to be young and in love [end]

By hijstfu

1.4M 159K 8.4K

Coba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simp... More

ini prolog
ini pertama
ini kedua
ini ketiga
ini keempat
ini kelima
ini keenam
ini ketujuh
ini kedelapan
ini kesembilan
ini kesepuluh
ini kesebelas
ini keduabelas
ini keempat belas
ini kelima belas
ini keenam belas
ini ketujuh belas
ini kedelapan belas
ini kesembilan belas
ini kedua puluh
ini kedua puluh satu
ini kedua puluh dua
ini kedua puluh tiga
ini kedua puluh empat
ini kedua puluh lima
ini kedua puluh enam
ini kedua puluh tujuh
ini kedua puluh delapan
ini kedua puluh sembilan
ini ketiga puluh
ini tiga puluh satu
ini ketiga puluh dua
ini ketiga puluh tiga
ini ketiga puluh empat
ini ketiga puluh lima
ini ketiga puluh enam
ini ketiga puluh tujuh
ini ketiga puluh delapan
ini ketiga puluh sembilan
ini keempat puluh
ini keempat puluh satu
ini keempat puluh dua
ini keempat puluh tiga
ini keempat puluh empat
ini keempat puluh lima
ini extra part satu
ini extra part dua
sini curhat
aduh, kok jadi begini?

ini ketiga belas

30.2K 3.6K 207
By hijstfu

Aku menggeliat ketika mendengar getaran dan bunyi alarm. Mengernyit saat membuka mata karena silaunya cahaya yang menembus jendela. Setelah berhasil menyesuaikan dengan keadaan, aku meraba meja di samping ranjang untuk mengambil ponselku, dan mematikan alarmnya. Aku mengernyit melihat sebotol air putih di atas nakas. Perasaan tadi engga ada? Kok ... Aku menggeleng, mengacuhkannya. Duduk terdiam beberapa saat untuk mengumpulkan nyawa yang berceceran. Setelahnya aku menggerak-gerakkan tubuh yang terasa kaku, dan membenahi ranjang yang kusut masai, lalu bergerak ke luar UKS.

"Sudah enak?"

Mbak UKS bertanya padaku ketika aku sedang mengaitkan tali sepatu. Aku mendongak dan menyengir tiga jari. "Sudah, Mbak. Tidur memang obatnya. Makasih ya, Mbak, minyak kayu putihnya."

Mbak UKS mengangguk. Aku lalu mengangguk, dan berjalan pergi. Baru tiga langkah, aku berhenti dan kembali menoleh. "Lupa saya. Makasih juga pijatannya, Mbak. Enak bangeeeet."

"Hah??"

Aku kembali mengumbar senyum tiga jari, dan berlalu menuju kelas, mengabaikan pandangan bingung Mbak UKS.

***

"Sumpah, sih ya. Susah banget anjir. Itu ulangan harian atau ujian masuk kuliah sih? Ya Tuhan."

Aku menyenderkan lesu kepalaku di meja, menatap Joan yang berkali-kali mengumpat, menyumpahi soal-soal ulangan harian matematika wajib yang barusan kami kerjakan.

"Pasrah sih gue kalau dapet nol," balasku kemudian mendesah ketika mengingat jawaban asal yang kutulis. Boro-boro mencontek, partner in crimeku aja belum mengerjakan soal karena di luar kelas. Jadi, tadi memang dibagi dua ronde. Aku di ronde pertama, dan Joan di ronde ke dua. Tumbenan banget sebangku dibagi dua. Huh. Padahal biasanya aku selalu seronde dengan Joan. Jadi, aku bisa mencontek padanya, yang juga mencontek ke teman yang lain. Nah, sekarang? Jangankan mencontek, aku aja engga percaya pada sontekan yang akan diberi sama teman-temanku! Karena yang seronde denganku itu bodoooooh semua! Yang pintar-pintar ronde berikutnya.

Enak banget Joan. Pasti nilainya bagus deh.

"Halah. Orang lo seronde sama yang pinter-pinter."

"Justru itu! Yang pinter itu ya... justru medit!"

Kami lalu menghembuskan napas bersamaan. Pasrah pada nilai yang akan membawa kami untuk remedi, dan mengulang soal lainnya lagi agar nilai kami pas KKM.

"Assalamualaikum, anak-anak."

Kami mendongak, dan mendapati Bu Isah, guru bahasa Jawaku memasuki kelas. Seketika aku bangun, dan menegakkan badan. Setelahnya kukeluarkan buku bahasa Jawaku dan LKSnya.

"Coba yang piket mana?"

"Joan, Bu!"

"Joan engga pernah piket, Bu."

"Hehehe. Maaf, gais. Namanya juga telat," seru Joan sambil menyengir.

"Joan, ambil majalah berbahasa Jawa di perpustakaan sana. 36 buah ya."

"Judulnya apa Bu majalahnya."

"Terserah, yang penting isinya pakai bahasa Jawa."

"Yah, Bu. Masa sendirian siiiiih."

"Ajak Rumi."

Aku mendongak menatap Bu Isah, ingin memprotes karena hari ini bukan jadwal piketku. Lagipula, aku merasa engga nyaman kalau banyak gerak. "Tapi, Bu."

"Siap, Bu!"

Joan berteriak dengan semangat, membuat protesku engga terdengar. Aku menoleh jengkel, tapi hanya dihadiahi cengengesan.

"Ayo, udah cepetan. Diomelin Bu Isah lu. Dihukum nyanyi tembang macapat mau lu?"

Aku menghembuskan napas, dan bangkit perlahan. Kami lalu berjalan beriringan menuju perpustakaan dua lantai yang engga jauh dari kelasku. Perpustakaan yang jarang dikunjungi untuk tujuan membaca, karena lebih sering dikunjungi untuk menjadi tempat tidur atau sekadar mendinginkan badan. AC di perpus memang enak banget. Belum hawanya yang sepi bikin ngantuk.

"Pak Mahdin, mau pinjam majalah bahasa Jawa dong," ujar Joan sambil mendekati Pak Mahdin yang sedang menghadap komputer.

"Isi dulu daftar kunjungannya."

Joan lalu mengisi daftar kunjungan yang berisi nama, kelas, tanggal, dan tanda tangan. "Udah, Paaaak."

"Cari aja di lantai satu, loker 5 baris 4."

"Tingkat berapa, Pak?"

"Dua kalau engga tiga. Cek aja."

Seperti yang kubilang sebelumnya. Perpustakaan terdiri dari lantai dua. Lantai satunya terisi dengan rak-rak buku yang menjulang tinggi... jumlahnya ada delapan baris. Tersusun di tengah-tengah ruangan, dikelilingi kursi dan meja untuk duduk dan membaca di pinggirnya. Nah, setiap rak itu ada sekitar sepuluh loker dan tujuh tingkatan. Sudah dinomori kok. Jadi engga akan bingung.

Kalau lantai dua itu... ada gudang untuk menyimpan buku-buku yang sudah lawas atau tidak terpakai. Ada juga rak-rak seperti di lantai satu, hanya jumlahnya yang sedikit, dan tentu... kursi meja untuk duduk. Nah, kalau kamu suka membaca novel fiksi atau apapun yang sejenis itu, naiklah ke lantai dua karena di sana lebih banyak buku-buku seperti itu. Lengkap. Dari komik, harlequin, sastra, atau novel-novel remaja. Lantai satu, sih, isinya membosankan. Cuma buku-buku pelajaran.

"Satu, dua, tiga... sepuluh... sembilan belas."

"Kok sembilan belas doang?" Tanyaku pada Joan yang sedang menghitung jumlah majalah di tangannya.

"Di tingkat atasnya kali ya?" Gumam Joan. Setelah menyerahkan tumpukan majalah itu padaku, Joan naik ke tangga berjalan yang disediakan. Melihat-lihat, tapi engga menemukannya. Dia lalu turun. Aku menyerahkan majalah-majalah itu padanya lagi.

"Gue tanya Pak Mahdin deh," usulku dan berjalan ke meja Pak Mahdin.

"Pak. Majalahnya adanya cuma sembilan belas doang. Saya butuhnya tiga enam."

Pak Mahdin menurunkan kacamatanya. "Hm...," gumamnya mengingat-ingat, "Kalau engga salah, saya taruh gudang."

"Oke, Pak. Makasih."

Aku berjalan menghampiri Joan lagi yang sekarang sudah duduk.

"Di lantai atas. Gudang."

"Lu aja deh."

Aku menghembuskan napas. Berjalan ke arah tangga untuk naik. Meskipun enak untuk tidur karena sepi dan senyap, apalagi dengan AC yang dingin, engga menutupi fakta bahwa nuansa lantai dua berbeda dengan lantai satu. Bahkan para kutu buku yang ke perpus hanya karena 'isi lantai dua' lebih suka mengambil buku di sana, dan membacanya di lantai satu, karena... yaaah di lantai satu lebih ramai dibandingkan di sini.

Aku menelan ludah ketika melangkah melewati satu per satu rak buku untuk menuju gudang yang letaknya di ujung dan tidak mendapati satupun pengunjung. Bergidik ketika hawa dingin dari AC menerpa lenganku. Buru-buru melangkah ke arah gudang, dan membuka pintu hingga menghasilkan bunyi berderit itu.

BUM!!!

Aku tersentak kaget, dan langsung menoleh ke belakang ketika pintu yang kututup berbunyi keras.

Perasaan nutupnya pelan deh.

"Hm, mana ya," gumamku agar suasananya engga sepi-sepi anget.

Engga seperti yang kusangka. Gudang yang kubayangkan adalah gudang yang berantakan, sumpek, lembab, banyak tikus dan kecoa, belum baunya yang apak. Tapi yang kulihat adalah gudang yang tertata rapi. Buku-bukunya ditata di rak-rak yang sudah usang. Beberapa ditumpuk sembarang di lantai.

"Nah. Sembilan belas berarti kurang tujuh. Satu, dua, tiga... tujuh."

Setelah mendapatkan majalah Penjebar Semangat yang berbahasa Jawa itu, aku lalu membuka pintu gudang, dan menutupnya pelan, berhati-hati agar engga menimbulkan suara berdebum seperti tadi. Setelah tertutup, aku lalu melangkah.

"Berhenti."

Berhenti?

Suara yang menyuruh berhenti itu terdengar dari arah belakangku. Wait. Tadi perasaan engga ada orang. Aku mengendikkan bahu. Engga tahu deh. Mungkin waktu aku di gudang, ada pengunjung baru.

Aku melangkah semakin cepat. Tinggal empat rak lagi, aku sampai di tangga.

"Aku bilang berhenti."

"Astaga."

Aku tersentak kaget ketika seseorang menarik tanganku, dan ditubrukkannya tubuhku membentur rak buku. Aku meringis sakit karena punggungku harus merasakan kayu yang keras. Belum dengan buku-buku yang berjatuhan. Auch.

"Sorry. Itu... engga sengaja."

Aku mendongak dan menatapnya sebal. Ini orang perasaan ada di mana-mana deh??

Dia berdehem.

"Kamu... masih sakit?"

Aku menatapnya lurus, engga langsung menjawabnya. Darimana dia tahu aku sakit? "Urusannya sama lo?"

Para menatapku tajam. "Perutnya masih sakit?"

Aku refleks bergerak mundur, walaupun tertahan rak, ketika tangan Para dengan kurang ajar membelai perutku. Aku menatapnya tajam. Shit.

"Lo... engga usah kurang ajar, ya."

"Jawab."

"Bukan urusan lo!" Aku berteriak padanya, engga peduli apakah suaraku terdengar hingga ke bawah. Para menghela napas.

"Lepasin. Gue engga kenal lo. Begitupun sebaliknya. Oke? Mari kita anggap, kejadian kemarin tuh engga ada," tekanku. "Gue engga akan sebarin ke fan-fans lo kalau ternyata lo itu cabul, mesum. Jadi, berhenti deket-deket sama gue. Paham??"

Para menyugar rambutnya. Sori. Sudah engga keren sama sekali. Aku menatapnya datar.

"Bukan."

"Apasih! Ngomong yang bener dong!" Kayak engga pernah diajar bahasa Indonesia aja.

"Nanti aku antar pulang."

Ini dia betulan engga paham kohesi dan koherensi dalam percakapan deh.

"Lo budek ya? Gue bilang jangan deket-deket gue. Artinya bisa engga sih lo kayak semula yang bahkan engga tahu eksistensi gue?"

"Itu salah kamu."

Aku melotot. Beneran ngajak ribut.

"Itu salah kamu kenapa bisa enak."

Enak? Apanya yang enak? Ambigu banget.

"Pokoknya, jangan ngomong sama gue!" Titahku sambil telunjukku menuding wajahnya.

"Tunggu di parkiran. Aku antar pulang nanti," ucapnya yang engga nyambung sama sekali dengan perkataanku.

Aku mendelik ketika telunjukku dipegang, dan diarahkan ke... mulutnya! Mataku semakin melebar manakala dia mengulum jariku sambil matanya yang cokelat itu menatap lurus ke manik mataku. Dia lalu mengecup jariku, "Jangan kabur."

Setelahnya bergerak menjauh, dan pergi dari sana sambil mengambil asal buku di rak.

Fuck.

"Eh, Kak Para. Siang, Kak."

Aku masih berdiri terpaku menatap jariku yang basah. Iuh. Berkilauan. Aku bergidik ketika sebersit pikiran datang untuk aku mencium baunya. Segera aku lap di rokku.

"Lama banget."

Aku menoleh pada Joan. "Ngapain lo ke sini?"

"Lagian lu lama banget. Sekalian sih... liat Para. Gue di bawah liat dia naik."

"Kok naiknya baru sekarang?"

"Hehehe. Bu Sari tuh nahan gue dulu."

Oh.

"Bukunya udah? Yuk."

Kami lalu berjalan ke bawah, menyelesaikan urusan administrasi peminjaman buku, dan kembali ke kelas.

"Lu tadi sempet bicara sama Para."

Aku menggigit bibirku. "Engga."

"Oh kirain. Ketemu terus ngobrol."

Aku menggeleng. "Ngapain juga ngobrol. Engga kenal."

"Terus dia ngapain selama di sini?"

"Engga tahu. Bukan urusan gue."

Bohong banget.

jangan lupa vote dan komen. silent reader menyingkir jauh-jauh

Continue Reading

You'll Also Like

788K 53.3K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
5.8M 248K 57
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
349K 23.1K 36
Kisah para anak konglomerat yang disatukan dalam sebuah sekolah bernama Harton Academy. Warning!! 1. contain a lot of English 2. tidak wajib, tapi ji...
37.1K 2.2K 36
Ketika takdir membawa mereka kembali pada kisah yang belum usai. Segala trauma dan penyesalan hadir di antara mereka berdua yang ditarik paksa oleh g...