan baik-baik, malah pernah ia sia-siakan. Dulu Arya pernah membuang anaknya.

Sepuluh tahun.

Ya, sepuluh tahun lamanya. Dari Bhanu yang saat ia buang masih sangat kecil, hingga Bhanu yang kembali dan telah menjadi sosok dewasa.

Sepuluh tahun Arya habiskan sia-sia. Tak pernah sehari pun dalam sepuluh tahun itu Arya datang untuk menjumpai anaknya. Waktu yang seharusnya bisa Arya manfaatkan bersama Bhanu, malah ia buang percuma. Lantas sekarang waktu telah mengambil anaknya.

Dengan begitu cepat.

Bahkan diusia Bhanu yang masih begitu muda.

Arya terisak hebat.

"Bhanu... Maafin Ayah, ya? Maafin semua kesalahannya Ayah." Dada Arya terasa sesak seketika. "Maaf karena dulu Ayah pernah ngebuang kamu, ngejauhin kamu, nggak peduli sama kamu, hingga kamu bertumbuh dewasa dengan berbagai luka karena perbuatan Ayah. Ayah nggak nyangka Ayah dihukum seberat ini sama kamu. Maafin Ayah, Nak. Maafin Ayah..."

Arya terisak-isak. Sadar bahwa berapa banyak dosa yang telah ia perbuat. Juga sadar tentang berapa juta luka yang ia telah goreskan di hati anaknya. Tentang waktu yang pernah ia buang percuma. Sekarang waktu telah mengambil anaknya, dan tidak akan pernah mengembalikannya lagi sampai kapan pun. Dada Arya merasa sangat sesak. Bahkan untuk sekadar menarik napas saja ia merasa sangat kesulitan. Arya terisak, "Bhanu... Kamu curang! Kamu nggak pamitan apa-apa sama Ayah. Baru Ayah tinggal bentar ke luar buat beli air, kamu udah pergi... Kenapa, Nu? Kenapa?" lirihnya putus-putus.

Arya semakin memeluk putranya erat. "Bhanu... Maafin Ayah ya, Sayang? Maafin Ayah..." Ia semakin melirih.

Arya melepas pelukan itu. Mau bagaimana pun ia harus tetap ikhlas agar putranya diberikan jalan yang lapang untuk pulang ke pangkuan Tuhan. Ia tersenyum pahit seraya mengelus wajah Bhanu. Sensasi sakit itu kembali ia rasakan bagai menusuk jantungnya telak.

Arya bangkit dan mencium putranya. "Ada Kakek di sana. Kamu nggak sendiri. Kamu yang tenang, ya? Sekarang kamu bebas. Udah nggak ngerasain sedih dan sakit lagi. Tuhan sayang sama Bhanu. Bhanu anak baik. Kamu harus bahagia di sana, ya?" ucap Arya sembari meneteskan air mata.

Ia memandang wajah Bhanu dalam, berusaha menahan sensasi menusuk di hatinya. Wajah Bhanu itu ... pasti akan sangat ia rindukan. Arya menghela napasnya yang terasa berat untuk dihembuskan. Air matanya jatuh berlinang tiada henti. Ia menyentuh wajah Bhanu, "Pulang baik-baik, ya, Nak?" Suaranya yang lirih terdengar gemetar. "Maafin semua kesalahan Ayah sama kamu. Ayah ... sayang sama Bhanu. Sayang banget." Diciumnya kepala Bhanu sekali lagi.

Jantung Arya tertusuk parah. Meski ia tidak rela, ia tetap harus melakukannya. Air mata Arya sudah terjun bebas membasahi pipi. Dadanya terasa sesak bagai kesulitan bernapas. "Selamat jalan, Sayang... Selamat jalan," ucapnya lirih.

Chapter 28 done!

Maaf ya para pembacaku tersayang :)

02.10.20

Continue Reading

You'll Also Like

6.6K 690 34
Kehidupan dan kematian silih bergantian setiap harinya. Ketika lahir, kau menangis. Namun orang-orang tersenyum bahagia. Dan ketika meninggal, orang...
RAKENZA By Echael

General Fiction

158K 13.9K 52
"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya...
1.8M 133K 50
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
5.1K 573 22
[Revisi berjalan] Terkadang kata-kata bisa menjadi sangat berbahaya, bahkan bisa membunuh secara perlahan. Mengalami keadaan hal yang berbeda, merupa...